Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga sebesar 3,5 persen. Ini didasarkan atas inflasi inti yang masih terjaga. Upaya menjaga stabilitas nilai tukar akan dilakukan operasi moneter.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah inflasi yang terus meningkat dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, Bank Indonesia atau BI memutuskan tetap mempertahankan suku bunga acuan. BI menilai inflasi inti masih terkendali sehingga belum perlu menaikkan suku bunga. Selain itu, BI akan memaksimalkan bauran kebijakan dan operasi moneter untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Rapat Dewan Gubernur BI pada 20 Juli-21 Juli memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5 persen, suku bunga deposit facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 4,25 persen.
Dalam jumpa pers hasil Rapat Dewan Gubernur, Kamis (21/7/2022), di Jakarta, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, kendati inflasi dalam negeri terus meningkat, sejatinya itu merupakan inflasi umum, bukan inflasi inti. Inflasi inti merupakan indikator untuk melihat konsumsi masyarakat yang sesungguhnya, bukan inflasi umum yang sudah memasukkan unsur harga-harga bergejolak. ”Keputusan mempertahankan tingkat suku bunga ini konsisten dengan prakiraan inflasi inti yang masih terjaga,” ujar Perry.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, inflasi umum Juni 2022 sebesar 0,61 persen. Nilai itu meningkat dibandingkan inflasi umum Mei 2022 yang sebesar 0,40 persen. Adapun inflasi umum tahun berjalan (Januari-Juni 2022) mencapai 3,19 persen dan inflasi umum tahunan (Juni 2022 dibandingkan pada Juni 2021) mencapai 4,35 persen.
Sementara itu, inflasi inti pada Juni sebesar 0,19 persen. Nilai itu terus menurun sejak April dan Mei yang sebesar 0,36 persen dan 0,23 persen. Adapun inflasi inti tahun berjalan 2022 mencapai 1,82 persen dan inflasi umum tahunan mencapai 2,63 persen.
Mengenai kestabilan nilai tukar rupiah, Perry menyadari mata uang rupiah terdepresiasi seperti halnya mata uang negara lain akibat ketidakpastian pasar keuangan global. Sejak awal tahun ini hingga 20 Juli, nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS terdepresiasi 4,90 persen. Kondisi itu lebih baik ketimbang mata uang ringgit Malaysia yang terdepresiasi 6,41 persen, rupee India terdepresiasi 7,07 persen, dan baht Thailand yang terdepresiasi 8,88 persen.
”Depresiasi tersebut sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di sejumlah negara. Kebijakan itu merespons peningkatan tekanan inflasi dan kekhawatiran perlambatan ekonomi global di tengah persepsi terhadap prospek perekonomian Indonesia yang tetap positif,” kata Perry.
Untuk mempertahankan stabilitas rupiah, Perry menjelaskan, pihaknya akan memperkuat operasi moneter. Yang akan dilakukan BI adalah mendorong kenaikan struktur suku bunga di pasar uang dan penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Selain itu, pihaknya akan mengintervensi pasar valas untuk mendukung operasi moneter. Ini agar imbal hasil SBN tetap bersaing sehingga arus dana keluar yang bisa melemahkan nilai tukar rupiah dapat dicegah.
Dihubungi secara terpisah, peneliti pada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, menjelaskan, keputusan BI mempertahankan suku bunga sudah tepat. ”BI perlu terus mendukung momentum pemulihan ekonomi yang masih terjadi,” ujarnya.
Dengan mempertahankan suku bunga, bunga kredit perbankan tetap rendah sehingga bisa merangsang kenaikan penyaluran kredit perbankan. Hal ini diharapkan bisa mendorong konsumsi masyarakat yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, untuk menyerap kelebihan likuiditas pasca-pandemi Covid-19 yang berangsur pulih, BI menggunakan instrumen lainnya, yakni menaikkan persentase giro wajib minimum (GWM) perbankan.
Adapun untuk menjaga stabilitas nilai tukar, Riefky menilai BI masih memiliki cadangan devisa yang cukup untuk intervensi di pasar uang. Sampai 30 Juni 2022, posisi cadangan devisa Indonesia sebesar 136,37 miliar dollar AS.
Ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman, menambahkan, kendati BI tetap mempertahankan suku bunga, ia menilai era pelonggaran moneter BI akan berakhir tahun ini. Menimbang inflasi yang kemungkinan terus meningkat dan tekanan global, Faisal memperkirakan sampai akhir tahun suku bunga acuan BI naik 75 basis poin atau menjadi 4,25 persen.
Sementara itu, Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporan Asian Development Outlook yang dirilis pada Kamis (21/7) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini mencapai 5,2 persen. Pertumbuhan tersebut ditopang aktivitas ekonomi yang meningkat dan pertumbuhan ekspor yang stabil.
”Perkiraan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini ditopang kegiatan ekonomi di Indonesia yang terus berangsur normal seiring jumlah kasus Covid-19 yang terkendali,” ujar Direktur ADB untuk Indonesia Jiro Tominaga dalam keterangannya.
Perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia itu meningkat dibandingkan dengan perkiraan dari laporan serupa ADB pada April lalu yang sebesar 5,0 persen. Revisi perkiraan pertumbuhan itu sejalan dengan kenaikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara.