Warga Jakarta dalam beraktivitas untuk bekerja, sekolah, atau berwisata menggunakan transportasi umum ataupun kendaraan pribadi. Dibutuhkan strategi tata ruang dan mempromosikan angkutan publik yang nyaman.
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan permukiman perkotaan di Indonesia yang sangat potensial masih mempertimbangkan kedekatan dengan infrastruktur jalan raya dan akses ke transportasi publik. Kedua basis ini dipastikan sangat diminati banyak orang kendati tingkat keterjangkauan kepemilikannya masih menjadi pertimbangan utama konsumen.
Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan, proyek Lintas Rel Terpadu (LRT) Jabodetabek dan kereta api cepat Jakarta-Bandung berpotensi memunculkan permukiman dan bangunan komersial baru. Ia mencontohkan stasiun LRT yang berpeluang bakal banyak dibangun properti hunian dan komersial di sekitarnya.
”Stasiun kereta cepat juga sangat potensial munculnya bangunan permukiman dan komersial baru. Sayangnya, banyak lokasi yang koefisien lantai bangunan atau KLB sangat rendah,” ujar Paulus dalam webinar bertajuk ”Private Participation and Land Value Capture for Urban Rail Development” di Jakarta, Senin (25/7/2022).
Totok menceritakan, sewaktu mendiskusikan pengembangan kawasan transit oriented development (TOD) bersama Menteri Perhubungan Ignasius Jonan terdahulu, keuntungan utama PT Kereta Api Indonesia selaku pengelola TOD bukanlah dari penjualan tiket kereta, melainkan penyewaan properti yang ada di setiap stasiun, seperti pusat perbelanjaan. Model seperti ini sudah diterapkan di Singapura.
Oswar Mungkasa, Wakil Ketua Dewan Pengurus Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pembangunan Perkotaan Indonesia, menambahkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sesungguhnya mempunyai skema transfer pengembangan. Para pengembang tahu persis tentang peningkatan KLB dengan memanfaatkan areal tersebut.
”Setelah ada konsep TOD, kemudian muncul konsep kota kompak, di mana kita mengurangi pergerakan perjalanan yang dilakukan dengan pengembangan TOD. Ini sangat penting bagi kota-kota di Indonesia,” kata Oswar.
Di wilayah Jakarta saja, imbuh Oswar, jumlah komuter mencapai 1,7 juta-2 juta orang per hari. Pergerakan ini semestinya bisa menggambarkan nilai peredaran uang yang dihasilkan. Begitu juga, besaran tingkat stres yang dihadapi akibat kemacetan lalu lintas, termasuk fenomena panasnya suhu perkotaan yang berpotensi mengganggu kesehatan.
Peneliti Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung, Devi Aisyi, menuturkan, warga Jakarta dalam beraktivitas untuk bekerja, sekolah, atau berwisata menggunakan transportasi umum ataupun kendaraan pribadi. Akibatnya, kepadatan kerap terjadi di jalan-jalan di Jakarta. Untuk itulah, dibutuhkan strategi tata ruang dan mempromosikan angkutan publik yang nyaman.
Hal ini memunculkan kebutuhan investasi dan pendapatan lain untuk masa depan, misalnya konsep land value capture (LVC). Ciri-ciri LVC ini, kata Devi, kawasan ini sangat dekat dengan stasiun kereta rel listrik (KRL), moda raya terpadu (MRT), LRT, terminal bus, halte, angkutan kota, maupun tempat jemput ojek daring. Yang paling penting adalah ketersediaan areal yang ramah bagi pejalan kaki.
“Kereta api perkotaan, halte, dan terminal bus memainkan peran penting dalam membangun kota berkelanjutan,” ujar Devi.