Menimbang ”Chatbot” untuk Mendongkrak Transaksi
Program komputer untuk simulasi percakapan dengan pengguna manusia melalui internet atau ”chatbot” di Indonesia masih didominasi untuk layanan pelanggan. Namun, perannya diharapkan bertambah, yakni mendongkrak transaksi.
Sudah lima tahun terakhir, PT Pegadaian (Persero) mengembangkan program komputer yang dirancang untuk menyimulasikan percakapan dengan pengguna manusia, terutama melalui internet, atau chatbot untuk layanan pelanggan. Chatbot bertugas menjawab pertanyaan fakta Pegadaian yang berulang ditanyakan, misalnya, soal produk, lokasi kantor Pegadaian, dan promo.
Menurut Franskel Wawan Ardiansyah, Senior Manager Contact Center Pegadaian, pemakaian teknologi ini mampu memangkas biaya operasional yang signifikan. ”Kami mengakui bahwa masih banyak nasabah Pegadaian berlatar belakang kaum ibu. Kami ingin menggaet konsumen usia lebih muda karena Indonesia sedang surplus generasi muda. Maka, sejak 2017, kami mengembangkan chatbot yang di antaranya bisa ditemukan di akun aplikasi pesan instan Pegadaian,” ujarnya di Jakarta, awal Juni 2022.
Nama chatbot milik Pegadaian adalah Pevita. Kelebihan Pevita, klaim Franskel, adalah telah lancar menjawab pertanyaan - pertanyaan seputar produk Pegadaian. Kemudian pada tahun 2020 Pegadaian mencoba membuat Pevita bukan hanya mempunyai kemampuan menjawab pertanyaan layanan pelanggan, melainkan juga melayani pembukaan rekening baru tabungan emas dan isi ulang.
’Chatbot’semakin dibutuhkan ketika pemilik bisnis membuka multisaluran penjualan atau ’omnichannel’.
”Kami menginginkan agar fasilitas layanan pelanggan bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi perusahaan. Namun, bukan berarti keberadaan petugas/agen dilupakan. Apabila konsumen seusai berhubungan dengan Pevita tetap ingin berbincang dengan petugas/agen, Pevita bisa menghubungkannya,” tutur Franskel.
CEO Qiscus (perusahaan penyedia layanan percakapan kepada konsumen yang multisaluran) Delta Purna menilai, chatbot semakin dibutuhkan ketika pemilik bisnis membuka multisaluran penjualan atau omnichannel, seperti daring dan luring sekaligus. Apalagi ketika pandemi Covid-19 mulai terjadi tahun 2020. Situasi ini diikuti dengan fenomena konsumen mencari pengalaman yang melampaui harga barang. Dengan multisaluran seperti itu, konsumen menginginkan semua pelayanan di tiap-tiap saluran responsif.
Sistem dasbor Qiscuss kini telah terintegrasi dengan 20 saluran pemasaran, seperti Tokopedia Chat dan Whatsapp bisnis. Dengan demikian, perusahaan mitra Qiscus akan mudah mengolah pesan masuk dari konsumen secara bersamaan.
Chatbot yang mereka kembangkan mampu melakukan pra-kualifikasi kebutuhan tiap-tiap calon pembeli. Dengan kata lain, chatbot mampu mengklasifikasikan intensi percakapan pesan yang masuk. Jika kemudian konsumen tertarik membeli, sistem akan secara otomatis mengarahkan ke agen/petugas terkait.
”Chatbot bisa didesain memiliki kemampuan pra-pembelian, pasca-pembelian (dukungan agar mempertahankan konsumen), dan otomasi penjualan langsung. Dengan tiga jenis kemampuan itu, chatboot bisa cocok membantu perusahaan sektor ritel dan turunannya, seperti berjualan produk kecantikan dan sektor finansial,” kata Delta.
Sementara itu, berdasarkan pengalaman Vice President Corporate Marketing Taco Group, Satria Utama, chatbot ternyata bisa dipakai di fasilitas layanan pelanggan di sektor perdagangan material bangunan. Perusahaan material bangunan seperti Taco Group telah menyediakan saluran aplikasi pesan instan, tetapi saluran ini tidak beroperasi 24 jam. Padahal, konsumen yang rata-rata desainer interior dan pengembang bisa bertanya spesifikasi hingga harga material sampai larut malam. Tidak jarang, konsumen meminta gambaran contoh material.
Sebelum memakai chatbot, petugas layanan pelanggan biasanya langsung menerima sampai 50 pesan saat bisnis buka di pagi hari. Satu kali pesan konsumen, petugas biasanya bisa merespons sampai 1 jam.
”Setelah memakai chatbot, lama respons pesan berkurang menjadi hitungan menit. Kami tetap mempertahankan petugas fasilitas layanan pelanggan. Sebab, kami rasa tetap ada saja konsumen yang butuh berbincang langsung dengan petugas. Tindak lanjutnya, kami sudah mulai menghubungkan chatbot dengan sistem pergudangan sehingga bisa cepat memproses pesanan material,” ujar Satria.
Berkembang pesat
Mengutip VentureBeat dalam artikel A Short History of Chatbots and Artificial Intelligence (2016), chatbot pertama yang pernah dikodekan bernama Eliza. Ini ditemukan oleh ilmuwan komputer Joseph Weizenbaum pada tahun 1966. Eliza hanya menggunakan 200 baris kode, meniru bahasa seorang terapis.
Chatbot berkembang semakin signifikan setelah Facebook (sekarang Meta) mengizikan pengembang aplikasi untuk mengintegrasikan chatbot mereka ke Facebook Messenger setengah abad kemudian, yakni sekitar tahun 2016.
