Ikhtiar Menurunkan Tensi Geopolitik di Labuan Bajo
Pertemuan Sherpa G20 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, sengaja dikemas dengan nuansa informal untuk menurunkan tensi geopolitik. Pertemuan itu diharapkan menjadi awal dialog yang lebih kondusif menuju puncak KTT G20.
Pertemuan tingkat Sherpa G20 ke-2 di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, bukan hanya forum biasa untuk membahas isu-isu ekonomi global terkini. Sejak awal, pertemuan selama empat hari itu memikul beban misi diplomatik untuk mencairkan ketegangan geopolitik yang meruncing belakangan ini akibat perang Rusia-Ukraina.
Angin sepoi-sepoi dan permukaan air laut yang biru jernih menyambut kedatangan para delegasi sherpa G20 di Pantai Pink, Pulau Padar, Labuan Bajo. Lantaran air laut mulai surut, Selasa (12/7/2022) siang itu, kapal speedboat yang ditumpangi tidak bisa langsung bersandar di dermaga atau merapat ke dekat pesisir pantai.
Nyaris saja kapal berputar balik. Beruntung, ada ojek kapal yang kebetulan melintas sehabis mengantarkan pedagang kaki lima ke Pantai Pink. Para delegasi pun berpindah dari speedboat ke ojek kapal untuk diantar sampai ke pesisir. Dengan hati-hati, mereka meniti buritan kapal yang berayun pelan mengikuti hantaman ombak.
Baca juga: Ketegangan Belum Cair Tapi G20 Buat Langkah Awal
Efek panas terik matahari, hamparan pasir merah jambu, serta air laut yang jernih membuat sejumlah delegasi tergoda untuk langsung terjun ke laut dan berenang ke tepian.
Sebagian lagi, termasuk Sherpa G20 dari Rusia, Svetlana Lukash, memilih bersantai sejenak di warung pinggir pantai sembari menyesap es kelapa muda sebelum akhirnya ia ikut menceburkan diri ke air seperti anggota delegasi lain. Meski hanya sebentar, suasana kaku yang sebelumnya terasa pun luruh.
Rombongan yang terdiri dari delegasi negara-negara G20, negara undangan, dan perwakilan organisasi internasional itu menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam di pantai untuk berenang, bersantai, berfoto-foto, sembari sesekali melipir untuk mendiskusikan isu-isu penting terkini.
Kunjungan ke Pantai Pink hanya satu dari rangkaian acara site visit dalam pertemuan hari ketiga tingkat Sherpa G20. Sebelum ke pantai, delegasi diajak mengunjungi Pulau Komodo untuk menyaksikan langsung hewan langka tersebut. Mereka juga mendaki bukit Pulau Padar untuk menyaksikan matahari terbenam di pengujung hari.
Presidensi Indonesia sengaja mendesain rangkaian acara secara informal berlatar pemandangan Labuan Bajo dengan harapan bisa mencairkan tensi geopolitik yang tengah meruncing pasca-invasi Rusia ke Ukraina. Selain melalui rangkaian pelesiran alias site visit, para delegasi juga diminta berpakaian kasual sepanjang pertemuan, seperti mengenakan celana jins, sepatu sneakers, dan baju terusan santai.
Indonesia sengaja mendesain rangkaian acara secara informal dengan harapan bisa mencairkan tensi geopolitik yang tengah meruncing pasca-invasi Rusia ke Ukraina.
Tuntutan untuk menurunkan tensi semakin kuat mengingat hanya dua hari sebelum pertemuan sherpa dimulai, ada kejadian menegangkan ketika Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov melakukan walk out dari Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri G20 (Foreign Ministers’ Meeting) di Bali pada 7-8 Juli 2022.
Co-Sherpa G20 Indonesia Edi Prio Pambudi menuturkan, tidak mudah untuk mengajak para delegasi bersantai. Perang dan polarisasi yang sedang menajam membuat para delegasi awalnya tidak mau saling menyapa ketika bertemu. Pertemuan di hari pertama, ujar Edi, terasa dingin dan tegang.
”Awalnya sangat kaku. Ada pihak-pihak tertentu yang tidak saling bicara, tidak mau menyapa. Kelihatan sekali suasana kebatinannya seperti apa,” ujar Edi.
Di awal kunjungan site visit, Edi bahkan terus mendampingi dua delegasi dari Rusia lantaran nyaris tidak ada delegasi lain yang mengajak mereka bicara. ”Di awal, (para delegasi) belum bisa langsung membaur. Masa tamu dibiarkan sendiri? Jadi, kami temani dahulu sebagai tuan rumah. Akhirnya, lama-lama diajak ngobrol juga sama yang lain,” katanya.
Terasa lebih ringan
Sambil menyelam, minum air. Sembari berpelesir menikmati keindahan alam di perairan Labuan Bajo, para delegasi juga sempat ”curi-curi waktu” untuk mendiskusikan sejumlah isu penting. Suasana rileks dengan latar pemandangan elok pun membuat pembahasan seputar isu-isu rumit global saat ini terasa lebih ringan.
