Program Pengungkapan Sukarela Berakhir, Transparansi Diharapkan Meningkat
Program Pengungkapan Sukarela diharapkan bisa meningkatkan transparansi perpajakan. Namun, program pengampunan pajak yang terus-menerus digulirkan dikhawatirkan dapat menambah ketidakpatuhan wajib pajak.
Oleh
agnes theodora, dimas waraditya
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program Pengungkapan Sukarela atau PPS yang telah berakhir pada 30 Juni 2022 diharapkan dapat meningkatkan rasa percaya dan transparansi perpajakan antara pemerintah dan wajib pajak. Di sisi lain, pemerintah diharapkan tidak menggulirkan program serupa lagi ke depan demi menjaga kepatuhan wajib pajak.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat, sepanjang enam bulan pelaksanaan PPS pada 1 Januari-30 Juni 2022, jumlah harta bersih yang dilaporkan dalam program tersebut mencapai Rp 594,82 triliun dengan pembayaran kewajiban pajak penghasilan (PPh) sebesar Rp 61,07 triliun.
Adapun nilai total deklarasi harta dalam program PPS kali ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan realisasi total deklarasi harta program pengampunan pajak (tax amnesty) pada tahun 2016, yakni sebesar Rp 4.855 triliun.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berharap, dengan terwujudnya basis data perpajakan yang lebih baik pasca-penyelenggaraan PPS, penerimaan pajak dan rasio pajak bisa meningkat. Seiring dengan itu, rasa percaya dan transparansi antara pemerintah dan pelaku usaha sebagai wajib pajak yang disasar juga diharapkan lebih membaik.
”Setiap pihak harus menjaga rasa percaya (trust) ini. Wajib pajak harus menghitung dan membayar pajak secara lebih jujur dan akurat, pemerintah pun harus lebih profesional. Jangan terkesan nantinya mencari-cari kesalahan. Semua sama-sama harus transparan,” kata Hariyadi dalam konferensi pers daring, Senin (4/7/2022).
Wakil Ketua Umum Apindo Suryadi Sasmita mengingatkan, pasca-terlaksananya program tersebut, pengusaha harus lebih berhati-hati dan jujur membayar pajak. Sebab, Ditjen Pajak Kemenkeu ke depan akan melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap kondisi aset dan kepatuhan wajib pajak melalui sistem pertukaran informasi rekening wajib pajak (automatic exchange of information/AEOi).
”Hati-hati karena Ditjen Pajak punya sistem yang sangat canggih, sampai bisa melihat rekening koran, sampai menelusuri kartu kredit para wajib pajak,” kata Suryadi.
Pasca-terlaksananya program tersebut, pengusaha harus lebih berhati-hati dan jujur membayar pajak.
Stabilitas penerimaan
Menurut Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo, PPS menjadi salah satu instrumen untuk mendorong kepatuhan pajak dengan biaya efisien sekaligus memberikan kepastian stabilitas penerimaan negara secara berkelanjutan.
”Seluruh data perpajakan yang kami dapat, baik dari pelaksanaan PPS, program tax amnesty di tahun 2016, sampai yang kami dapat dari data pertukaran dengan otoritas pajak negara lain, akan ditindaklanjuti untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus menggali potensi penerimaan negara,” ujarnya.
Suryo mengingatkan bahwa tanggung jawab untuk memenuhi segala kewajiban perpajakan, baik dalam pembayaran ataupun pelaporan secara akurat dan tepat waktu, perlu dimiliki oleh seluruh wajib pajak demi terciptanya stabilitas penerimaan negara secara berkelanjutan.
Seluruh data perpajakan yang kami dapat, akan ditindaklanjuti untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus menggali potensi penerimaan negara.
Saat ini, ada dua skema pengungkapan sukarela. Pertama, pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program pengampunan pajak pada 2016. Sementara, skema kedua berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh orang pribadi tahun pajak 2020.
Direktur Riset Center of Reform on Economics Indonesia Piter Abdullah menilai, program pengampunan pajak yang terus-menerus digulirkan bisa menjadi bumerang yang membuat wajib pajak terlena. Menurut dia, jumlah peserta PPS yang cukup besar kali ini menunjukkan besarnya jumlah wajib pajak yang tidak mematuhi program pengampunan pajak jilid satu sebelumnya.
”Pemerintah seharusnya bisa mengenakan penalti yang besar dan mendapat potensi penerimaan pajak yang jauh lebih tinggi. Adanya program tax amnesty jilid kedua ini membuat wajib pajak berharap akan ada tax amnesty jilid berikutnya, yang artinya bisa membuat wajib pajak menjadi tidak patuh ke depannya,” katanya.
Ia berharap pemerintah bersikap tegas dan tidak lagi menjalankan program pengampunan pajak setelah ini. ”Ini tergantung kemauan pemerintah. Pengawasan yang lebih ketat sebenarnya sudah bisa dilakukan sejak program tax amnesty jilid satu kemarin, kalau digulirkan lagi, pemerintah jadi tidak kredibel,” ujar Piter.
Terkait hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, dengan berakhirnya pelaksanaan PPS, pemerintah tidak akan lagi menggelar program pengampunan pajak. ”Semua data yang kami peroleh akan menjadi basis bagi Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan upaya-upaya penegakan kepatuhan secara konsisten bagi seluruh wajib pajak,” ujarnya.