Pembangunan dan proses pemulihan ekonomi bisa berkelanjutan jika stimulus fiskal dan kebijakan pemulihan ekonomi diramu secara inklusif.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketimpangan ekonomi berpotensi kian melebar akibat meroketnya harga bahan pokok di saat daya beli masyarakat belum pulih betul pascapandemi Covid-19. Kondisi ini harus menjadi momentum pemerintah untuk menata ulang kebijakan dan anggaran agar stimulus yang digelontorkan efektif dan tepat sasaran untuk mempersempit jurang kesenjangan.
Dalam diskusi publik yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) secara hibrida, Rabu (13/6/2022), Koordinator Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Indonesia, Valerie Julliand, menilai di tengah situasi global saat ini, stimulus di sektor-sektor esensial seperti kesehatan, pendidikan, industri, dan perlindungan sosial perlu dilanjutkan.
”Pembangungan dan proses pemulihan ekonomi bisa berkelanjutan jika stimulus fiskal dan kebijakan pemulihan ekonomi diramu secara inklusif. Apa artinya PDB (produk domestik bruto) tinggi, tapi angka kemiskinan juga masih tinggi karena kebijakan pemulihan yang tidak inklusif (tidak tepat sasaran),” kata Julliand.
Apa artinya PDB (produk domestik bruto) tinggi, tapi angka kemiskinan juga masih tinggi karena kebijakan pemulihan yang tidak inklusif (tidak tepat sasaran)? (Valerie Julliand)
Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk wilayah Asia Pasifik (UNESCAP) mencatat, sebanyak 829 juta pekerja informal di regional Asia Pasifik mengalami penurunan pendapatan secara drastis setelah terdampak pandemi Covid-19. Situasi ini membuat adanya tambahan 85 juta jiwa di regional yang terjerat dalam kemiskinan ekstrem di sepanjang pandemi.
Kondisi tersebut diperburuk dengan 71 juta anak yang tidak memiliki akses terhadap pembelajaran daring karena kemiskinan. Kesenjangan yang ditimbulkan akibat pandemi Covid-19 perlu menjadi perhatian serius para pemangku kebijakan setiap negara. Investasi dan stimulus di sektor industri menjadi penting sebagai cara untuk mengatasi kesenjangan melalui pembukaan lapangan pekerjaan.
Dalam menentukan kebijakan fiskal, lanjut Julliand, pemerintah perlu memperhatikan berbagai karakteristik kemiskinan yang berkaitan dengan wilayah dan tingkat pengeluaran rumah tangga. Pemerintah juga perlu membuat kategorisasi membagi kebijakan fiskal dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
”Di sisi lain, sistem perpajakan perlu bekerja secara optimal. Tidak hanya sebagai sumber pemasukan negara, tetapi juga sebagai stimulus untuk pemulihan ekonomi secara berkelanjutan,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, analis Kebijakan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Dewi Puspita optimistis, strategi kebijakan fiskal oleh pemerintah efektif dalam menurunkan angka kemiskinan dan ketimpangan ekonomi selama pandemi. Salah satu stimulus fiskal yang ia nilai mampu menjaga daya beli masyarakat adalah program perlindungan sosial.
Ia mencontohkan, gelontoran anggaran perlindungan sosial dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020 saat tahun awal pandemi, yang mencapai Rp 220 triliun, menahan kenaikan level kemiskinan di level 10,19 persen di akhir tahun, atau berada di bawah proyeksi Bank Dunia yang mencapai 11,2 persen.
Menilik level kemiskinan pra-pandemi, semula pada September 2019 level kemiskinan berada di posisi 9,22 persen. Adapun pada September 2021 tercatat tingkat kemiskinan di Tanah Air berada di level 9,71 persen. ”Selama pandemi, kebijakan fiskal berperan menjaga daya beli masyarakat dan menahan agar tidak jatuh ke kemiskinan yang lebih dalam,” ujar Dewi.
Lebih tajam di perkotaan
Meski begitu, mengutip data BPS, ketimpangan selama pandemi semakin tajam, khususnya di wilayah perkotaan. Di kawasan urban tersebut, jenis pekerjaan yang tersedia dan masyarakat yang memperebutkannya jauh lebih beragam ketimbang di perdesaan.
Per September 2021, angka rasio gini di perkotaan adalah 0,398 poin, meningkat dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi. Pra-pandemi, rasio gini pada September 2018 dan 2019 masih berada di angka 0,391. Sebagai catatan, semakin mendekati nilai 1, ketimpangan semakin lebar. Sebaliknya, semakin mendekati angka 0, ketimpangan semakin sempit.
Melebarnya ketimpangan itu disebabkan oleh bertambahnya jumlah orang miskin selama pandemi. Per September 2021, ada 26,5 juta orang miskin, meski turun secara tahunan, angka kemiskinan tetap lebih tinggi dibandingkan dengan September 2019, yaitu 24,78 juta orang miskin.
Dalam rangka mengantisipasi kenaikan harga komoditas pangan dan energi global, pemerintah secara konsisten berupaya menjaga agar peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai penyerap gejolak dapat berfungsi optimal untuk mengendalikan inflasi, menjaga daya beli masyarakat serta menjaga agar pemulihan ekonomi semakin menguat.
Upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas harga pangan di antaranya melalui pemberian insentif selisih harga minyak goreng, pelarangan sementara ekspor bahan baku minyak sawit dan turunannya untuk menjaga pasokan dengan harga terjangkau. Pemerintah juga mempertahankan harga jual bahan bakar minyak, elpiji, dan listrik tidak mengalami peningkatan.
Kementerian Keuangan pada 2022 menambah alokasi untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi sebanyak Rp 349,9 triliun. Total tambahan alokasi tersebut terdiri dari tambahan untuk subsidi bahan bakar minyak, gas elpiji, dan listrik sebesar Rp 74,9 triliun serta tambahan kompensasi untuk PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) sebesar Rp 275 triliun.
Sebelumnya, dalam APBN 2022, anggaran belanja untuk subsidi dan kompensasi telah ditetapkan Rp 152,5 triliun, terdiri dari anggaran untuk subsidi sebesar Rp 134 triliun dan kompensasi sebesar Rp 18,5 triliun. Dengan adanya perubahan ini, anggaran subsidi dan kompensasi energi dalam postur APBN 2022 menjadi sebesar Rp 502,4 triliun.
Direktur Riset INDEF Berly Martawardaya menilai, jika ingin serius mengurangi kesenjangan kemiskinan, sebaiknya pemerintah mengutamakan program-program yang berdampak langsung kepada golongan masyarakat menengah ke bawah.
Berly menuturkan selama pandemi Covid-19 pendapatan pajak cenderung menurun dan kini sudah berada pada level rendah di bawah 10 persen dan mirip dengan kondisi pada saat krisis moneter tahun 1998. Hal tersebut menjadi permasalahan, karena pendapatan negara berkurang sedangkan kebutuhan terhadap kesehatan dan pemulihan ekonomi masih tinggi.
Menurut dia, subsidi bahan bakar minyak kurang tepat sasaran karena dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Kecanduan terhadap bahan bakar minyak seharusnya mulai dialihkan dalam bentuk transisi energi hijau.
“Subsidi ini menghabiskan dana yang cukup besar. Sayangnya tidak tepat sasaran karena masyarakat kecanduan terhadap bahan bakar murah,” kata Berly.
Subsidi ini menghabiskan dana yang cukup besar. Sayangnya tidak tepat sasaran karena masyarakat kecanduan terhadap bahan bakar murah. (Berly Martawardaya)
INDEF menemukan sebanyak 20 persen kabupaten/kota atau hampir 100 kabupaten/kota tidak melakukan pembaruan data kependudukan selama pandemi sehingga bansos yang diberikan tidak tepat sasaran, termasuk temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp 6,93 triliun bantuan sosial yang tidak tepat saran dan ada 21 juta data ganda.
Oleh karena itu, Berly menyarankan pemerintah untuk meningkatkan tingkat akurasi pemberian bantuan sosial dan perlu mengalihkan anggaran untuk jaring pengaman sosial. “Stimulus Indonesia selama pandemi lebih rendah dibandingkan rata-rata negara di kawasan Asia Timur dan juga pendistribusian yang kurang akurat,” ujar Berly.