Hadapi Ketidakpastian Rantai Pasok, Pelaku Industri Cari Solusi Alternatif
Akibat dinamika ekonomi global yang tak tentu, hampir semua komoditas bahan baku mengalami kenaikan harga. Hal itu diperburuk dengan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dollar AS akibat dampak tren inflasi global.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lonjakan inflasi global dan melemahnya nilai tukar rupiah membuat harga bahan baku industri yang belakangan ini sudah tinggi semakin melejit. Untuk menghadapi ketidakpastian rantai pasok yang semakin menjadi-jadi, diversifikasi bahan baku dan efisiensi rantai pasok jadi solusi alternatif untuk menjaga produksi tetap berjalan.
Kendala mengakses bahan baku berkualitas dengan harga terjangkau itu khususnya dirasakan pelaku industri makanan dan minuman (mamin). Harga bahan baku yang sudah tinggi akibat imbas krisis rantai pasok dan ketegangan geopolitik pascaperang Rusia-Ukraina kian meroket dengan maraknya restriksi ekspor komoditas pangan yang dikeluarkan beberapa negara.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, akibat dinamika perekonomian global yang tak tentu itu, hampir semua komoditas bahan baku saat ini mengalami kenaikan harga. Hal itu semakin diperburuk dengan nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dollar AS akibat dampak tren inflasi global.
Pada penutupan perdagangan, Selasa (5/7/2022), rupiah berada di level Rp 14.985 per dollar AS, semakin mendekati level psikologis Rp 15.000 per dollar AS. Pelemahan nilai tukar rupiah itu ikut menekan industri manufaktur dalam negeri yang masih memiliki ketergantungan tinggi pada bahan baku impor.
Pelaku industri pun berjibaku mencari solusi alternatif untuk menjaga pasokan bahan baku tetap terjaga, produksi berjalan, dan arus kas perusahaan tidak tertekan terlalu berat. Pasalnya, saat ini, sejumlah pelaku industri terpaksa harus menggerus margin dan menekan profit demi menjaga laju permintaan meski biaya input melonjak.
”Biaya produksi naik 10-15 persen dalam enam bulan terakhir. Sebenarnya sudah harus menaikkan harga lagi, tetapi banyak yang wait and see dan memilih menekan margin. Kami khawatir kalau harga dinaikkan lagi, daya beli masyarakat semakin lemah dan permintaan ikut lesu,” kata Adhi, Selasa.
Untuk menyikapi ketidakpastian krisis rantai pasok itu, diversifikasi dan substitusi bahan baku pun dijadikan strategi andalan. ”Kita harus punya alternatif formula. Kalau bahan baku yang ini mahal, ganti dengan yang itu. Industri harus memetakan dan menyiapkan cadangan,” ujarnya.
Komoditas pangan yang produktivitasnya tinggi dan bisa disediakan di dalam negeri, seperti jagung, singkong, dan sagu, dijadikan substitusi andalan bahan baku untuk sejumlah produk mamin. Sebagai contoh, mi instan yang bergantung pada tepung terigu dari gandum dapat disubstitusi dengan tepung beras atau jagung.
Dengan demikian, industri diharapkan tidak perlu bergantung pada bahan baku impor dan mengerek harga produk jadi karena biaya input yang melonjak. ”Bahan baku lain kita sudah tersedia, tinggal masalah pengolahan dan infrastruktur. Pemerintah juga harus punya komando dan peta jalan yang jelas, jangan dibiarkan tidak terurus seperti sekarang,” kata Adhi.
Kita harus punya alternatif formula. Kalau bahan baku yang ini mahal, ganti dengan yang itu. Industri harus memetakan dan menyiapkan cadangan
Langkah lain yang ditempuh adalah efisiensi rantai pasok dengam memangkas komponen biaya operasional lainnya. Sebagian industri kini sedang berpikir untuk melakukan reshoring atau mendekatkan pusat produksi ke pasar yang disasar. ”Karena semakin lama ongkos logistik itu semakin mahal,” ujar Adhi.
Di sektor tekstil, strategi diversifikasi dan substitusi bahan baku juga sudah dijalankan sejak rantai pasok pertama kali terdisrupsi di awal pandemi. Dengan demikian, industri relatif kini bisa menghadapi tren inflasi global.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, sejak tiga tahun terakhir sudah mulai ada pergeseran dari bahan baku serat kapas impor ke poliester dan rayon yang diproduksi secara lokal.
Diversifikasi bahan baku lokal kini masih berlanjut, khususnya ke arah produk khusus seperti serat/benang tahan api, antibakteri, dan serat berwarna. Meski demikian, sektor tekstil tetap ikut merasakan dampak bawaan dari krisis rantai pasok saat ini.
”Konsumsi masyarakat mulai terasa turun karena sekarang ini yang didahulukan pasti belanja makanan yang harganya sudah naik. Yang kami butuhkan sekarang adalah dukungan kebijakan impor untuk menjaga pasar domestik dari serbuan barang impor,” kata Redma.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, pengusaha relatif masih mampu mengantisipasi tren inflasi global yang berdampak pada kenaikan harga bahan baku. Sebagai konsekuensi, harga produk jadi di pasaran memang mau tidak mau naik, tetapi itu dinilainya masih dalam batas wajar.
Yang kami butuhkan sekarang adalah dukungan kebijakan impor untuk menjaga pasar domestik dari serbuan barang impor.
”Kalaupun naik, kami usahakan tidak terlalu tinggi karena kami juga harus melihat kemampuan daya beli masyarakat. Tetapi ini juga tergantung kemampuan perusahaan untuk menekan biaya produksinya,” ujarnya.
Melambat
Di tengah kondisi rantai pasok yang terus terdisrupsi, kinerja industri manufaktur mulai ikut terusik. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis oleh S&P Global, akhir pekan lalu, menunjukkan, indeks PMI Manufaktur Indonesia pada Juni 2022 berada di level 50,2.
Meski masih ekspansif (di atas angka 50), kondisi itu melambat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya, bahkan mulai mendekati zona kontraksi (di bawah angka 50). Hal itu menandakan keyakinan dan kepercayaan dunia industri semakin merosot di tengah krisis rantai pasok yang memburuk. Sebagai perbandingan, pada Mei 2022, indeks PMI manufaktur berada di level 50,8, April 2022 di level 51,9, dan Maret 2022 di level 51,3.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika mengatakan, pemerintah berupaya meredam tingginya tekanan inflasi global, terutama yang disebabkan oleh produk-produk mamin. ”Perlu upaya untuk bisa mengendalikan inflasi, sehingga daya beli masyarakat kita tetap bagus, dan sektor industri kita bisa tumbuh dengan stabil,” ujarnya.
Pemerintah, ujarnya, terus mendorong penggunaan produk dalam negeri dan substitusi impor. Ia mencontohkan, di sektor pangan, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang potensial, seperti sagu, singkong, dan ketela pohon. Salah satu komoditas yang sedang dikembangkan adalah gula semut yang berbahan baku kelapa. ”Ini yang perlu terus dioptimalkan oleh sektor industri untuk menyubstitusi produk impor,” ujarnya.