Era Harga Tinggi Komoditas Global Diprediksi Berakhir
Tren koreksi penurunan harga sebagian besar komoditas global tengah terjadi. Pemerintah dan pelaku usaha terkait mulai mempersiapkan diri mengatasi dampak penurunan harga komoditas itu.
JAKARTA, KOMPAS — Era harga tinggi sebagian besar komoditas global diperkirakan berakhir. Tren penurunan harga sedang terjadi. Ke depan, harga keseimbangan baru yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelum pandemi Covid-19 diprediksi akan terbentuk.
Oleh karena itu, pemerintah dan pelaku usaha terkait mulai mempersiapkan diri mengatasi dampak penurunan harga komoditas itu. Ke depan, pendapatan negara dan perusahaan diperkirakan akan berkurang karena fase ”durian runtuh” telah lewat.
Di sektor energi, harga minyak mentah sudah mulai terkoreksi, sedangkan harga batubara dan gas alam masih tinggi. Di sektor pangan, sebagian besar harga komoditas, terutama minyak kelapa sawit mentah (CPO), gula, kedelai, dan gandum, terkoreksi cukup signifikan.
Berdasarkan data TradingEconomics per Senin (25/7/2022), harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mencapai 94,96 dollar AS per barel. Harga tersebut turun 10,89 persen secara bulanan dan naik 31,89 persen secara tahunan.
Harga batubara dan gas alam masing-masing 409,2 dollar AS per ton dan 8,35 dollar AS per million british thermal units (MMBTU). Harga batubara tersebut naik 3,59 persen secara bulanan dan 173,26 persen secara tahunan, sedangkan gas alam juga naik 28,49 persen secara bulanan dan 103,63 persen secara tahunan.
Adapun harga CPO mencapai 3.720 ringgit Malaysia per ton, turun 24,62 persen secara bulanan dan 15,35 persen secara tahunan. Untuk harga kedelai 14,45 dollar AS per gantang, sementara harga gandum 7,85 dollar AS per gantang. Harga kedelai itu turun 5,4 persen secara bulanan dan naik 2,35 persen secara tahunan, sedangkan gandum turun 14,36 persen secara bulanan dan naik 16,06 persen secara tahunan.
”Tren koreksi penurunan harga sebagian besar komoditas global tengah terjadi. Kendati masih bergejolak, harganya diperkirakan akan turun dan mencapai titik keseimbangan baru pada 2023. Harga keseimbangan yang terbentuk itu masih lebih tinggi daripada harga pada 2019 atau periode sebelum pandemi Covid-19,” kata Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani, ketika dihubungi di Jakarta, Senin (25/7/2022).
Tren koreksi penurunan harga sebagian besar komoditas global tengah terjadi. Kendati masih bergejolak, harganya diperkirakan akan turun dan mencapai titik keseimbangan baru pada 2023.
Tim ekonom Bank Mandiri memperkirakan, rata-rata harga minyak mentah pada 2023 mencapai 98 dollar AS per barel, batubara 168,8 dollar AS per ton, dan CPO 939,3 dollar AS per ton. Pada 2024, rata-rata harga sejumlah komoditas itu juga diperkirakan turun menjadi 82,5 dollar AS per barel untuk minyak mentah; 780,7 dollar AS per ton untuk CPO; dan 117,3 dollar AS per ton untuk batubara.
Dendi menjelaskan, dua faktor utama penurunan harga komoditas adalah mulai berkurangnya tensi perang Rusia-Ukraina dan keyakinan pasar akan resesi global. Koreksi harga komoditas sebenarnya diperkirakan terjadi pada tahun ini. Namun, invasi Rusia ke Ukraina justru menghambat atau memperlambat penurunan harga komoditas.
Saat ini, perang kedua negara itu sudah menyempit di daerah tertentu. Negara-negara yang mengecam perang tersebut juga tidak terlalu masif menekan Rusia dan hanya mengirimkan senjata ke Ukraina serta memberikan sanksi ekonomi.
Rusia dan Ukraina, lanjut Dendi, juga mulai membuka perekonomian untuk mengatasi krisis di dalam negeri ataupun global. Produksi minyak mentah Rusia per Juli 2022 bahkan naik menjadi 10,98 juta barel sehingga turut memengaruhi penurunan harga minyak mentah dunia. Pembeli utama minyak Rusia adalah China dan India.
