Input produksi, pelaksanaan ”on-farm”, dan pascapanen menjadi tiga hal yang harus diperhatikan demi tercapainya ketersediaan beras yang berkelanjutan. Jika optimal, petani sejahtera dan produksi terdongkrak.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterbatasan akses permodalan dan ketersediaan input menjadi permasalahan para petani padi yang kerap membuat kesejahteraan mereka belum tercapai. Padahal, produktivitas padi terus dipacu. Ekosistem perberasan nasional perlu terus dibenahi demi ketersediaan pangan berkelanjutan dan petani sejahtera.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produktivitas padi nasional pada 2021 sebanyak 52,26 kuintal gabah kering giling (GKG) per hektar atau meningkat dari tahun sebelumnya yang 51,28 kuintal per hektar. Adapun produksi pada 2021 sebanyak 54,42 juta ton atau menurun dari tahun sebelumnya yang 54,64 juta ton.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (DPP Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, terbatasnya akses permodalan dan ketersediaan input membuat petani tak mampu mencapai produktivitasnya. Hal tersebut membuat pendapatan tak meningkat sehingga kesejahteraan tak tercapai.
”Perlu ada perubahan agar ekosistem perberasan, baik di tingkat lapangan maupun nasional, bisa dibangun. Produsen, yakni petani, harus didukung industri hilir sehingga mampu menyelenggarakan on-farm dengan baik,” ujar Sutarto dalam webinar terkait ketersediaan beras berkelanjutan yang digelar Kementerian Pertanian, Senin (18/7/2022).
Ia menjelaskan, menjadi peran semua pihak dalam membina petani, termasuk penyuluh di dinas pertanian, begitu juga dukungan pihak-pihak lain agar diarahkan pada pengembangan produk pertanian. Dengan demikian, nantinya yang dihasilkan tak hanya gabah, tetapi juga beras dan turunannya. Perlu juga kerja sama dengan penggilingan padi sekaligus dicarikan pasarnya, yang perlu dibantu pemerintah.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University Rachmat Pambudy menuturkan, sejumlah hal penting dalam pertanian padi adalah input produksi, on-farm, dan pascapanen. Ketiga hal tersebut pun berkaitan. Perlu ada kebijakan terkait harga dan nonharga, seperti ketersediaan benih, pupuk, dan air yang tercukupi, dari pemerintah.
”Agar berjalan baik, kebutuhan dasar petani harus terpenuhi, termasuk kredit yang tersedia, sehingga petani bisa dengan tenang memproduksi (padi). Kalau petani sudah produksi dan mampu memenuhi ketentuan produksi dan panen yang baik, harga (yang sesuai) harus dicukupi,” kata Rachmat.
Apabila harga menguntungkan petani, lanjut Rachmat, proses produksi pangan akan terjamin. Dengan terpenuhinya hal tersebut, petani dipastikan akan berproduksi sebaik-baiknya sehingga pada akhirnya akan turut memastikan ketersediaan beras ataupun pangan secara berkelanjutan.
Direktur Utama ID Food, yang merupakan induk BUMN pangan, Frans Marganda Tambunan menambahkan, ID Food memiliki tugas khusus dari pemegang saham untuk bermitra dengan 2 juta petani, peternak, nelayan, dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Semua demi keberlanjutan pangan. ”Bagaimana agar bersinergi dan menjalankan fungsi sebagai off-taker (penyerap) karena selama ini yang kerap menjadi kendala adalah siapa yang menjadi pembeli di ujung,” ucapnya.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi dalam keterangannya, Senin (18/7), mendorong semua pihak agar berinovasi tepat guna. Ia menyambut setiap terobosan dan inovasi yang dapat meningkatkan produksi serta kesejahteraan petani, seperti upaya memperpanjang usia panen padi 15-25 hari, di Lampung Timur, Lampung.
”Ini perlu terus didorong untuk memotivasi (petani) sehingga masalah-masalah dapat teratasi. Sesuai arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, di tengah ancaman krisis pangan global, perlu adanya inovasi bidang pertanian dari hulu ke hilir yang efektif dan efisien. Itu untuk pertanian Indonesia maju, mandiri, dan modern,” katanya.
Harga gandum
Frans menuturkan, pasokan gandum yang terdampak perang antara Rusia dan Ukraina membuat Indonesia mencari negara-negara penghasil yang lain. Menurut dia, penting untuk mengantisipasi agar kenaikan harga gandum tak membuat konsumen beralih dari mi atau roti kembali ke beras.
Upaya-upaya tersebut, termasuk menunggu Rusia mengeluarkan produk gandum mereka, penting dilakukan. ”Itu untuk mendapat pasokan agar harga gandum tidak liar sehingga keseimbangan konsumsi antara beras dan produk-produk pangan hasil olahan gandum tidak terjadi pergeseran (kembali ke beras) karena akan menyebabkan kepincangan,” katanya.
Senada, Rachmat juga megatakan, jangan sampai karena pasokan gandum berkurang sehingga masyarakat makan nasi lagi atau terjadi peralihan. Bisa didorong antara lain, sejumlah olahan beras menjadi mi, seperti rice based noodles, sago based noodles, maupun cassava (ketela) based noodles.
ID Food, imbuh Rachmat, memiliki peran strategis dalam pergeseran paradigma terkait konsumsi pangan agar tidak terus bergantung pada beras atau nasi. ”Ini harus jadi strategi ID Food agar pangan berkelanjutan kita tercukupi serta ada keseimbangan. ID Food, Food Station (DKI Jakarta), dan Bulog saling melengkapi,” ucapnya.