Baca juga: Rusia dan Ukraina Berunding soal Gandum di Turki
Svetlana dengan Sherpa G20 dari India Amitabh Kant, misalnya, sempat menghabiskan waktu cukup lama untuk berbincang intens sembari menyusuri jalur trekking di Pulau Komodo. Keduanya berjalan di depan rombongan dan nyaris tak terpisahkan sepanjang trip.
Sembari berpelesir menikmati keindahan alam di perairan Labuan Bajo, para delegasi juga sempat ”curi-curi waktu” untuk melipir dan mendiskusikan sejumlah isu penting.
Meski tak mengelaborasi lebih jauh, Svetlana mengatakan, suasana yang rileks banyak membantu proses diplomasi.
”Keindahan alam dan keramahan orang-orang di sini sangat membantu kami untuk saling berkooperatif. Meski jatuhnya informal, kami bisa berdiskusi dengan lebih nyaman, termasuk sampai menyentuh isu-isu yang sedang sensitif,” ujar Svetlana.
Ia meyakini, jalan diplomasi menuju KTT G20 ke depan akan lebih mulus meski masih banyak kerikil yang perlu dilalui. Ia pun berharap pertemuan tingkat menteri G20 berikutnya dapat berjalan lancar.
”Memang (ke depan) akan ada banyak faktor yang bermain, dan saya akui akan sulit. Namun, Indonesia telah terbukti bisa menjadi moderator yang adil dan mampu mengelola komunikasi multilateral ini dengan baik,” katanya.
Kesan serupa ditangkap Sous-Sherpa G20 dari Amerika Serikat, Nicholas A Klinger. Ia meyakini, pada dasarnya negara-negara G20 pasti bisa mencapai titik tengah terkait isu-isu genting terkini di mana pun pertemuan sherpa diadakan.
”Namun, terus terang, membahas isu-isu sulit itu dengan latar pemandangan perairan jernih Labuan Bajo banyak membantu. Semoga kebersamaan selama beberapa hari terakhir ini di luar ruangan rapat bisa membantu menguatkan hubungan sebelum KTT G20 nanti,” ujarnya.
Kehujanan
Suasana santai tak hanya dibangun di hari ketiga. Pada hari kedua pertemuan, seusai sesi utama, para delegasi sherpa diajak berbincang-bincang dalam sesi tertutup ”Sherpa Talk” di atas kapal Lako Sae Cruise yang mengelilingi perairan Labuan Bajo.
Awalnya, delegasi duduk di geladak atas kapal yang sudah ditata rapi dengan meja dan kursi berwarna putih, serta bendera kecil tiap negara sebagai penanda tempat duduk. Namun, di tengah jalan, hujan deras turun. Delegasi pun terbirit-birit mengungsi ke geladak bawah.
Ukuran deck bawah yang lebih sempit membuat mereka harus berdiri berdempetan untuk berteduh dari hujan. Bergerak sedikit saja, akan terkena tempias hujan atau kehilangan sinyal di tengah laut. Meski demikian, obrolan tetap berlanjut, bahkan menjadi lebih cair.
Baca juga: Indonesia Berikhtiar Bendung Fragmentasi
Menurut Edi, justru di saat berteduh bersama itulah pilihan-pilihan solusi atas perang yang terjadi di Rusia-Ukraina dan krisis bawaannya mulai mengemuka. Delegasi negara yang biasanya diam pun ikut memberikan solusi, sementara negara yang kutubnya saling bertentangan, seperti Rusia, AS, dan negara-negara Eropa, mau saling mendengar.
Di saat berteduh bersama itulah pilihan-pilihan solusi atas perang yang terjadi di Rusia-Ukraina dan krisis bawaannya mulai mengemuka.
”Suasananya memang tidak G20 banget, karena kita semua harus nge-riung berdesak-desakan. Namun, justru di situ diskusi berlanjut. Mungkin karena kita tidak lagi terikat tata cara kaku yang kadang malah membuat susah bersuara,” ujar Edi.
Istilah ”sherpa” diambil dari kelompok etnis di pegunungan Nepal yang kerap menjadi pemandu bagi para pendaki yang hendak mencapai Puncak Himalaya. Sesuai namanya, para delegasi sherpa yang juga perwakilan pejabat tinggi di negara masing-masing itu berusaha memandu dan membukakan jalan untuk diplomasi KTT G20 di level kepala negara, November nanti, di Bali.
”Tugas kami adalah memandu dan memastikan suasana sejuk yang terbangun saat ini, juga opsi solusi yang sudah dibahas, bisa bertahan sampai puncak acara nanti,” kata Edi.
Suasana menyejukkan selama di Labuan Bajo itu mungkin hanya sejenak. Saat ini, ketegangan geopolitik belum sepenuhnya cair. Perang masih berlangsung, dengan banyak korban jatuh di kedua belah pihak. Perekonomian global masih karut-marut terimbas perang. Ada banyak pekerjaan rumah tersisa dalam pembahasan isu krusial yang membutuhkan dialog kondusif di antara negara-negara adidaya.
Namun, setidaknya, dua hari penuh aktivitas berlayar, berenang, dan mendaki bersama di antara para delegasi sherpa itu bisa menjadi langkah awal untuk mempertemukan semua pemangku kepentingan di meja yang sama dan memuluskan jalan menuju pertemuan KTT G20, November nanti. Semoga.