Baca juga: Kenaikan Harga Global Tertransmisi di Sejumlah Sektor Domestik
Kantor berita Reuters menyebutkan, Rusia dan Ukraina akan menandatangani kesepakatan untuk membuka kembali pelabuhan Ukraina di Laut Hitam guna mengekspor biji-bijian dan minyak nabati. Pada 23 Juli 2022, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyatakan, Ukraina akan menyiapkan 20 juta ton gandum senilai 10 miliar dollar AS untuk diekspor. Kesepakatan itu guna meredakan krisis pangan dunia akibat perang Rusia-Ukraina.
Di sisi lain, Uni Eropa (UE) akan melonggarkan pintu impor minyak mentah dan produk pertanian dari Rusia. Meskipun begitu, UE tetap mengajukan persyaratan ketat, yakni impor kedua jenis komoditas dari Rusia itu hanya boleh dari negara perantara atau pihak ketiga.
Pelonggaran sanksi itu guna meredam krisis pangan dan energi yang tengah terjadi. Krisis energi di UE juga membuat negara tersebut kembali membutuhkan batubara sehingga memengaruhi kenaikan harga batubara global. Sama seperti Amerika Serikat dan China, perekonomian UE tengah tertekan oleh inflasi tinggi dan berpotensi mengalami resesi.
Fase ”durian runtuh”
Dendi berharap pemerintah dan pelaku usaha terkait mulai mempersiapkan diri mengatasi dampak penurunan harga komoditas itu. Ke depan, pendapatan negara dan perusahaan diperkirakan akan berkurang karena fase windfall atau ”durian runtuh” telah lewat.
”Bersamaan dengan itu, biaya produksi dan produk olahan di dalam negeri diperkirakan masih tinggi. Selain itu, permintaan dari sejumlah negara tujuan ekspor juga akan melambat jika terjadi resesi,” kata Dendi.
Dendi menambahkan, neraca perdagangan Indonesia juga bisa kembali defisit seperti sebelum pandemi. Selama ini pertumbuhan perdagangan lebih banyak disumbang oleh kenaikan harga atau nilai barang ketimbang volume.
Pemerintah dan pelaku usaha terkait mulai mempersiapkan diri mengatasi dampak penurunan harga komoditas itu. Ke depan, pendapatan negara dan perusahaan diperkirakan akan berkurang karena fase windfall atau ”durian runtuh ” telah lewat.
Baca juga: Perdagangan Global Tumbuh Berkat Kenaikan Harga ketimbang Volume
Dalam forum Palm Movement Good and Sustainable Palm Oil for Indonesia’s Future pada 22 Juli 2022, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga optimistis permintaan minyak nabati, termasuk CPO dan sejumlah produk turunan, akan terus meningkat. Hal itu akan menguntungkan Indonesia sebagai produsen terbesar CPO.
Melansir data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Jerry menuturkan, produksi minyak nabati dunia pada 2050 akan meningkat menjadi 308 juta ton. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan populasi dunia yang pada tahun 2050 akan sebanyak 9,5 miliar jiwa.
Dengan meningkatnya permintaan, maka produksi minyak nabati, termasuk minyak sawit, akan meningkat. Potensi minyak sawit menjawab penambahan permintaan itu sangat besar.
”Hal ini dimungkinkan karena produktivitas sawit lebih tinggi, yakni sekitar 4 ton per hektar. Produktivitas tersebut mencapai 4-10 kali lipat dibandingkan dengan produktivitas kedelai, bunga matahari, dan rapeseed,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta.
Pada 2021, total produksi CPO global mencapai 75,5 juta ton. Indonesia merupakan negara produsen CPO terbesar dunia dengan pangsa produksi sebesar 60 persen. Indonesia juga negara pengekspor CPO terbesar dunia. Hal itu tecermin dari ekspor lemak dan minyak hewan/nabati yang pada 2021 nilainya mencapai 32,83 miliar dollar AS atau tumbuh 58,48 persen secara tahunan.
Jerry menambahkan, Kementerian Perdagangan akan terus mendorong hilirisasi produk CPO menjadi produk olahan bernilai tambah tinggi. Selama ini, selain menjadi bahan baku biodiesel, sawit juga dimanfaatkan oleh industri makanan, minyak goreng, kosmetik dan perawatan diri, serta rumah tangga.
Baca juga: Waspadai ”Panen” Restriksi Pangan