Inflasi Gerus Daya Beli, Rumus Upah Minimum di UU Cipta Kerja Harus Direvisi
Seiring berjalannya waktu, inflasi yang terus melejit semakin menggerus upah buruh yang hanya naik tipis.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat upah pekerja yang relatif rendah sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja makin tergerus akibat lonjakan inflasi. Jika penetapan upah minimum tahun depan masih mengacu pada regulasi itu, bisa dipastikan daya beli masyarakat akan semakin tergerus dan konsumsi rumah tangga semakin tertahan.
Sejak Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan berlaku, aturan upah minimum pun menggunakan formula yang berbeda. Untuk menjaga iklim investasi dan berusaha, regulasi itu menetapkan sistem pengupahan baru yang menahan laju kenaikan upah minimum agar lebih moderat alias tidak terlalu tinggi.
Rumus baru tersebut mulai diterapkan pada 2022. Hasilnya, rata-rata kenaikan upah minimum nasional tahun ini hanya 1,09 persen dan rata-rata kenaikan upah riil hanya 1,12 persen per Februari 2022. Angka tersebut ada di bawah tingkat inflasi tahunan Oktober 2021 ketika kebijakan upah minimum ditetapkan, yakni 1,66 persen.
Seiring berjalannya waktu, inflasi yang terus melejit semakin menggerus upah buruh yang hanya naik tipis. Per Juni 2022, inflasi tahunan nasional sudah mencapai 4,35 persen dan inflasi tahun berjalan mencapai 3,19 persen, semakin jauh di atas kenaikan upah pekerja.
Dalam waktu 1-2 bulan lagi, penetapan upah minimum tahun 2023 akan mulai dibahas. Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, Senin (18/7/2022), mengatakan, jika upah minimum 2023 masih mengacu pada PP No 36/2021, dapat dipastikan upah buruh akan kembali tergerus oleh kenaikan inflasi yang tajam.
Ia mengusulkan agar dalam momentum revisi UU Cipta Kerja, formula penetapan upah minimum menjadi salah satu pasal prioritas yang diubah. Sementara itu direvisi, upah minimum tahun depan sebaiknya kembali menggunakan rumus pengupahan yang ada di PP No 78/2015 sebagai turunan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Rumus upah minimum di PP No 78/2015 pun perlu dievaluasi agar menggunakan variabel produk domestik regional bruto (PDRB) dan inflasi provinsi ketimbang produk domestik bruto (PDB) nasional dan inflasi nasional sebagaimana yang tercantum di PP tersebut.
”Di tengah kondisi sekarang ini, pemerintah harus memperbaiki daya beli buruh agar konsumsi agregat masyarakat meningkat, bukan malah terus-menerus menekan upah dan daya beli buruh,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, inflasi yang terus melejit semakin menggerus upah buruh yang hanya naik tipis.
Apalagi, 52 persen dari struktur pertumbuhan ekonomi nasional ditentukan oleh konsumsi agregat masyarakat. Jika kenaikan upah minimum terus ditekan lewat formula baru di UU Cipta Kerja, daya beli pekerja akan semakin tergerus dan konsumsi rumah tangga semakin tertekan.
Masyarakat pun semakin sulit sejahtera dan target pertumbuhan ekonomi nasional di kisaran 5 persen yang dipasang pemerintah bisa-bisa tidak tercapai. ”Fakta tergerusnya upah minimum dan daya beli pekerja tahun ini seharusnya bisa dievaluasi sehingga kenaikan upah minimum 2023 nanti bisa lebih tinggi dari tingkat inflasi,” ujar Timboel.
Belum dibahas
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengatakan, sampai saat ini kebijakan upah minimum 2023 belum dibahas di Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional dan Dewan Pengupahan Nasional (Depenas). Menurut rencana, hal itu baru akan dibahas pada Agustus nanti.
Menurut dia, serikat buruh yang tergabung di LKS Tripnas akan menolak penggunaan PP No 36/2021 sebagai landasan hukum penetapan upah minimum 2023. ”Seharusnya itu tidak berlaku lagi karena UU-nya sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan dalam waktu dekat akan direvisi. Serikat buruh harus kompak menolak,” kata Elly.
Di tengah kondisi sekarang ini, pemerintah harus memperbaiki daya beli buruh agar konsumsi agregat masyarakat meningkat,
Terkait dengan perintah Mahkamah Konstitusi agar UU Cipta Kerja direvisi, menurut Elly, sampai saat ini belum ada undangan dari pemerintah untuk membahas pasal-pasal di kluster ketenagakerjaan. Ia mengatakan, serikat buruh pada prinsipnya siap untuk duduk bersama dan membahas arah revisi UU sapu jagat itu.
Namun, ia berharap pemerintah tidak sekadar menjadikan serikat buruh yang hadir sebagai cap stempel legitimasi. ”Kalau diajak bicara, tetapi ide-ide kami tidak diperhitungkan, sama saja,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah sedang melakukan pemetaan isu krusial dalam revisi UU Cipta Kerja. Kajian itu mengacu pada pasal-pasal yang diajukan serikat buruh dan kelompok masyarakat sipil saat uji materiil ke Mahkamah Konstitusi tahun lalu.
Audiensi dengan serikat buruh dan pemangku kepentingan lainnya akan dilakukan setelah pemetaan isu rampung. Untuk sementara ini, pemerintah memang belum mengajak serikat buruh untuk berdiskusi.
”Nanti kalau sudah selesai mapping, kita akan bahas dalam satu forum, entah diskusi terbatas, serap aspirasi, atau apapun, kita masih mencari bentuknya,” kata Anwar.
Isu formula penetapan upah minimum menjadi salah satu pasal yang ikut diperhatikan dalam kajian internal Kementerian Tenaga Kerja. Namun, Anwar belum bisa memastikan arahnya akan seperti apa. Saat ini, isu upah minimum itu masih didiskusikan dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
”Ini juga jadi aspek yang kita pertimbangkan, tetapi kita belum bisa mengatakan apakah akan mengubah total dan sebagainya. Masih didiskusikan karena, meskipun ini isu ketenagakerjaan, tetapi kan memengaruhi dan dipengaruhi oleh isu-isu yang lain,” ujarnya.
Setidaknya ada tiga perubahan mendasar terkait dengan rumus penetapan upah minimum di UU Cipta Kerja. Pertama, rumusan upah minimum tidak lagi ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi, tetapi mengacu ke salah satu indikator yang nilainya lebih tinggi.
Kedua, munculnya variabel penghitungan selisih batas atas dan bawah upah minimum. Variabel ini didapat dengan menyandingkan rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata jumlah anggota rumah tangga (ART), dan rata-rata jumlah ART yang bekerja di setiap rumah tangga.
Ketiga, penetapan upah minimum tidak lagi mempertimbangkan analisis kebutuhan riil lewat survei komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Perkiraan biaya hidup pekerja dipukul rata berdasarkan indikator ekonomi makro.