Perlu Kebijakan Lanjutan Selain Perhitungan Jejak Karbon Aktivitas Perjalanan Wisata
Aktivitas perjalanan wisata turut berkontribusi terhadap emisi karbon yang berdampak ke perubahan iklim. Selain menghitung dan melunasi jejak karbon, masih ada cara lain untuk membangun pariwisata yang pro kelestarian.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
RHAMA PURNA JATI
Kawasan obyek wisata Taman Mangrove Belitung di Kota Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung, Jumat (11/10/2019). Kawasan ini dulunya adalah bekas tambang timah dan kini diubah fungsinya menjadi obyek wisata.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan menerapkan perhitungan jejak karbon aktivitas perjalanan pariwisata ke sejumlah destinasi wisata di Indonesia. Inisiatif ini adalah bagian dari mengurangi emisi karbon dan masih membutuhkan kebijakan dan regulasi lebih lanjut untuk mewujudkan pariwisata nasional berkelanjutan.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S Uno, dalam keterangan pers, Kamis (7/7/2022) malam, di Jakarta, telah meluncurkan program Towards Climate Positive Tourism through Decarbonization and Ecotourism yang salah satu di dalamnya ada perhitungan jejak karbon aktivitas perjalanan wisata. Upaya perhitungan ini bekerja sama dengan perusahaan teknologi Jejak.in.
Ada lima wilayah destinasi yang dijadikan proyek perintis, yaitu Plataran Menjangan di Taman Nasional Bali Barat; Mangrove Tembudan Berseri di Berau, Kalimantan Timur; Pantai Tiga Warna di Clungup Mangrove Conservation, Malang; Bukit Peramun di Belitung; dan Taman Wisata Mangrove Klawalu, Sorong. Kelima wilayah destinasi ini yang dianggap paling siap, terutama dari sisi pelaku industri pariwisata untuk penanaman dan pemantauan pohon.
Di fasilitas pusat transportasi umum, seperti bandara, nantinya akan disiapkan spanduk berisikan kode baca cepat yang mesti dipindai turis dan mengantar mereka masuk ke sistem Jejak.in. Lalu, turis diminta mengisi akses transportasi yang digunakan menuju ataupun selama berada di destinasi. Dari situ akan ketahuan jejak karbon yang potensial dihasilkan.
”Perhitungan jejak karbon yang dihasilkan wisatawan nantinya dikonversi menjadi nilai uang. Selanjutnya, uang tersebut disalurkan untuk mendukung program positif seperti penanaman pohon, energi terbarukan, hingga pengembangan ekowisata,” ujar Sandiaga.
Dalam program Towards Climate Positive Tourism through Decarbonization and Ecotourism, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga bekerja sama dengan WiseSteps dan Indonesia Ecotourism Network (Indecon). Bersama WiseSteps, kementerian akan menyusun peta jalan pengembangan ekowisata di Indonesia. Sementara bersama Indecon, kementerian akan menyosialisasikan ekowisata.
Berdasarkan penelitian The Carbon Footprint of Global Tourismsyang dimuat di jurnal Nature Climate Change (2018), selama kurun waktu 2009-2013, jejak karbon yang dihasilkan aktivitas pariwisata secara global telah meningkat dari 3,9 GtCO2e menjadi 4,5 GtCO2e. Jumlah ini empat kali lebih banyak dari perkiraan sebelumnya, menyumbang sekitar 8 persen dari emisi gas rumah kaca global.
Transportasi, belanja, dan makanan selama perjalanan wisata dianggap sebagai kontributor besar terhadap total jejak karbon pariwisata global. Sebagian besar jejak karbon itu dilakukan oleh dan di negara-negara berpenghasilan tinggi.
CEO Jejak.in Arfan Arlanda saat dihubungi Jumat (8/7/2022) di Jakarta menilai, kontribusi jejak karbon aktivitas pariwisata yang sekitar 8 persen terhadap total emisi gas rumah kaca global termasuk besar. Meski temuan riset itu lama, seluruh pelaku di ekosistem industri pariwisata tetap harus meningkatkan kesadaran untuk sama-sama mengurangi jejak karbon.
