Petani Butuh Akses Pasar yang Lebih Luas
Kolaborasi yang saling menguntungkan tak sekadar terjaminnya kepastian pasar. Rantai pasok komoditas pertanian membutuhkan ”off taker” andal.
JAKARTA, KOMPAS — Kolaborasi yang saling menguntungkan tak sekadar terjaminnya kepastian pasar. Rantai pasok komoditas pertanian membutuhkan off taker andal atau pihak yang menghubungkan petani ke pasar yang lebih besar. Selama ini, petani yang didorong kebutuhan hidup kerap jatuh ke tangan tengkulak, bahkan jeratan tengkulak sudah terlebih dahulu terjadi saat proses penanaman bibit pertanian.
Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan UKM Eddy Satriya saat penandatanganan nota kesepahaman kerja sama antara Kementerian Koperasi dan UKM dan PT Bintang Toedjoe, Selasa (12/7/2022), di Jakarta, mengatakan, penguatan rantai pasok usaha mikro, khususnya pada komoditas pertanian, sangat terbuka dilakukan melalui pengembangan dari hulu sampai ke hilir. Mulai dari tahap produksi, pengolahan hasil produksi, pembinaan dan pendampingan, hingga pemasaran hasil produk melalui off taker. Salah satunya dilakukan oleh PT Bintang Toedjoe untuk petani jahe merah.
Kedua belah pihak bekerja sama untuk menciptakan program pengembangan pertanian, sekaligus memperkuat rantai pasok komoditas pertanian di Indonesia. Penandatanganan nota kesepahaman dilakukan Deputi Bidang Usaha Mikro Kemenkop dan UKM Eddy Satriya dan Head of Strategic Business Unit PT Bintang Toedjoe Sari Pramadiyanti.
”Kita harus memastikan komoditas atau hasil dari para petani sudah mendapatkan pembeli. Salah satu contohnya melalui pendampingan kepada petani jahe merah untuk memberikan kriteria produk agar bisa masuk ke dalam rantai pasok,” kata Eddy.
Keberadaan off taker dalam nilai rantai pengembangan komoditas pertanian tersebut juga memberikan manfaat bagi para pelaku usaha mikro, di antaranya melalui pendampingan terkait budidaya, jaminan penyerapan hasil produksi oleh pasar dengan harga yang kompetitif, dan memberikan keuntungan bagi para petani.
”Rantai pasok menjadi hal yang sangat krusial. Kami sebagai institusi pemerintah sangat peduli akan hal tersebut karena yang dibutuhkan para petani sekarang adalah off taker untuk membeli produk mereka,” ujar Eddy.
Tentunya, program pengembangan rantai pasok komoditas pertanian ini juga harus melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun swasta, agar mampu membuka lebih banyak peluang usaha, khususnya di bidang pertanian.
Harapannya, kata Eddy, bukan sekadar menjadi bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), tetapi juga menciptakan peluang usaha dengan memanfaatkan lahan kritis atau tidak terpakai dari para petani, dan memaksimalkan sumber daya manusia yang layak mendapatkan income lebih baik.
Pada kesempatan yang sama, Head of Strategic Business Unit PT Bintang Toedjoe Sari Pramadiyanti menjelaskan, selama ini pihaknya sempat mengalami kesulitan dalam menemukan bahan baku jahe merah yang konsisten dan kontinu dari sisi kualitas. Hal itu membuat Bintang Toedjoe perlu menentukan standardisasi dengan memiliki mitra petani khusus.
”Mutu bahan baku menjadi salah satu faktor penting dalam menjamin kualitas produk. Dari situ, kami memutuskan untuk membuat standardisasi kualitas bahan baku sehingga penting untuk turun langsung ke area hulu”” kata Sari.
Lebih lanjut, Sari juga mengungkapkan bahwa peran serta pemerintah baik pusat maupun daerah sangat diperlukan agar sinergi tersebut dapat berjalan lebih cepat sehingga kebermanfaatan produk dapat dirasakan lebih luas.
