Peternak Kesulitan Bayar Kredit, Penggantian Belum Jelas
Paparan penyakit mulut dan kuku membuat peternak kelimpungan membayar dana yang mereka pinjam dari lembaga keuangan. Mereka berharap ada keringanan di tengah kesulitan itu.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah peternak yang hewan ternaknya terkena penyakit mulut dan kuku atau PMK kesulitan membayar dana yang mereka pinjam di lembaga keuangan. Sementara dana penggantian sebesar Rp 10 juta per ekor ternak yang dimusnahkan atau dipotong paksa, sebagaimana dijanjikan pemerintah, belum jelas.
Berdasarkan data di laman siagapmk.id, Kamis (14/7/2022) pukul 20.15, ada 366.888 ekor hewan dinyatakan sakit. Jumlah itu tersebar di 251 kabupaten/kota di 22 provinsi serta mencakup 2.439 ekor hewan mati, 3.721 ekor dipotong bersyarat, 140.726 ekor sembuh, dan 220.002 ekor belum sembuh. Adapun vaksin telah diberikan untuk 498.893 ekor.
Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah hewan terjangkit PMK paling banyak, yakni mencapai 143.281 ekor, lalu disusul Nusa Tenggara Barat dengan 56.680 ekor dan Jawa Tengah 46.302 ekor. Sulawesi Selatan menjadi provinsi terakhir yang melaporkan kasus PMK. Praktis, dari lima besar daerah populasi sapi potong terbesar di Indonesia, tinggal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masih bebas PMK.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Yeka Hendra Fatika, dalam konferensi pers secara hibrida, Kamis (14/7/2022) mengatakan, pada Kamis, pihaknya memediasi antara peternak dan bank karena sejumlah peternak mengalami kredit macet. Perwakilan Kementerian Pertanian juga dihadirkan dalam mediasi itu.
Pemerintah mesti segera menangani kerugian peternak akibat PMK. ”Dalam keadaan seperti itu, sapi mati, (peternak) stres, lalu ditagih-tagih debt collector (juru tagih). Kredit macet ini harus segera ditangani,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Robi Agustiar membenarkan, peternak sulit membayar kredit karena ternaknya terdampak PMK. ”Lumayan banyak, ya, terutama pada sapi perah. Kalau intervensi dari pemerintah, setahu saya masih dalam pembicaraan,” ujarnya.
Sementara Ketua Umum Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Jawa Barat, Aun Gunawan, mengatakan, khusus anggota KPBS, pinjaman tidak melalui bank, tetapi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM). Namun, ia tak tahu jika ada anggota yang secara pribadi pinjam ke bank.
”KPBS meminjam melalui LPDB Kemenkop UKM, lalu disalurkan ke peternak. Terkait ini, kami mengajukan relaksasi ke Kemenkop dan UKM untuk direlaksasi dan sudah disetujui. Jadi tak mencicil bunga maupun pokok selama dua tahun. Tapi kami juga mengajukan agar peternak yang sapinya mati, (utang) dihapuskan. Itu belum dijawab. Namun, kami paham karena itu, kan, dana APBN dan harus penghapusan mesti jelas,” kata Aun.
Mengenai penggantian ternak Rp 10 juta yang dijanjikan pemerintah sejak Kamis (23/6/2022), Aun mengatakan, pihaknya belum mendapat kejelasan, termasuk mekanismenya. Pihaknya tetap berharap, yang mendapat penggantian adalah peternak yang sapinya mati ataupun potong paksa.
Penanganan lambat
Dalam konferensi pers Kamis, Yeka menilai, penanganan PMK oleh pemerintah lambat karena kenyataannya saat ini virus masih menyebar makin luas. Dari perhitungan sementara Ombudsman RI, ada kerugian sedikitnya Rp 788,81 miliar khusus untuk sapi potong. Sementara untuk sapi perah, kerugiannya ditaksir mencapai Rp 6 miliar per hari.
Ia menambahkan, penanganan dan pengendalian PMK mesti dengan pendekatan hulu-hilir. ”Regulasi sudah ada dan sudah pernah (masuk Indonesia) sehingga seharusnya sudah punya pengalaman. Mestinya (pemerintah) tidak perlu gagap dan memiliki kompetensi tinggi dalam menangani ini,” ujarnya.
Ombudsman RI menyarankan pemerintah untuk mengubah status keadaan tertentu darurat menjadi wabah nasional dengan memperhatikan dampak dan cakupan penyebaran PMK saat ini. Menurut Yeka, Satgas Penanganan PMK juga didorong agar segera mengonsolidasikan semua tenaga kesehatan hewan dan membuat perencanaan matang dalam vaksinasi agar semakin masif dan serempak.
Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi PDI-Perjuangan, Sudin, dalam webinar ”Mewujudkan Industri Peternakan-Kolektif di Indonesia melalui Sistem Pemberdayaan Peternak Rakyat” pada Kamis mengatakan, kebijakan impor hewan dan produk hewan ternak dari negara yang belum bebas PMK perlu ditinjau kembali.
Pihaknya memahami sulitnya pemerintah dalam mengembangkan sektor peternakan dengan keterbatasan anggaran, terlebih PMK belum diselesaikan tuntas. ”(Namun), Kami juga menanyakan kepada Kementerian Pertanian atau Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. Asal mula wabah PMK dari mana? Sampai hari ini belum ada jawaban yang pasti,” katanya.
Perwakilan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nur Saptahidayat, dalam webinar itu, mengatakan, kegiatan Indonesia Bebas PMK jadi prioritas pemerintah saat ini. Segala upaya mesti dilakukan agar Indonesia kembali bebas PMK.
Salah satu hal penting, kata Nur, adalah politik anggaran. ”Ini menjadi penting. Kita pernah (mengalami wabah) Flu Burung, lalu PMK, dan kedua-duanya gagap dalam pengendalian, salah satunya karena tak memiliki anggaran bencana yang (bisa) cepat kita akses. Namun, dengan penetapan status keadaan tertentu darurat bencana wabah oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) menjadi langkah pengendalian bisa lebih luas,” katanya.