Rupiah Tembus Level Psikologis Rp 15.000 Per Dollar AS
Melemahnya nilai tukar ini dipicu dari arus modal keluar dari Indonesia akibat kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat dan sejumlah negara.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dollar AS hingga menembus level psikologis Rp 15.000 per dollar AS. Melemahnya nilai tukar ini dipicu dari arus modal keluar dari Indonesia akibat kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat dan sejumlah negara. Kenaikan suku bunga ini memperkecil selisihnya dengan suku bunga Bank Indonesia sehingga investor menarik keluar modalnya mencari bunga yang lebih menguntungkan yang dampaknya melemahkan nilai tukar rupiah.
Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada perdagangan Rabu (6/7/2022) ditutup pada posisi Rp 15.015 per dollar AS. Selama sebulan terakhir sejak awal Juni hingga awal Juli, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terdepresiasi 2,96 persen. Sejak awal tahun hingga Rabu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terdepresiasi 4,5 persen.
Mata uang negara-negara lain juga melemah terhadap dollar AS. Sejak awal tahun hingga awal Juli, mata uang yen (Jepang) telah terdepresiasi 14,89 persen, won (Korea Selatan) melemah 8,27 persen, ringgit (Malaysia) terdepresiasi 5,46 persen, dan yuan (China) turun 5,15 persen.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky menjelaskan, depresiasi rupiah didorong dari peningkatan suku bunga kebijakan moneter bank sentral di sejumlah negara. Sementara itu, BI sendiri belum menaikkan suku bunga karena masih mempertahankan rezim bunga murah untuk mendorong pemulihan ekonomi.
”Selisih yang makin berkurang ini memberi dorongan arus modal keluar karena investor mencari suku bunga yang lebih tinggi dan berisiko lebih kecil. Inilah yang memberi tekanan ke nilai tukar rupiah,” kata Riefky yang dihubungi pada Rabu, di Jakarta.
Ia menjelaskan, kondisi perekonomian setiap negara berbeda sehingga kebijakan moneter yang diambil bank sentralnya pun berbeda. Di negara lain, inflasinya sudah sangat tinggi, sementara di Indonesia masih relatif terjaga sembari mendorong pertumbuhan ekonomi dengan rezim bunga murah.
Hal senada juga dikemukakan Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam. Ia menjelaskan, depresiasi rupiah ini salah satunya dipicu oleh kenaikan suku bunga bank sentral AS dan bank sentral lainnya. Kebijakan moneter berbagai negara itu diambil untuk merespons perkembangan ekonomi global, seperti perang Rusia dengan Ukraina dan inflasi tinggi di sejumlah negara.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) masih tetap mempertahankan suku bunga acuan 3,5 persen yang belum berubah sejak Februari 2021. ”Hal ini membuat selisih antara suku bunga domestik dan suku bunga internasional kian sempit sehingga memicu arus modal keluar dari Indonesia,” ucap Piter.
Arus modal keluar ini salah satunya tecermin dari menurunnya jumlah modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Mengutip data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, total kepemilikan asing di pasar SBN selama sebulan sejak 2 Juni hingga 1 Juli telah berkurang Rp 18 triliun. Pada 2 Juni, kepemilikan asing pada SBN sebesar Rp 797,02 triliun atau setara dengan 16,59 persen dari total SBN. Adapun pada 1 Juli kepemilikan asing pada SBN menurun menjadi Rp 779 triliun atau setara dengan 16,01 persen dari total SBN.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menambahkan, sejatinya fundamental perekonomian Indonesia dalam kondisi baik. Namun, kuatnya berbagai sentimen global mendorong penguatan mata uang dollar terhadap berbagai mata uang dunia termasuk rupiah.
Sentimen itu dipicu kenaikan suku bunga The Fed yang membuat arus modal keluar (capital outflow) dari Indonesia. Apalagi, The Fed berencana akan terus menaikkan tingkat suku bunganya untuk meredam inflasi di dalam negerinya. Kenaikan suku bunga The Fed itu membuat investor global lebih tenang karena bunganya lebih besar dan lebih minim risiko ketimbang menaruh uangnya di negara lain, seperti Indonesia.
”Berbagai sentimen ini mendorong investor global memindahkan dananya ke aset-aset yang lebih aman dan lebih minim risiko,” ujar Josua.
Kabar baiknya, lanjut Josua, mengingat fundamental ekonomi Indonesia dalam keadaan baik, maka ketika sentimen global itu mereda, maka semestinya nilai tukar rupiah akan kembali pada posisi fundamentalnya.
Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, BI akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global dan domestik, merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan stabilitas makroekonomi dan stabilitas keuangan. ”Termasuk penyesuaian lebih lanjut stance (posisi atau sikap) kebijakan bila diperlukan, serta terus memperkuat sinergi dengan Pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya.
Ia menambahkan, dunia internasional meyakini fundamental perekonomian Indonesia masih dalam kondisi baik. Hal ini tecermin dari afirmasi rating Indonesia pada peringkat BBB+ dengan outlook stabil.
”Ini menunjukkan bahwa di tengah ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi, peningkatan risiko stagflasi seiring kenaikan suku bunga kebijakan secara global di tengah ekonomi yang baru pulih, serta makin luasnya kebijakan proteksionisme oleh berbagai negara, pemangku kepentingan internasional tetap memiliki keyakinan yang kuat atas terjaganya stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia,” kata Perry.