Pemerintah mendorong nelayan berhimpun dalam koperasi untuk bisa mendapat kuota penangkapan ikan. Namun, pembentukan koperasi masih menjadi persoalan tersendiri.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
Kementerian Kelautan dan Perikanan terus menggulirkan rencana kebijakan penangkapan ikan terukur. Kebijakan ini diyakini mampu mendorong nelayan keluar dari jerat kemiskinan. Jumlah nelayan kecil hingga kini mendominasi, yakni sekitar 96 persen dari 2,2 juta nelayan di Tanah Air.
Kebijakan penangkapan ikan terukur yang menitikberatkan model penangkapan berbasis kuota membuka peluang bagi pelaku usaha kapal perikanan, termasuk nelayan kecil dan tradisional, untuk memanfaatkan sumber daya ikan dengan kuota tertentu. Sejalan dengan itu, pemerintah juga bakal menerapkan sistem kontrak penangkapan ikan bagi korporasi dalam dan luar negeri.
Dalam pembagian kuota tangkapan, nelayan kecil dan tradisional dijanjikan memperoleh prioritas. Jika kuota tangkapan untuk nelayan kecil dan tradisional itu sudah terpenuhi, sisanya dilelang untuk korporasi dan badan usaha luar negeri. Targetnya, regulasi itu berjalan mulai tahun ini.
Namun, ada syarat yang wajib dipenuhi nelayan kecil dan tradisional, yakni mereka harus berhimpun dalam koperasi nelayan. Koperasi diyakini mampu menaungi usaha nelayan agar memiliki daya tahan dan berdaya saing. Di lain pihak, pemerintah menilai pemberdayaan dan pengembangan ekonomi perikanan akan lebih mudah dilakukan lewat wadah koperasi.
Contoh sukses gerakan koperasi, antara lain, terlihat di Jepang. Koperasi perikanan atau FCA di Jepang, yang semula fokus pada penyaluran sarana produksi dan pemasaran hasil, telah berkembang pesat menjadi salah satu pilar kekuatan perekonomian Jepang. Peran FCA dalam hulu-hilir bisnis perikanan, antara lain, ialah pengadaan sarana produksi; penyimpanan; pengolahan, dan penjualan hasil tangkapan; distribusi; simpan pinjam; hingga pengelolaan pelabuhan perikanan.
Persoalannya, sebagian nelayan kecil saat ini belum bergabung dalam koperasi. Minimnya pengelolaan koperasi tak dimungkiri akibat kendala manajemen dan sumber daya manusia. Kisah kegagalan koperasi perikanan kerap mencuat, menjadi momok yang membuat nelayan dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kerap menarik diri dari wadah koperasi.
Bahkan, muncul selorohan di kalangan nelayan terkait dengan koperasi “karbitan“, yakni koperasi yang muncul sewaktu ada proyek bantuan pemerintah, lalu seketika hilang ketika proyek bantuan selesai. Meski demikian, tak sedikit pula koperasi perikanan yang membawa cerita gemilang dengan omzet mencapai miliaran rupiah.
Dari data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), jumlah koperasi nelayan per 30 Juni 2020 ialah 1.973 unit atau hanya 1,55 persen dari total sekitar 127.000 koperasi di Indonesia. Dari jumlah itu, koperasi nelayan yang masuk kategori grade A dan B berjumlah 251 unit.
Dengan minimnya jumlah koperasi nelayan saat ini, rencana pembagian kuota tangkap untuk koperasi nelayan ibarat menjatah kue untuk kelompok kecil, tetapi membiarkan kelompok terbesar (nelayan yang tidak menjadi anggota koperasi) menjadi penonton. Persoalan baru dikhawatirkan muncul jika kebijakan itu digulirkan di tengah masih lemahnya kultur berkoperasi.
Gerakan koperasi nelayan perlu terlebih dulu disiapkan secara matang agar tidak mengulang lagu lama penyalahgunaan dan ketimpangan akses sehingga mampu mengembalikan kepercayaan nelayan. Tentunya, upaya menghimpun nelayan dalam koperasi akan sulit diwujudkan tanpa pendampingan dan pelatihan, termasuk manajemen keuangan.
Kolaborasi pemangku kepentingan pusat dan daerah, termasuk lembaga swadaya masyarakat untuk mendorong nelayan melek koperasi, mutlak dibangkitkan. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), misalnya, bisa fokus menginisiasi pembentukan koperasi-koperasi nelayan.
Di sisi lain, koperasi-koperasi yang sukses dijadikan percontohan untuk transfer teknologi dan pengalaman. Koperasi Unit Desa Mino Saroyo di Cilacap, Jawa Tengah, yang berpengalaman puluhan tahun mengelola sarana usaha, kebutuhan perbekalan nelayan, pemasaran, hingga tempat pelelangan ikan, tengah digadang Kementerian Koperasi dan UKM sebagai percontohan untuk replikasi koperasi modern. Upaya senada perlu diinisiasi untuk koperasi-koperasi sukses lainnya di luar Jawa.
Komitmen menghidupkan koperasi nelayan sebagai soko guru ekonomi membutuhkan langkah strategis dan konkret agar ekonomi kerakyatan ini tangguh dan berkembang di tengah tantangan globalisasi. Dapat dipastikan, koperasi perikanan yang dikelola dengan baik akan memberikan kontribusi besar terhadap iklim usaha industri sektor kelautan dan perikanan nasional.