”Harapannya, melalui sinergi ini, kami dapat menyamakan visi dan misi dalam memberdayakan masyarakat untuk lebih mandiri, khususnya dalam mengurangi impor pada bahan baku dengan memperkuat produksi dalam negeri,” ujar Sari.
Dani Kurnia selaku Koordinator Proyek Yayasan Dharma Bakti Astra (YDBA) yang mendampingi para petani jahe merah di Desa Hariang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten, Rabu (13/7/2022) sore, mengatakan, para petani jahe merah di desa ini pun memiliki kerja sama dengan Bintang Toedjoe. Dari kapasitas produksi jahe merah sebanyak 38 ton, petani ditargetkan mampu memasok sebanyak 31 ton dalam satu kali panen.
Bulan Oktober 2021, kata Dani, merupakan panen perdana bagi petani di desa ini. Itu pun dilakukan petani setelah melalui program pola tanam sejak Juli 2020. Tahun 2022 ini, petani diperkirakan baru memasuki masa panen pada bulan September atau Oktober.
”Inilah jalan baru bagi mereka untuk memperoleh kepastian pasar jahe merah yang bisa meningkatkan pendapatan keluarga. Lepas dari tengkulak, lepas pula dari pedagang nakal yang bisa seenaknya menentukan harga. Sementara, selama mendampingi petani pada awalnya, saya melihat mereka tidak mampu menghitung seluruh biaya produksinya. Bahkan, upah kerja saat menanam mulai dari pembibitan tidak pernah diperhitungkan sebagai ongkos produksi,” ujar Dani.
Menurut Dani, keberadaan off taker sangat penting bagi petani. Bukan sekadar memperoleh kepastian pasar, melainkan juga kepastian harga yang menguntungkan bagi petani.
Bahkan, lanjut Dani, tidak sampai di situ saja. Adanya off taker membuat petani perlu memahami standar produk yang harus dihasilkan. Tidak sekadar menanam dan memanen, tetapi juga memperhatikan sejumlah standar yang telah ditetapkan off taker tersebut. Misalnya, jahe merah harus sudah dibersihkan, bentuk dan ukurannya juga perlu diperhatikan, tidak banyak tanah yang menempel di jahe merah, dan standar kualitas lainnya.
”Memang, dipikir-pikir agak ribet. Bisa saja petani bilang, kalau off taker suka kasih banyak persyaratan. Padahal, sekarang petani bisa merasakan sendiri. Selain nilai jualnya bisa lebih tinggi dibandingkan harga tengkulak, standar produksi membuat kebiasaan baru agar petani benar-benar mulai dari memperhatikan proses pemilihan bibit, penanaman, hingga menentukan waktu yang tepat untuk panen,” tutur Dani.
Dengan persyaratan standar kualitas, petani pun kini memiliki peningkatan nilai tawar tinggi. Sebab, ketika ada konsumen lain yang ingin produk jahe merah, tanpa pikir panjang lagi standar kualitas akan disamakan seperti ditetapkan off taker.
Menurut Dani, petani juga harus menghadapi tantangan cukup berat. Produk jahe merah sangat rentan terhadap air. Karena itu, hujan berpotensi menyebabkan jahe menjadi lembab. Sampai sekarang tidak ada teknologi penghalau hujan, kecuali green house. Pastinya, pendirian green house membutuhkan biaya sangat besar.
”Terlebih, penanaman jahe merah berada di hamparan yang sangat luas dan tersebar. Bukan satu hamparan. Karena itulah, kebutuhan pengeringan jahe membutuhkan mesin pengering. Petani di Lebak masih sangat menggantungkan pada sinar matahari untuk proses pengeringan. Paling enggak, diangin-anginkan minimal tiga hari,” tutur Dani.
Beruntung, kata Dani, jaminan pasar sudah dimiliki. Sekarang ini, 34 pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) harus mengupayakan agar target produksi yang dibutuhkan Bintang Toedjoe sebanyak 31 ton tercapai dalam setiap masa panen. Semua itu sangat memungkinkan hanya melalui pendampingan yang intens.