Jika pemulihan ekonomi domestik diibaratkan sebagai sebuah pesawat terbang yang telah lepas landas, dan tren inflasi global dianalogikan sebagai gumpalan awan tebal, maka saat ini jalur terbang pesawat tengah dipenuhi gumpalan awan. Mau tidak mau untuk sampai ke tempat tujuan, pesawat harus menerjang awan sehingga turbulensi pun tak dapat terelakkan.
Kelihaian pilot dalam mengendalikan pesawat di tengah turbulensi akan menentukan seberapa besar guncangan yang dialami oleh para penumpang di dalam pesawat. Dalam hal ini, penumpang adalah masyarakat yang tengah dilanda kecemasan akibat kenaikan harga barang konsumsi. Adapun pilot adalah para pemangku kebijakan.
Setinggi-tingginya optimisme pemerintah yang meyakini bahwa pemulihan ekonomi Indonesia tetap berada di jalur yang tepat, proses pemulihan tetap akan berada di bawah bayang-bayang kenaikan harga pangan dan komoditas global, serta ancaman stagflasi yang melanda berbagai negara maju termasuk Amerika Serikat (AS).
Perlahan namun pasti, tekanan inflasi telah dirasakan di dalam negeri, sehingga membuat para pedagang dan konsumen mengeluhkan lonjakan harga bahan pokok. Di sejumlah wilayah di Pulau Jawa, sejumlah harga bahan pangan seperti bawang merah, cabai, daging sapi, dan telur ayam terus meroket. Jika dibiarkan, kenaikan harga komoditas-komoditas ini bisa menggerus daya beli.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), laju inflasi Juni 2022 mencapai 4,35 persen secara tahunan, tertinggi sejak Juni 2017 yang tercatat 4,37 persen. Pemerintah memproyeksikan tingkat inflasi hingga akhir 2022 berada di kisaran 3,5 persen - 4,5 persen yang dipengaruhi oleh lonjakan harga komoditas global akibat disrupsi rantai pasok dunia serta perang antara Rusia dan Ukraina.
Proyeksi tersebut jauh lebih tinggi dari target sasaran inflasi dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2022 yang ditetapkan di kisaran 2 - 4 persen. Respon dari sisi fiskal dan moneter tentunya sangat diperlukan untuk meredam guncangan inflasi.
Baca juga : Ancaman Inflasi Hantui Indonesia
Kinerja APBN pada semester I-2022 sebenarnya masih menunjukkan capaian positif dengan realisasi penerimaan negara Rp 1.317,2 triliun atau mencapai 58,1 persen dari target. Angka realisasi ini tumbuh 48,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Perinciannya, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 868,3 triliun tumbuh 55,7 persen dari periode sama tahun sebelumnya. Sejalan dengan itu, realisasi kepabeanan dan cukai tercatat Rp 167,7 triliun tumbuh 37,2 persen secara tahunan.
Upaya Pemerintah dalam menjaga stabilitas harga pangan di antaranya melalui pemberian insentif selisih harga minyak goreng, dan mempertahankan harga jual bahan bakar minyak (BBM), gas elpiji, dan listrik tidak mengalami peningkatan.
Kementerian Keuangan pada 2022 menambah alokasi untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi sebanyak Rp 349,9 triliun. Total tambahan alokasi tersebut terdiri dari tambahan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), elpiji, dan listrik sebesar Rp 74,9 triliun serta tambahan kompensasi untuk PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) sebesar Rp 275 triliun.
Dalam APBN 2022 sebelum perubahan, anggaran belanja untuk subsidi dan kompensasi telah ditetapkan Rp 152,5 triliun, terdiri dari anggaran untuk subsidi sebesar Rp 134 triliun dan kompensasi sebesar Rp 18,5 triliun. Dengan adanya perubahan ini, anggaran subsidi dan kompensasi energi dalam postur APBN 2022 menjadi sebesar Rp 502,4 triliun.
Dalam jangka pendek, kenaikan subsidi energi oleh pemerintah dengan dukungan pembiayaan dari otoritas moneter akan menahan inflasi. Namun, perlu diwaspadai, lonjakan inflasi pada Juni lebih didorong oleh komponen harga bergejolak seperti harga pangan.
Baca juga : Menyiasati Inflasi Tinggi
Bisa dibilang, semester pertama tahun ini dilalui Indonesia dengan cukup stabil. Namun, pada periode ke depan, Indonesia perlu mewaspadai berbagai tekanan global dan tantangan dalam negeri. Indonesia perlu mewaspadai potensi stagflasi.
Tekanan global akan mereda jika perang Rusia - Ukraina berakhir. Sebab hal ini dapat memulihkan pasokan komoditas pangan, dari dan ke Ukraina serta Rusia. Kedua negara ini merupakan produsen gandum, minyak nabati, dan energi yang signifikan. Terkendalinya pandemi juga dapat kembali membuka jalur perdagangan negara-negara yang memiliki kaitan rantai pasok global kuat seperti China.
Penyediaan jaring pengaman sosial keuangan global oleh lembaga multilateral, juga diperlukan untuk membantu negara berkembang yang rentan ketika dunia melakukan transisi ke kondisi kebijakan moneter yang lebih ketat. Peran Indonesia sebagai presidensi G20 semakin krusial dalam mencari solusi menghadapi tantangan ekonomi dunia terkini.
Di tengah perbedaan pendapat dan konflik geopolitik global yang meruncing, delegasi Indonesia dalam Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (FMCBG) mampu membawa negara anggota G20 untuk mencapai konsensus mewujudkan perekonomian global yang lebih merata dan lebih kuat.
Terbaru, negara-negara G20 menyuarakan pelonggaran restriksi ekspor pangan guna mendorong terwujudnya perdagangan pangan yang lebih transparan. Langkah-langkah multilateral ini bagaikan stabilitator atmosfer yang membuat langit lebih cerah.