Kawasan Pantai di Perbatasan RI-Timor Leste Potensial Dikembangkan Budidaya Ikan Air Payau
Kawasan pantai perbatasan RI-Timor Leste punya potensi luar biasa untuk budidaya ikan air payau, tetapi ini tidak dimanfaatkan. Pemerintah sudah melakukan sosialisasi tahun 2020, tetapi belum terealisasi sampai hari ini.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA, FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
ATAMBUA, KOMPAS — Kawasan pantai sepanjang perbatasan RI-Timor Leste, yakni dari Motaain, Kabupaten Belu, sampai Pantai Wini, Kabupaten Timor Tengah Utara, sepanjang hampir 30 kilometer, potensial dikembangkan perikanan air payau dan destinasi wisata. Warga yang berdiam di sepanjang perbatasan itu berharap dilibatkan dalam membangun kawasan itu guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Tokoh masyarakat Dusun Motaain, Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Yasintus Hali Dacosta, di Motaain, 45 km dari Atambua ibu kota kabupaten, Selasa (12/7/2022), mengatakan, pada tahun 2020 pemerintah pusat telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat lokal soal penataan kawasan pantai itu.
Penataan itu antara lain pengembangan ikan air payau di sepanjang pantai perbatasan RI-Timor Leste. Namun, sampai hari ini belum ada aksi di lapangan.
Dikatakan, pantai sepanjang hampir 30 km, terbentang dari Motaain di Kabupaten Belu sampai dengan Pantai Wini Kabupaten Timor Tengah Utara, itu potensial dikembangkan budidaya ikan air tawar termasuk udang atau lobster dan menjadi wisata pantai.
”Di kawasan Teluk Gurita sudah mulai dikembangkan ikan air payau jenis bandeng oleh Pemkab Belu, tetapi sebagian besar kawasan pantai belum dikelola,” kata Yasintus Dacosta.
Ada tiga-empat titik di sepanjang pantai itu telah dimanfaatkan masyarakat sebagai destinasi wisata. Wisata pantai ini dikembangkan sejak Timor Leste masih bergabung dengan Indonesia (1976-1999) sampai hari ini.
Pasir putih halus dipadu pohon bidara, lontar, dan pohon waru membuat suasana sejuk dan teduh, dipadu angin pantai yang menerpa halus.
Jika kawasan pantai itu dikembangkan untuk perikanan air payau, tentu lebih baik. Pemerintah bisa mengatur keterlibatan masyarakat di dalamnya.
Selama ini, warga dari Atambua, Kupang, Kefamenanu, dan Soe yang berkunjung ke Pos Lintas Batas Negara Motaain menyempatkan diri berekreasi di pantai itu.
Ia mengatakan, pengembangan kawasan pantai itu sebaiknya melibatkan penduduk sepanjang pantai dan sekitarnya. Selama ini, masyarakat memanfaatkan sebagian kawasan untuk mengolah garam tradisional, menambatkan perahu, dan berekreasi. Mereka tidak mengembangkan perikanan air payau karena kesulitan modal usaha dan tidak memiliki pengalaman di bidang itu.
Menurut dia, penduduk sepanjang pantai itu adalah warga Belu baru dan warga Belu atau warga eks Timor Timur dan warga lokal. Mereka bermata pencarian sebagai nelayan dan petani lahan kering.
”Jika kawasan pantai itu dikembangkan untuk perikanan air payau, tentu lebih baik. Pemerintah bisa mengatur keterlibatan masyarakat di dalamnya,” ujarnya.
Berdasarkan pengamatan Kompas di Pantai Teluk Gurita, Kecamatan Kakuluk Mesak, terdapat lebih dari 100 kolam air payau dengan luasan berbeda, sekitar 10 meter x 15 meter persegi sampai dengan 50 meter x 20 meter persegi.
Beberapa di antaranya telah dikelola dengan tulisan disamping kolam, ”Budidaya Ikan Air Payau oleh Pemkab Belu”.
Bernadete Bria (52), warga Teluk Gurita, mengatakan, Pemkab Belu mulai terlibat mengembangkan ikan bandeng, bawal, dan ikan mujair di kawasan Teluk Gurita sejak 2021.
”Kami tidak tahu apakah budidaya bandeng itu program dari pemerintah pusat atau Pemkab Belu. Petani lokal tidak dilibatkan dalam pengembangan itu, tetapi petani lokal juga punya lahan bandeng sendiri,” kata Bernadete.
Ibu lima anak ini mengaku sangat senang bila pemerintah melibatkan nelayan atau petani lokal untuk budidaya ikan air payau tersebut. Masyarakat harus dilatih untuk membangun kemandirian secara ekonomi.
Memberikan keterampilan kepada masyarakat, itu jauh lebih penting ketimbang bantuan berupa beras dan uang. Selama ini, para nelayan di sepanjang pesisir Motaain sampai dengan pesisir Wini bergantung dari laut.
Namun, selama musim hujan, dan angin kencang saat musim kemarau, mereka tidak melaut. Penghasilan pun tersendat. Padahal, kawasan sepanjang pantai Teluk Gurita sangat potensial dikembangkan ikan air tawar.
Kawasan pantai sepanjang sekitar 30 km itu juga dipadati pohon mangrove, yang tumbuh secara alamiah. Mangrove tersebut bermanfaat menghambat abrasi pantai yang sering melanda sebagian wilayah pantai di wilayah itu.
Mangrove ini sering dimanfaatkan masyarakat pesisir untuk kayu bakar dan bahan bangunan. Pelestarian mangrove perlu dilakukan. Sebagian kawasan mangrove sudah rusak karena penebangan liar atau mati.