Baca juga: Kecerdasan Buatan Perlu Dirancang untuk Tingkatkan Akurasi Produk Jurnalistik
CEO & Co-Founder Kata.ai Irzan Aditya saat dihubungi, Minggu (10/7/2022), di Jakarta, menjelaskan, teknologi chatbot berbasis kecerdasan buatan, khususnya mesin kecerdasan dan pemrosesan bahasa secara natural atau natural languange processing (NLP). Chatbot seperti ini hanya mengerjakan tugas. Dengan kata lain, dia hanya memiliki kemampuan menjawab tugas yang spesifik, yang diberikan dari pembuatnya.
Dari pengalaman Kata.ai, adopsi chatbot semakin meluas di Indonesia. Setidaknya sudah ada 20 sektor industri di Indonesia yang aktif mengembangkan chatbot, antara lain e-dagang, ritel, serta makanan dan minuman. ”Masih banyak penggunaan chatbot di fasilitas layanan pelanggan. Memang, jika dipakai di fasilitas itu, pebisnis mampu mengotomasi 80 persen percakapan berulang dari konsumen sehingga berhasil menurunkan biaya operasional sampai 70 persen,” katanya.
Chatbot, secara umum, mampu melayani 20.000–30.000 pengguna aktif dalam satu bulan. Dalam satu hari, chatbot yang dikembangkan oleh Kata.ai secara khusus mampu melayani lebih dari 200.000 percakapan pada waktu bersamaan.
Nilai transaksi conversation commerce di Indonesia, termasuk percakapan biasa di Whatsapp dan pesan langsung ( direct message/DM) media sosial, diprediksi mencapai 17 miliar dollar AS pada tahun 2025.
Ketika kini berkembang chatbot untuk menggaet transaksi atau conversation commerce, Irzan menjelaskan, pemiliknya cukup melatih dengan cara menyinergikan mahadata seluruh divisi di perusahaan mulai dari stok, manajemen order, hingga logistik. Di Indonesia, potensi untungnya besar. Berdasarkan studi Boston Consulting Group, nilai transaksi conversation commerce di Indonesia, termasuk percakapan biasa di Whatsapp dan pesan langsung (direct message/DM) media sosial, diprediksi mencapai 17 miliar dollar AS pada tahun 2025.
Apakah keberadaan chatbot lantas bakal mereduksi selera konsumen untuk memilih jasa/barang? Menurut Irzan tidak. Sebab, chatbot yang ada di fasilitas layanan pelanggan biasanya berjalan di aplikasi percakapan. Ketika berada dalam ruang aplikasi percakapan, konsumen biasanya telah mengetahui jasa/barang yang diinginkan. Mereka hanya ingin berkomunikasi lebih intens dengan jenama.
”Jadi, apabila chatbot dikembangkan agar punya kemampuan menggaet transaksi, itu karena rata-rata pemilik usaha yakin dapat meningkatkan konversi penjualan,” kata Irzan.
Lantas, bagaimana dengan kekhawatiran lapangan pekerjaan yang hilang? Dia memandang, chatbot tetap mempunyai keterbatasan. Sejumlah pebinis tetap merasa jenama dan konsumen harus memiliki hubungan personal dengan konsumen, peran seperti itu kurang cocok untuk chatbot.
Semakin variatif
Kecerdasan buatan yang ada pada chatbot membawa warga ke era sesungguhnya, yakni era yang mendekatkan warga kepada teknologi bukan semata-mata merek dari bisnis tertentu. Perusahaan, seperti Amazon dan Google, telah mengeksplorasi ini dengan produk Amazon Echo dan Google Home. Keduanya adalah chatbot asisten yang berwujud perangkat pengeras suara cerdas dan mampu menerima perintah pengoperasian atau mengontrol benda terhubung internet (IoT) di rumah.
Di sektor pendidikan, The New York Times melalui artikel College Chatbots, With Names Like Iggy and Pounce, Are Here to Help (2020) mengatakan, perguruan tinggi di Amerika Serikat yang telah bermigrasi ke platform pembelajaran daring mengalami tantangan menjangkau siswanya. Misalnya, untuk urusan mengingatkan pendaftaran ulang dan memeriksa kesehatan. Ini meningkatkan pemakaian chatbot asisten yang dapat menyimulasikan percakapan kampus kepada siswa.
Irzan menambahkan, teknologi kecerdasan buatan beserta mesin pembelajaran yang memiliki subbidang. Dalam konteks chatbot, untuk memprediksi bahasa, subbidang teknologi mesin pembelajarannya yaitu NLP. NLP dibagi menjadi natural languange understanding (NLU) dan natural language generation (NLG).
NLP berkaitan dengan interaksi antara komputer dan manusia menggunakan bahasa alami. Tujuan akhir dari NLP ialah membaca, menguraikan, dan memahami bahasa manusia. Sementara turunannya NLU mampu memproses bahasa manusia ke dalam format yang dapat dibaca mesin. Adapun NLG mampu mengonstruksi dan menciptakan pemahaman bahasa yang natural.
”Dalam konteks keperluan bisnis, tidak semua teknologi yang mendasari gerak chatbot tersebut bisa dipakai begitu saja. Chatbot juga harus merepresentasikan citra bisnis pengembangnya. Dengan demikian, konsumen hanya bisa bertanya sesuai konteks jasa/barang yang diinginkan dan tidak lebih dari itu,” imbuh Irzan.
Baca juga: Kecerdasan Buatan Akan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dunia