Kekayaan Intelektual Kini Bisa Jadi Jaminan Akses Pinjaman
Pemerintah memfasilitasi skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual melalui lembaga keuangan bank dan nonbank bagi pelaku ekonomi kreatif. Fasilitasi ini melalui pemanfaatan kekayaan intelektual bernilai ekonomi.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memperbolehkan skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual melalui lembaga keuangan bank dan nonbank diberlakukan untuk pelaku ekonomi kreatif. Dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif. Meski dianggap sebagai terobosan positif, penghitungan nilai kekayaan intelektual sebagai jaminan mengakses pembiayaan tidak mudah dilakukan.
”PP No 24/2022 merupakan bukti pengakuan negara. Kami berharap bisa semakin menumbuhkan kesadaran pelaku ekonomi kreatif tentang pentingnya hak kekayaan intelektual,” ujar Deputi bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) Henky Hotma Parlindungan Manurung, Selasa (19/7/2022), di Jakarta.
Presiden Joko Widodo menandatangani dan menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 pada 12 Juli 2022. Sesuai UU No 24/2019, peraturan pelaksananya seharusnya telah dikeluarkan paling lambat dua tahun terhitung sejak UU ditetapkan.
Kami berharap bisa semakin menumbuhkan kesadaran pelaku ekonomi kreatif tentang pentingnya hak kekayaan intelektual.
Pada pasal 4 PP No 24/2022 disebutkan, pemerintah memfasilitasi skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual melalui lembaga keuangan bank dan nonbank bagi pelaku ekonomi kreatif. Fasilitasi ini melalui pemanfaatan kekayaan intelektual yang bernilai ekonomi dan penilaian kekayaan intelektual.
Berikutnya, pada Pasal 7 PP No 24/2022 disebutkan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual diajukan oleh pelaku ekonomi kreatif kepada lembaga keuangan bank atau nonbank. Persyaratannya mencakup, antara lain, proposal pembiayaan, memiliki usaha ekonomi kreatif, perikatan terkait kekayaan intelektual produk ekonomi kreatif, serta surat pencatatan atau sertifikat kekayaan intelektual.
Lembaga keuangan bank atau nonbank yang akan memberikan pembiayaan, sesuai Pasal 8 PP No 24/2022, harus melakukan verifikasi pelaku, termasuk verifikasi sertifikat kekayaan intelektual yang dijadikan agunan. Mereka juga harus melakukan penilaian kekayaan intelektual. Adapun pada Pasal 9 PP No 24/2022 ditekankan, dalam pelaksanaan skema pembiayaan itu, mereka menggunakan kekayaan intelektual sebagai obyek jaminan utang.
Menurut Henky, pihaknya akan melakukan berbagai pendekatan ataupun sosialisasi kepada lembaga keuangan bank dan nonbank. Bersama mereka, Kemenparekraf/Baparekraf akan lebih banyak berdiskusi bentuk-bentuk skema pembiayaan yang memungkinkan lekas dijalankan. Di dalam internal Kemenparekraf/Baparekraf akan dibahas upaya promosi kekayaan intelektual yang juga diamanatkan oleh PP No 24/2022.
Dia menambahkan, kementerian/lembaga juga akan bertemu untuk membahas peraturan turunan, antara lain, Kementerian Dalam Negeri dan Otoritas Jasa Keuangan. Pelaksanaan PP No 24/2022 tidak bisa berdiri sendiri.
Nilai
”Kebijakan itu bertujuan positif, setidaknya menjadi dasar hukum bagi bank. Namun, pada akhirnya, dalam mekanisme pasar kredit yang dibutuhkan bank adalah jaminan yang bisa dieksekusi dengan mudah dan efisien. Amanat PP No 24/2022 bisa berjalan optimal sepanjang kekayaan intelektual suatu produk ekonomi kreatif bernilai tinggi dan mudah dieksekusi,” ujar Direktur Indonesia Development and Islamic Studies Yusuf Wibisono saat dihubungi terpisah.
Dia menjelaskan, bagi perbankan, agunan umumnya berfungsi sebagai instrumen mitigasi risiko pinjaman. Perbankan biasanya hanya akan menerima agunan yang bernilai tinggi dan mudah dilikuidasi, seperti properti rumah dan kendaraan bermotor.
Jika permintaan kredit dengan agunan kekayaan intelektual cukup besar dan mencapai skala ekonomis, dia memperkirakan akan banyak bank mempertimbangkan penyaluran pinjaman. Sebaliknya, jika permintaan hanya sedikit, dia mengkhawatirkan, perbankan tidak ingin menghabiskan banyak biaya dan lebih akan menerima bentuk agunan yang sudah umum, seperti properti.
Jika permintaan kredit dengan agunan kekayaan intelektual cukup besar dan mencapai skala ekonomis, dia memperkirakan akan banyak bank mempertimbangkan penyaluran pinjaman.
Pengamat perbankan dan dosen Binus University, Doddy Ariefianto, menambahkan, surat pencatatan atau sertifikat kekayaan intelektual merupakan aset tidak tampak. Pengalaman beberapa negara maju, perbankan mereka menjadikan aset tidak tampak tersebut sebagai agunan sekunder saat mengajukan pinjaman.
”Mengkaji seberapa besar nilai kekayaan intelektual suatu produk ekonomi kreatif itu tidak mudah, terutama untuk durasi jangka panjang. Dalam konteks perangkat lunak, misalnya. Pada awal penemuan bisa sangat valuable, tetapi seiring berjalannya waktu tidak dan bisa saja muncul permasalahan penjiplakan atau pembajakan,” katanya.
Sementara itu, pengacara di AMAR Law Firm & Public Interest Law Office, Imanuel Gulo, menganggap, dengan adanya PP No 24/2022, pelaku ekonomi kreatif memiliki opsi tambahan sumber pembiayaan. Jadi, PP ini harus dimaknai sebagai peluang baik.
Sejalan dengan Yusuf dan Doddy, Imanuel menyampaikan, beberapa negara, seperti Malaysia dan India, sudah mengakomodasi kekayaan intelektual sebagai jaminan utang dalam peraturan perundang-undangannya. Akan tetapi, dalam praktiknya, kedua negara itu menerapkan standar ganda. Baik mahkamah agung di kedua negara maupun pihak perbankan dan lembaga keuangan nonbank masih merasa menetapkan kekayaan intelektual sebagai jaminan utang terlalu berisiko tinggi.
”Tantangan lainnya, belum semua pelaku ekonomi kreatif di Indonesia memiliki pemahaman hak kekayaan intelektual secara komprehensif,” ujarnya.
Adapun CEO Anantarupa Studios Ivan Chen berpendapat, PP No 24/2022 memiliki tujuan positif, yakni supaya industri berbasis kekayaan intelektual bisa memperoleh fasilitas setara dengan industri lainnya. Pasal 3 PP No 24/2022 secara tegas menyatakan pembiayaan ekonomi kreatif bisa bersumber dari APBN dan APBD.
Menurut dia, preferensi yang dia harapkan sebagai pelaku industri kreatif adalah bukan menjadikan kekayaan intelektual sebagai jaminan pinjaman. Preferensinya adalah pemerintah mengakomodasi akses dan skema pembiayaan yang jelas bagi industri berbasis kekayaan intelektual.
”Kalau konsepnya pembiayaan, pemerintah bisa ikut berpartisipasi dalam bentuk investasi, sponsor, dan dana hibah,” ujar Evan.