Penetapan upah minimum 2023 tidak bisa ala kadarnya. Perlu terobosan dan jalan tengah untuk memastikan daya beli pekerja tidak tergerus, konsumsi rumah tangga terjaga, dan momentum pemulihan ekonomi bisa terus berjalan.
Oleh
agnes theodora
·6 menit baca
Polemik upah minimum tahun 2022 belum selesai bergulir, tetapi kebijakan upah minimum 2023 sudah di depan mata. Meski masih 3 bulan lagi sampai penetapan, diskusi seputar upah minimum sudah sepatutnya dibahas dari sekarang untuk mengevaluasi sistem pengupahan yang kini berlaku dan menghindari mengulangi kesalahan yang sama tahun depan.
Harus diakui, kenaikan upah minimum nasional tahun 2022 sebesar rata-rata 1,09 persen adalah yang terendah dalam sejarah pengupahan di Indonesia. Dari total 34 provinsi, kenaikan upah minimum di 13 provinsi di antaranya berada di bawah 1 persen, sementara upah minimum 14 provinsi lainnya naik di kisaran 1 persen dan hanya tiga provinsi yang kenaikan upahnya di atas 3 persen.
Sebagai perbandingan, kenaikan upah minimum 5 tahun sebelumnya selalu berada di atas 8 persen. Sebelum itu, kenaikan upah bahkan bisa lebih tinggi, yakni hingga 19,1 persen pada 2013 dan 22,2 persen pada 2014.
Untuk pertama kalinya, tahun ini, kenaikan upah minimum berada di bawah tingkat inflasi tahun berjalan. Tingkat inflasi tahunan ketika kebijakan upah minimum 2022 ditetapkan adalah 1,66 persen (Oktober 2021). Jika ditelisik satu per satu, mayoritas provinsi saat itu memiliki tingkat inflasi lebih tinggi dari persentase kenaikan upah minimum.
Seiring berjalannya waktu, sesuai prediksi, inflasi terus meningkat di tengah ketidakpastian iklim ekonomi global. Sekarang, baru setengah tahun berlalu setelah kebijakan upah minimum 2022 berlaku, inflasi tahunan sudah menyentuh 4,35 persen secara tahunan (Juni 2022) dan diperkirakan terus meningkat hingga 5 persen pada akhir tahun ini.
Kekhawatiran buruh bahwa upah akan tergerus oleh kenaikan biaya kebutuhan hidup yang lebih tinggi bukan isapan jempol. Selama setengah tahun ini, kaum pekerja, khususnya mereka yang digaji dengan upah minimum dan di bawah upah minimum, praktis harus menombok demi memenuhi kebutuhan hidup dasar sehari-hari.
Jumlah mereka yang bergaji pas-pasan itu pun tidak main-main. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, masih banyak pekerja yang dibayar di bawah upah minimum meski aturannya hanya pekerja dengan masa kerja 0-1 tahun yang boleh digaji dengan besaran upah minimum.
Survei Angkatan Kerja Nasional terbaru pada Februari 2022 menunjukkan, 50,61 persen pekerja di Indonesia masih digaji di bawah upah minimum. Dalam 4 tahun terakhir, hanya 48-57 persen pengusaha yang patuh menggaji buruh sesuai standar minimum.
Jumlah pekerja yang digaji di bawah upah minimum terus bertambah dan mendominasi. Sebagai perbandingan, pada Agustus 2019 sebanyak 43,36 persen pekerja dibayar di bawah upah minimum. Per Februari 2021, jumlahnya meningkat menjadi 49,67 persen dan pada Februari 2022 menjadi 50,61 persen.
Survei Angkatan Kerja Nasional terbaru pada Februari 2022 menunjukkan 50,61 persen pekerja di Indonesia masih digaji di bawah upah minimum.
Argumentasi pelaku usaha bahwa upah masih bisa didiskusikan secara internal oleh buruh dan manajemen perusahaan terlalu naif. Sebab, negosiasi bipartit antara pengusaha dan buruh ada dalam konteks relasi kuasa yang tak seimbang. Apalagi, jika buruh di perusahaan terkait tidak memiliki serikat buruh yang kuat dan pengawasan dari dinas ketenagakerjaan setempat lemah.
Dalam kondisi di mana lebih banyak pekerja yang digaji di bawah atau sebesar upah minimum, peran upah minimum sebagai instrumen jaring pengaman bagi pekerja seharusnya lebih diperkuat. Sudah selayaknya kebijakan upah minimum tahun 2023 ditetapkan di atas inflasi atau seminim-minimnya selaras dengan inflasi.
Duduk masalah
Ada beberapa faktor yang membuat kenaikan upah minimum 2022 begitu rendah. Selain imbas kondisi perekonomian yang saat itu terdampak pandemi, faktor utamanya adalah perubahan formula upah minimum yang diatur pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Sebelum rezim UU Cipta Kerja, besaran kenaikan upah minimum bisa melampaui inflasi karena formula upah minimum dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 menggunakan variabel pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi. Penetapan upah minimum juga masih mempertimbangkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) untuk memperkirakan standar dasar biaya hidup di tiap daerah.
Demi kemudahan iklim berusaha, UU Cipta Kerja mengubah formula itu. Penetapan upah minimum kini hanya memperhitungkan salah satu variabel, antara pertumbuhan ekonomi atau inflasi, yang nilainya lebih tinggi. Komponen survei KHL juga dihilangkan.
Selain itu, variabel baru berupa batas atas dan batas bawah upah minimum diperkenalkan, yang imbasnya semakin menahan laju kenaikan upah minimum menjadi lebih moderat, alias tidak terlalu tinggi. Di satu sisi menguntungkan pelaku usaha, tetapi merugikan pekerja.
Simulasi kasar perhitungan upah minimum dengan menggunakan sejumlah indikator makro terkini menunjukkan, jika penetapan upah minimum mengacu pada formula di PP No 36/2021, kenaikan upah berpotensi di kisaran 1-3 persen. Artinya, meski perekonomian kini sudah membaik, kenaikan upah pekerja tetap tergerus inflasi.
Dalam kondisi di mana lebih banyak pekerja yang digaji di bawah upah minimum atau sebesar upah minimum, peran upah minimum sebagai instrumen jaring pengaman seharusnya diperkuat.
Di DKI Jakarta, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 4,63 persen, inflasi 2,88 persen, upah minimum tahun berjalan Rp 4,57 juta, rata-rata konsumsi rumah tangga Rp 2,33 juta, rata-rata anggota rumah tangga 4,3 orang, dan rata-rata anggota rumah tangga yang bekerja 1,8 orang, persentase kenaikan upah minimum yang didapat adalah 1,67 persen, tetap di bawah inflasi.
Setidaknya, ada dua solusi yang bisa ditempuh: kembali menggunakan PP No 78/2015 atau tetap memakai PP No 36/2021 dengan penyesuaian di sana-sini. Kebetulan, UU Cipta Kerja selaku payung hukum PP No 36/2021 saat ini sedang direvisi setelah dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Maka, masuk akal jika sebagian buruh dan ekonom menyuarakan agar penetapan upah minimum 2023 kembali pada PP No 78/2015. Untuk menjaga agar kenaikannya tetap proporsional, bisa dilakukan penyesuaian dengan kondisi per sektor dan skala usaha. Variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang digunakan juga dapat mengacu pada tingkat provinsi, bukan nasional.
Kedua, kalaupun tetap memakai PP No 36/2021, dibutuhkan penyesuaian di sana-sini agar hasilnya tidak di bawah inflasi. Pertama, kembali menerapkan survei pasar sesuai komponen KHL. Kedua, memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyesuaikan kenaikan upah minimum sesuai kondisi inflasi dan biaya hidup di daerah masing-masing.
Polemik berkepanjangan saat ini salah satunya muncul karena pemda diwajibkan mengikuti kebijakan upah yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Gubernur yang memilih menaikkan upah minimum lebih tinggi mengikuti inflasi ditegur dan diancam diberhentikan. Di daerah lain, seperti DKI Jakarta, batasan bagi pemda itu justru memunculkan ketidakpastian hukum.
Apa pun caranya, satu yang pasti, penetapan upah minimum 2023 tidak bisa sekadar business as usual. Perlu terobosan jalan tengah untuk menyeimbangkan kepentingan pengusaha dan pekerja, memastikan daya beli pekerja tidak tergerus, konsumsi rumah tangga terjaga, dan momentum pemulihan ekonomi bisa terus berjalan.
Masih ada waktu 2-3 bulan untuk mengkaji ulang sistem pengupahan sesuai konteks perekonomian dan kebutuhan pekerja saat ini. Semoga pengambil kebijakan mau belajar dari kesalahan.