Syarat yang Tak Mudah bagi Peternak dalam Ganti Rugi PMK
Segenap syarat dan kriteria yang ditetapkan pemerintah terkait kompensasi dan bantuan bagi peternak terdampak penyakit mulut dan kuku dinilai tidak mudah. Wabah ini diyakini berdampak sistemik pada peternakan nasional.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
Hasil rapat internal di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, yang diumumkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Kamis (23/6/2022), cukup melambungkan harapan peternak yang terdampak penyakit mulut dan kuku. Betapa tidak, pemerintah menyiapkan ganti rugi sebesar Rp 10 juta per ekor sapi, khususnya kepada peternak skala mikro, kecil, dan menengah.
Akan tetapi, begitu terbit Keputusan Menteri Pertanian Nomor 518/KPTS/PK.300/M/7/2022 tentang Pemberian Kompensasi dan Bantuan dalam Keadaan Tertentu Darurat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada 7 Juli 2022, harapan itu mendadak surut. Peternak harus mengubur angan mendapatkan ”uluran tangan” dari negara. Sebab, sederet persyaratan administratif serta kriteria hewan dan wilayah mempersempit peluang untuk mendapatkan kompensasi dan bantuan pemerintah atas dampak wabah PMK.
Selain persyaratan administratif, seperti melampirkan salinan kartu tanda penduduk (KTP), memiliki surat keterangan kepemilikan hewan yang ditandatangani lurah/kepala desa, dan melampirkan surat keterangan stamping out (pemusnahan hewan) dari dokter hewan setempat, ada kriteria lain yang berpotensi mencoret peternak dari daftar calon penerima kompensasi.
Kriteria itu misalnya hewan yang berhak diberi kompensasi adalah hewan sehat yang diduga berpotensi menularkan dan menyebarkan PMK pada hewan lain menurut pertimbangan dokter hewan setempat. Selain itu juga hewan yang tidak diasuransikan atau tidak mendapat penggantian dari APBD provinsi, kota, atau kabupaten.
Hal lain yang dinilai semakin menjauhkan peternak dari fasilitas kompensasi itu adalah wilayah yang diberikan kompensasi, yakni wilayah atau kawasan (pulau) yang merupakan zona hijau. Dengan menilik data kasus PMK akhir pekan lalu serta mengacu ketentuan itu, berarti hanya sebagian kecil wilayah yang peternaknya berpeluang mendapatkan kompensasi.
Wilayah itu jelas di luar sentra peternakan sapi, kambing/domba, atau babi karena sebagian besar sentra ternak nasional telah melaporkan kasus PMK. Laman Siagapmk.id, pada Jumat (15/7/2022) malam, menyebut, virus telah menjangkau 250 kota/kabupaten di 22 provinsi.
Upaya menggaet bantuan pemerintah terkait PMK, meski berlaku untuk peternak di zona merah, juga bukan perkara mudah. Ada beberapa syarat yang tidak semua peternak bisa memenuhi, seperti syarat melampirkan visum et repertum untuk hewan yang mati serta surat diagnosis gejala klinis.
Jangka panjang
Pada Kamis (14/7/2022), berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang melaporkan total hewan sakit mencapai 351.757 ekor, dipotong bersyarat 4.706 ekor, dan mati 2.133 ekor, Ombudsman RI memperkirakan, potensi kerugian akibat wabah PMK secara keseluruhan mencapai Rp 792,44 miliar. Potensi kerugian khusus pada ternak jenis sapi mencapai Rp 771,85 miliar.
Kendati tingkat kematian hewan masih di bawah 5 persen, Ombudsman RI menilai dampak sistemik PMK dalam jangka panjang perlu menjadi perhatian serius. Sebab, penurunan produktivitas hewan sangat signifikan. Situasi itu tergambar lewat laporan dari sentra-sentra susu sapi nasional, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Pada 13 Juli 2022, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) melaporkan, jumlah sapi perah yang terinfeksi PMK mencapai 19.267 ekor di Jawa Barat (24,65 persen dari total populasi sapi perah), lalu 5.189 ekor di Jawa Tengah (12,55 persen), dan 55.478 ekor di Jawa Timur (31,19 persen). Penurunan produksi susu sapi dilaporkan mencapai 137,14 ton (30 persen) di Jawa Barat, 66 ton (40 persen) di Jawa Tengah, dan 535,71 ton (30 persen) di Jawa Timur.
Dalam jangka panjang, situasi itu bakal membawa Indonesia pada ketergantungan yang lebih akut terhadap susu sapi impor. Padahal, sebelum ada wabah PMK saja, suplai dari para peternak sapi perah nasional terus turun dan kini hanya sekitar 15 persen dari rata-rata kebutuhan 11.000 liter per hari. Dampak serupa bakal terjadi untuk pemenuhan kebutuhan daging sapi.
Situasi yang dihadapi peternak hari-hari ini jelas tidak mudah. Selain kehilangan sebagian ”mesin produksi”, mereka mesti bersusah payah mengupayakan ternak yang masih sehat, sebagian mesti menanggung beban kredit yang belum tuntas di tengah pendapatan yang turun atau hilang karena hewan ternaknya tertular PMK.
Padahal, segenap kesulitan itu bukan karena kesalahannya, melainkan karena faktor di luar mereka, seperti soal longgarnya pengawasan dan karantina hewan serta lambatnya penanganan PMK. Hasil kajian Ombudsman RI dan hasil investigasi Kompas menguatkan dugaan itu. Jadi, tak semestinya peternak yang harus menanggung dampaknya. Segenap syarat dan kriteria itu tidak mudah dipenuhi oleh sebagian peternak.