Jaga Daya Beli, Kenaikan Upah Harus Proporsional Sesuai Inflasi
Jika penetapan upah minimum tetap mengacu pada formula yang berlaku dalam PP No 36/2021, daya beli pekerja bakal terus tergerus.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren kenaikan inflasi menggerus daya beli masyarakat di tengah kenaikan upah yang tidak seberapa. Untuk menjaga daya beli, kebijakan upah minimum yang akan kembali dibahas dalam waktu dekat bisa menjadi instrumen untuk mendorong kenaikan upah yang lebih proporsional dan selaras dengan tren inflasi.
Dalam waktu setengah tahun, tingkat inflasi tahunan meningkat dari 1,87 persen pada Desember 2021 menjadi 4,35 persen pada Juni 2022. Meski masih lebih moderat dibandingkan inflasi di negara lain, kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok itu menggerus daya beli masyarakat, khususnya mereka yang bergantung pada gaji dengan besaran upah minimum.
Itu karena rata-rata kenaikan upah minimum tahun 2022 secara nasional hanya 1,09 persen, di bawah inflasi yang terus meningkat dan diperkirakan menyentuh 5 persen akhir tahun ini. Kebijakan itu menggunakan rumus baru dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang menahan laju kenaikan upah minimum menjadi lebih moderat alias tidak terlalu tinggi.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, Selasa (19/7/2022), mengatakan, melihat kondisi saat ini, kebijakan upah minimum tahun 2023 yang akan segera dibahas dalam waktu dekat harus menyesuaikan dengan tren kenaikan inflasi agar daya beli pekerja tidak tergerus habis oleh kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok.
Ia menilai, kenaikan upah minimum yang sejalan dengan inflasi seharusnya dimungkinkan, dengan asumsi pemulihan ekonomi Indonesia berlanjut. ”Indonesia diyakini tidak akan resesi. Dengan asumsi pemulihan ekonomi kita terus berlanjut, upah minimum seharusnya bisa didorong naik, minimal sebesar angka inflasi tahun 2022, yaitu sekitar 5 persen,” kata Piter.
Simulasi kasar perhitungan upah minimum dengan menggunakan sejumlah indikator makro terkini menunjukkan, jika penetapan upah minimum mengacu pada formula yang berlaku dalam PP No 36/2021, kenaikan upah akan berada di kisaran 1-3 persen. Artinya, kenaikan upah pekerja masih akan tergerus kenaikan inflasi.
Di DKI Jakarta, misalnya, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 4,63 persen, inflasi 2,88 persen, upah minimum tahun berjalan Rp 4,57 juta, rata-rata konsumsi rumah tangga Rp 2,33 juta, rata-rata anggota rumah tangga 4,3, dan rata-rata anggota rumah tangga yang bekerja 1,8, persentase kenaikan upah minimum yang didapat adalah 1,67 persen, masih di bawah angka inflasi.
Perlu terobosan
Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) Surnadi menilai, kenaikan upah yang hanya 1,09 persen pada tahun 2022 menjadi sejarah terburuk sistem pengupahan di Indonesia. Ia berharap, kendati regulasi yang dipakai tetap PP No 36/2021, pembahasan upah minimum 2023 yang dimulai bulan depan bisa memunculkan terobosan sesuai kebutuhan saat ini.
Terobosan itu antara lain melalui memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyesuaikan laju kenaikan upah minimum sesuai kondisi inflasi di daerah masing-masing. Terobosan lain yang bisa diambil adalah menerapkan kembali survei pasar sesuai komponen kebutuhan hidup layak, yang lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditiadakan.
”Survei kenaikan pasar bisa menjadi solusi paling tepat agar kenaikan upah tetap sesuai regulasi, tetapi disesuaikan dengan realitas kebutuhan masyarakat yang sebenarnya,” kata Surnadi, yang mewakili unsur serikat buruh di Depenas.
Ekonom Institute for Development on Economics and Finance, Abdul Manap Pulungan, menilai, di tengah kondisi yang serba sulit bagi pekerja dan pengusaha, kebijakan upah minimum yang proporsional itu bisa disesuaikan dengan kondisi tiap sektor usaha.
”Jangan hanya melihat data makro, tetapi kondisi industri secara mikro. Untuk sektor yang pertumbuhannya tinggi, bolehlah kenaikan upahnya lebih tinggi, tetapi bagi sunset industry, tidak bisa dipaksakan kenaikan yang sama,” katanya.
Senada dengan Surnadi, ia juga menilai kebijakan upah minimum yang terdesentralisasi dapat menjawab kebutuhan riil pekerja di masing-masing daerah. ”Harus daerah yang mengawal, jangan diserahkan ke pemerintah pusat yang tidak mengerti kondisi di daerah. Jangan juga hanya diserahkan ke perusahaan, karena belum tentu upah akan dinaikkan,” ujar Abdul.
Terintegrasi
Peneliti Senior The SMERU Research Institute Luhur Bima mengatakan, dengan harga berbagai kebutuhan pokok yang berpotensi makin meningkat, dibutuhkan intervensi pemerintah untuk memperkuat daya beli masyarakat, khususnya kelompok ekonomi menengah-bawah.
Kebijakan upah minimum yang proporsional sesuai kebutuhan riil pekerja dan sejalan dengan inflasi dibutuhkan mengingat kondisi perekonomian saat ini yang sedang tidak normal. Namun, ia mengingatkan, upah bukan satu-satunya solusi.
”Efek kenaikan upah yang proporsional dalam menghadapi inflasi itu bisa jadi tidak optimal jika tidak dilaksanakan secara terintegrasi dengan kebijakan lainnya,” kata Bima.
Misalnya, perbaikan sistem transportasi massal umum untuk mengurangi dampak kenaikan bahan bakar minyak terhadap pengeluaran masyarakat serta perbaikan sistem distribusi logistik untuk meminimalkan dampak kenaikan harga kebutuhan pokok di pasaran.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan pekerja informal yang tidak bisa terbantu lewat instrumen kebijakan upah yang lebih banyak menyasar pekerja formal. ”Pemerintah tetap perlu fokus pada program bantuan untuk level rumah tangga dan meningkatkan efektivitasnya, termasuk problem klasik akurasi daftar penerima bantuan,” ujarnya.
Sudah proporsional
Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Adi Mahfudz berpendapat, instrumen upah minimum berdasarkan rumus baru yang berlaku dalam PP No 36/2021 sudah cukup proporsional. Sebab, upah minimum seharusnya hanya diberikan kepada pekerja dengan masa kerja 0-1 tahun.
”Sementara untuk menjaga daya beli masyarakat, kenaikan upah pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun itu bisa dirundingkan secara internal sesuai dengan undang-undang yang ada,” katanya.
Menurut dia, akan lebih efektif jika pemerintah menggencarkan program bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat untuk menjaga daya beli, antara lain Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, BLT Minyak Goreng, BLT Desa, Bantuan Tunai Pedagang Kaki Lima, Warung dan Nelayan, serta Kartu Prakerja.
”Secara pragmatis, pemerintah hanya perlu melanjutkan program-program BLT yang sudah ada sebagai upaya menjaga daya beli masyarakat,” katanya.