Hingga saat ini dia mengamati belum semua warga memahami konsep jejak karbon dan tindakan meniadakan emisi CO2 yang dihasilkan di satu tempat dengan tindakan pengurangan emisi di tempat lain atau carbon offset. Kebanyakan warga yang bertempat tinggal di kota-kota besar, seperti Jabodetabek, telah memahami dua konsep itu dan secara sadar berusaha untuk membantu mengurangi emisi karbon.
Tantangan berikutnya adalah kejelasan dasar hukum pengurangan emisi karbon dari pemerintah. Sebagai contoh, implementasi peraturan pajak karbon yang terkesan maju-mundur. Contoh lain, tahun lalu, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan peraturan presiden (perpres) terkait penilai karbon, yakni Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Sampai saat ini belum keluar peraturan turunan/pelaksana dari Perpres No 98/2021 tersebut.
”Program perhitungan jejak karbon perjalanan wisata di lima destinasi itu dan memang harus diteruskan ke destinasi lain. Jika serius diterapkan, mahadata jejak karbon yang terekam bisa digunakan sebagai dasar pembuatan kebijakan. Di luar itu, kami berharap peraturan yang mendukung pengurangan emisi karbon lekas dikeluarkan agar semakin terarah,” ujarnya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Wisatawan menikmati suasana Taman Mangrove Ketapang di Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, Banten, Minggu (16/1/2022). Selain sebagai taman wisata, kawasan tersebut juga tengah gencar ditanami ribuan bibit mangrove untuk pelestarian lingkungan sekitar dari ancaman abrasi. Pembangunan area wisata bahari berupa hutan mangrove seluas 14,5 hektar di kawasan pesisir tersebut dilakukan bertahap sejak tahun 2019.
Penasihat Tim Ekonomi Kerthi Bali Research Center Universitas Hindu Indonesia Cipto Gunawan saat dihubungi secara terpisah berpendapat, pengurangan jejak karbon aktivitas pariwisata merupakan salah satu bagian dari mewujudkan ekowisata dan pariwisata berkelanjutan. Lalu, jika pemerintah hanya memberlakukan kebijakan perhitungan jejak karbon dari perjalanan wisata wisatawan, kebijakan itu dianggap akan kurang optimal.
Menurut dia, tidak semua wisatawan terliterasi dampak emisi karbon aktivitas perjalanan wisata terhadap iklim dan lingkungan. Apalagi, pemerintah hanya mengandalkan cara penyadaran biasa sehingga hasil tingkat literasi ataupun aksi nyata masyarakat akan membutuhkan waktu panjang.
Pelaku usaha jasa pariwisata juga harus dilibatkan dalam ekowisata ataupun pariwisata berkelanjutan. Dari sisi bisnis perhotelan, dia menyebut sudah ada sejumlah sertifikasi yang berkaitan dengan bisnis berkelanjutan, seperti green hotel certification. Tantangannya adalah pengawasan perilaku atas sertifikat yang diperoleh.
Pemerintah Indonesia juga mendorong pelaku usaha mengadopsi energi terbarukan. Di Bali, misalnya, telah ada Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pemanfaatan Tenaga Listrik Surya Atap di Provinsi Bali. Meski inisiatif ini positif, Cipto menilai masih menyisakan kekurangan. Salah satunya adalah tidak semua pemilik usaha memiliki anggaran belanja modal yang besar untuk memasang perangkat pembangkit.
”Saya berbicara untuk konteks industri pariwisata yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19. Masih banyak pelaku usaha mengeluhkan arus kas mereka terbatas. Dengan demikian, mewujudkan ekowisata ataupun pariwisata berkelanjutan butuh kerangka kebijakan/regulasi yang menyeluruh,” tuturnya.
Manajer Pengembangan Program Indecon Wita Simatupang menambahkan, banyak langkah yang bisa dilakukan selain menghitung dan melunasi jejak karbon. Dari sisi pencegahan perubahan iklim yang lebih besar, misalnya. Sejumlah pelaku desa wisata lokal bisa menggunakan bahan-bahan seperti hasil pertanian dari desanya sendiri untuk kebutuhan pelayanan pangan ke turis.