Malaadministrasi Layanan Jamsostek Berlangsung Sistemik
Investigasi oleh Ombudsman RI menemukan adanya tiga praktik maladministrasi dalam penyelenggaraan layanan jamsostek, yaitu inkompetensi, penyimpangan prosedur, dan penundaan pelayanan berlarut dalam proses klaim manfaat.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Temuan malaadministrasi terkait penyelenggaraan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan dinilai berlangsung secara sistemik. Untuk meningkatkan kualitas jaminan perlindungan sosial bagi semua pekerja, perlu ada perbaikan yang komprehensif dari sisi regulasi sampai teknis implementasi.
Investigasi yang dilakukan Ombudsman RI para periode Oktober-November 2021 di 12 provinsi menemukan adanya tiga praktik malaadministrasi dalam penyelenggaraan layanan jaminan sosial ketenagakerjaan (Jamsostek) selama ini, yaitu inkompetensi, penyimpangan prosedur, dan penundaan pelayanan berlarut dalam proses klaim manfaat.
Penyelidikan itu dilakukan terhadap 11 kantor wilayah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, 12 kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan, departemen manajemen sumber daya manusia (HRD) perusahaan, serikat pekerja, dan peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Investigasi dilakukan menyusul banyaknya laporan dan pengaduan yang diterima Ombudsman RI dari para pekerja terkait tata kelola pelayanan klaim manfaat serta layanan kepesertaan Jamsostek. Keluhan itu khususnya meningkat selama pandemi Covid-19.
“Dari pengaduan yang kami terima berulang kali dari hari ke hari, kami temukan bahwa ini problemnya sistemik. Bukan semata-mata masalah BPJS Ketenagakerjaan sendiri, tetapi dari sistem dan regulasinya pun memang bermasalah,” kata Komisioner Ombudsman RI Hery Susanto, Rabu (6/7/2022) di Jakarta.
Inkompetensi yang dimaksud dalam temuan Ombudsman RI antara lain menyangkut akuisisi kepesertaan pekerja formal dan informal yang tidak optimal. BPJS Ketenagakerjaan, ujar Hery, belum konkret mengawal dan menindaklanjuti pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jamsostek.
Dari total 50,77 juta orang pekerja formal yang berhak menjadi peserta Jamsostek, sampai saat ini, hanya 38,6 persen (19,6 juta orang) saja yang sudah menjadi peserta aktif. Sebanyak 39,9 persen (20,3 juta orang) berstatus peserta Jamsostek tidak aktif, dan 21,3 persen (10,86 juta orang) belum menjadi peserta.
Sementara, dari total 77,68 juta orang pekerja informal, baru 3,4 persen (2,67 juta orang) saja yang menjadi peserta Jamsostek. “Masih banyak sekali pekerja di Indonesia ini yang belum terdaftar sebagai peserta Jamsostek, dan jumlah peserta aktif juga ternyata masih sedikit,” katanya.
Cakupan kepesertaan yang rendah itu ditengarai bersumber pada sistem pengawasan ketenagakerjaan yang lemah. Pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan dinilai tidak optimal mengawasi dan menindak perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya di Jamsostek.
“Pengawasan juga tidak optimal terhadap perusahaan yang tidak membayar iuran sebagaimana seharusnya, atau fenomena perusahaan bayar sebagian (PBS),” ujar Hery.
Klaim kolektif
Adapun penyimpangan prosedur yang ditemukan antara lain maraknya praktik pencairan klaim manfaat secara kolektif melalui perwakilan HRD perusahaan. Ada potensi permintaan imbalan atau potongan dalam besaran tertentu yang harus dibayarkan pekerja ke perwakilan HRD atau calo untuk proses pencairan klaim itu.
Hery mengatakan, praktik tersebut semakin marak akhir-akhir ini untuk memudahkan proses klaim manfaat di tengah pandemi.
“Maksudnya mungkin untuk memudahkan, tetapi ini jelas pelanggaran prosedur, karena urusan klaim kepesertaan seharusnya antara BPJS Ketenagakerjaan dengan pekerja langsung, tidak bisa lewat perusahaan,” ucapnya.
Sementara, aspek penundaan pelayanan berlarut dalam proses klaim terlihat dari banyaknya keluhan pekerja yang kesulitan mencairkan klaim. Ada pula ketidakjelasan terkait aliran dana mengendap milik peserta yang berstatus tidak aktif. Dana yang mengendap cukup besar, mengingat jumlah peserta tidak aktif lebih banyak daripada yang aktif.
“Kalaupun dikembalikan ke negara, dana mengendap itu harus diberikan lagi ke rakyat. Misalnya, untuk merealisasikan skema penerima bantuan iuran (PBI) bagi pekerja miskin dan tidak mampu, atau untuk mengakselerasi rekrutmen peserta, supaya pekerja se-Indonesia semuanya dilindungi Jamsostek,” ujarnya.
Problem sistemik itu memerlukan solusi yang juga sistemik. Ombudsman RI pun merekomendasikan tindakan korektif kepada BPJS Ketenagakerjaan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional, untuk memperbaiki regulasi dan membenahi implementasi teknis penyelenggaraan Jamsostek.
Pembenahan regulasi terutama dibutuhkan untuk menguatkan sanksi bagi perusahaan yang mengabaikan kewajiban. Perbaikan regulasi itu juga harus mendorong terwujudnya sistem pengawasan ketenagakerjaan yang lebih kuat. Ombudsman memberikan waktu 30 hari kepada pihak terkait untuk merespons rekomendasi itu.
“Banyak perusahaan yang tidak patuh, sampai sekarang dibiarkan, terus-menerus merugikan pekerja tanpa ada solusi konkret. Bahkan, sanksi kepada perusahaan yang sudah mendaftarkan pekerjanya justru lebih berat daripada yang belum. Pelaku usaha kan jadi berpikir, untuk apa mendaftarkan pekerja jadi peserta Jamsostek?” katanya.
Dalam pertanyaan tertulis yang dikirimkan ke Kompas, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk selalu mengedepankan pelayanan yang optimal kepada seluruh peserta. Mulai dari kemudahan pendaftaran menjadi peserta jamsostek hingga prosedur mengklaim manfaat program.
Menanggapi temuan Ombudsman, ia mengatakan, BPJS Ketenagakerjaan telah melakukan simplifikasi prosedur dan persyaratan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) sejak tahun 2021. Langkah tersebut mampu mendorong rata-rata tingkat sukses (success rate) klaim JHT dari awalnya 55,05 persen pada Januari 2021 menjadi 95,01 persen pada Desember 2021.
"Itu terus meningkat sampai Juni 2022, di mana success rate tercatat mencapai 99,51 persen, yang artinya seluruh pengajuan klaim yang diajukan hampir seluruhnya terbayarkan," katanya.
Hingga Mei 2022, jumlah manfaat yang telah dibayarkan dari seluruh program jamsostek senilai Rp 20,6 triliun dengan jumlah pengajuan manfaat sebanyak 1,47 juta kasus. Jika dibandingkan dengan nominal pembayaran pada periode yang sama tahun lalu, angka tersebut meningkat 33 persen, sementara dari segi jumlah kasus, angkanya meningkat 49 persen.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Binwasnaker & K3) Kementerian Ketenagakerjaan, Haiyani Rumondang mengingatkan para petugas pengawas untuk bekerja lebih optimal dan mengembangkan cara-cara baru pengawasan.
Ia mengakui, jumlah pengawas memang masih jauh dari ideal. Hingga 19 Januari 2022, jumlah pengawas ketenagakerjaan hanya 1.552 orang. Sebanyak 1.415 orang merupakan pengawas daerah dan 137 orang pengawas pusat. Namun, kendala jumlah seharusnya tidak dijadikan alasan.
“Ini saatnya berbenah diri agar pengawas ketenagakerjaan di Indonesia mampu menjawab tantangan serta kebutuhan masyarakat dalam mendukung iklim investasi dan melindungi pekerja untuk mendapatkan hak-haknya,” ujar Haiyani.