Layanan Klaim Jamsostek Dimudahkan, Cakupan Kepesertaan Masih Jadi Tantangan
BP Jamsostek memudahkan layanan klaim manfaat jamsostek seiring meningkatnya klaim saat pandemi. Namun, rendahnya cakupan kepesertaan masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu disikapi oleh seluruh pemangku kepentingan.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pengajuan klaim manfaat jaminan sosial ketenagakerjaan, khususnya terkait program Jaminan Hari Tua, meningkat signifikan selama masa pandemi Covid-19. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek pun menyederhanakan prosedur dan persyaratan klaim manfaat untuk mempermudah proses pencairan klaim bagi peserta.
Langkah simplifikasi prosedur dan persyaratan klaim manfaat program Jaminan Hari Tua (JHT) tersebut dilakukan sejak awal tahun 2021. Saat itu, tingkat klaim manfaat JHT memang meningkat signifikan seiring dengan banyaknya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), pengunduran diri (resign), dan kasus kematian akibat Covid-19.
Direktur Pelayanan BP Jamsostek Roswita Nilakurnia mengatakan, simplifikasi prosedur dan persyaratan klaim JHT yang dilakukan sejak awal tahun 2021 itu dapat mendorong rata-rata tingkat sukses (success rate) klaim JHT dari awalnya 55,05 persen pada Januari 2021 menjadi 95,01 persen pada Desember 2021.
Jumlah itu terus meningkat hingga pada semester pertama tahun 2022, tingkat sukses klaim JHT telah mencapai 99,51 persen. “Dengan kata lain, hampir seluruh klaim yang diajukan peserta dapat dibayarkan,” kata Roswita dalam keterangan tertulis, Kamis (7/7/2022).
Dalam upaya meningkatkan kemudahan dan kecepatan proses klaim, BP Jamsostek juga meluncurkan aplikasi Jamsostek Mobile (JMO). Roswita menyebut, aplikasi itu mampu memangkas waktu pencairan klaim JHT dari rata-rata 10-15 hari menjadi hanya 10-15 menit.
Hingga Mei 2022, jumlah manfaat yang telah dibayarkan dari seluruh program Jamsostek senilai Rp 20,6 triliun atau meningkat 33 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara, jumlah pengajuan manfaat yang diproses sebanyak 1,47 juta kasus, meningkat 49 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sebelumnya, pada Rabu (6/7), Ombudsman RI menyampaikan temuan malaadministrasi terkait penyelenggaraan sistem Jamsostek, yakni mencakup inkompetensi, penyimpangan prosedur, dan penundaan pelayanan berlarut dalam proses klaim manfaat.
Beberapa aspek yang disoroti Ombudsman, antara lain cakupan kepesertaan Jamsostek yang belum optimal. Tingkat kepesertaan yang rendah itu ditengarai bersumber pada sistem pengawasan ketenagakerjaan yang lemah.
Isu lain yang disoroti adalah praktik pencairan klaim manfaat secara kolektif melalui perwakilan unit manajemen sumber daya manusia (HRD) perusahaan, dana mengendap dari peserta tidak aktif, serta kesulitan pencairan klaim yang dikeluhkan pekerja. Langkah korektif pun diminta dari tiga pihak, yaitu BP Jamsostek, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional/DJSN (Kompas, 7/7).
Terkait hasil investigasi Ombudsman tersebut, Roswita mengatakan, saat ini BP Jamsostek masih mempelajari temuan tersebut. BP Jamsostek pada prinsipnya menghargai temuan yang bertujuan untuk peningkatan kualitas layanan kepada peserta itu.
Selain meningkatkan kemudahan layanan klaim, BP Jamsostek juga menempuh beragam strategi untuk meningkatkan perluasan kepesertaan Jamsostek. Targetnya, pada tahun 2026, ada 70 juta orang peserta aktif yang tergabung dalam BP Jamsostek.
“Berbagai strategi sudah dijalankan. Antara lain, melakukan kolaborasi intensif dengan kementerian/lembaga terkait, memberi kemudahan bagi peserta dengan memperluas kanal daftar dan bayar iuran, serta menggenjot terus promosi, sosialisasi dan edukasi,” kata Roswita.
Pekerjaan rumah
Sementara itu, menyikapi temuan Ombudsman, Anggota DJSN Agung Pambudhi menyampaikan, secara umum, cakupan pekerja yang tergabung dalam BP Jamsostek memang masih minim. Khususnya, dari skala usaha kecil-menengah, pekerja sektor konstruksi, pekerja kontrak atau borongan, serta pekerja sektor informal, yang belum banyak terlindungi.
Meski demikian, dari sisi layanan pencairan klaim manfaat, langkah yang ditempuh BP Jamsostek saat ini sudah memudahkan aspek pelayanan bagi pekerja. Ombudsman dinilai perlu memperbarui pengawasan dengan mengacu pada kebijakan operasional terbaru yang sudah dilakukan oleh BP Jamsostek.
Di sisi lain, dari sisi kebijakan untuk mendorong kepesertaan Jamsostek, perlu ada persiapan lebih matang untuk menyiapkan skema penerima bantuan iuran (PBI) bagi pekerja rentan. “Secara paralel, keduanya (cakupan kepesertaan dan layanan manfaat) perlu ditingkatkan, termasuk perlu sosialisasi lagi atas berbagai program BP Jamsostek yang mungkin belum dipahami semua peserta,” kata Agung.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, penyelenggaraan kepesertaan sistem Jamsostek yang belum optimal merupakan tanggung jawab semua pemangku kepentingan yang telah diamanatkan lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jamsostek.
“Cakupan kepesertaan masih jauh dari ideal, itu faktanya. Tetapi, ini persoalan bersama yang harus disikapi oleh semua kementerian/lembaga yang sudah dimandatkan oleh Inpres No 2/2021, bukan hanya BP Jamsostek,” tuturnya.
Demikian pula, aspek pengawasan ketenagakerjaan yang belum optimal sehingga membuat cakupan kepesertaan tidak optimal. Faktanya, jumlah petugas pengawas di tingkat Kementerian Ketenagakerjaan dan dinas ketenagakerjaan di daerah, masih sangat minim.
“Peran pengawas ketenagakerjaan yang berkualitas menjadi syarat penting hadirnya hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan. Oleh karena itu, perbaikan kualitas kerja pengawas menjadi hal penting yang harus dilakukan,” ujar Timboel.