Pelambatan kinerja industri manufaktur diperkirakan akan berlanjut di tengah krisis bahan baku, restriksi ekspor komoditas pangan oleh sejumlah negara, serta melemahnya nilai tukar rupiah.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja industri manufaktur dalam negeri mengalami tren pelambatan mendekati zona kontraksi meskipun untuk saat ini masih berada di zona ekspansi. Krisis rantai pasok yang berdampak pada naiknya harga bahan baku dan produk jadi dapat memperburuk inflasi, menggerus permintaan, serta menahan laju pertumbuhan sektor manufaktur.
Laporan Puchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis oleh S&P Global pada Sabtu (2/7/2022) menunjukkan, indeks PMI Manufaktur Indonesia pada Juni 2022 tercatat pada level 50,2.
Meskipun masih berada di zona ekspansi (di atas angka 50), trennya cenderung melambat dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya, bahkan mulai mendekati zona kontraksi (di bawah angka 50). Sebagai perbandingan, pada Mei 2022, indeks PMI Manufaktur berada di level 50,8, April 2022 di level 51,9, dan Maret 2022 di level 51,3.
Laporan itu mencatat, krisis rantai pasok masih menjadi kendala terbesar bagi pertumbuhan kinerja industri. Ketersediaan bahan baku yang semakin langka, dengan harga yang terus naik, mendorong kenaikan harga input dan output produksi di pasaran. Perusahaan mau tidak mau meneruskan beban kenaikan biaya itu kepada pelanggan. Hal ini juga mendorong tren kenaikan inflasi.
Ketersediaan bahan baku yang semakin langka, dengan harga yang terus naik, mendorong kenaikan harga ’input’ dan ’output’ produksi di pasaran.
Ekonom S&P Global, Laura Denman, menilai, kondisi kesehatan sektor manufaktur Indonesia secara umum mendekati stagnan pada bulan Juni. Permintaan asing mengalami kontraksi paling tajam dalam sepuluh bulan terakhir sejak September 2021. Hal ini menunjukkan, keseluruhan ekspansi permintaan industri saat ini didukung oleh pesanan domestik.
Dengan kondisi tersebut, kenaikan harga komoditas yang berdampak pada inflasi dalam negeri saat ini pun berisiko menekan laju pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri. ”Jika inflasi terus memburuk, permintaan domestik bisa ikut terdampak, yang artinya, sektor manufaktur Indonesia akan terus kehilangan momentum pertumbuhan,” katanya, Sabtu.
Seperti diketahui, pada Juni 2022, inflasi Indonesia kini menanjak naik. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, inflasi bulan Juni secara tahunan menembus 4,35 persen. Angka inflasi tahunan itu merupakan yang tertinggi sejak Juni 2017.
Adapun sepanjang Januari-Juni 2022 (year to date), inflasi menyentuh 3,19 persen, tertinggi dalam sembilan tahun terakhir. Pemerintah memprediksi inflasi sepanjang tahun ini akan mencapai 4,5 persen, melebihi target yang dipasang Bank Indonesia sebesar 4 persen.
Kenaikan harga komoditas yang berdampak pada inflasi dalam negeri saat ini pun berisiko menekan laju pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri.
Berlanjut
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif memperkirakan, pelambatan kinerja industri manufaktur pada bulan Juni akan berlanjut. Apalagi, krisis bahan baku yang sudah berlangsung dalam beberapa bulan terakhir ini semakin diperburuk dengan munculnya kebijakan restriksi ekspor komoditas pangan oleh sejumlah negara.
Badan Pusat Statistik mencatat, ada lima komoditas yang per Juni 2022 terkena pemberlakuan pembatasan ekspor, yaitu gandum (restriksi oleh delapan negara), gula (restriksi oleh delapan negara), pupuk (restriksi oleh lima negara), daging sapi (restriksi oleh tiga negara), serta kedelai dan turunannya (restriksi oleh dua negara).
Ia mengatakan, pelambatan laju kinerja manufaktur ini tidak hanya dirasakan Indonesia, tetapi juga negara-negara lain di ASEAN. Pemerintah akan mengantisipasi kelanjutan tren pelambatan itu dan menyusun kebijakan khusus guna meredam dampaknya pada kondisi industri dalam negeri.
”Sampai sekarang, kondisi harga bahan baku ini masih dipengaruhi oleh kondisi ketegangan geopolitik dunia dan kelangkaan energi. Keadaan itu mungkin masih akan berlanjut dengan adanya sejumlah negara yang mulai melakukan pembatasan ekspor komoditas. Ini sedang dicermati untuk menentukan kebijakan yang tepat,” katanya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad menilai, meski bukan menjadi penyumbang inflasi utama saat ini, kenaikan harga sejumlah produk manufaktur akan ikut menggerus daya beli masyarakat, menahan laju permintaan domestik, dan dapat menahan laju pertumbuhan sektor manufaktur.
”Selain bahan baku yang langka dan naik harganya, risiko pelemahan nilai tukar yang saat ini mulai terjadi juga otomatis akan mendorong adanya kenaikan harga yang cukup dominan di produk-produk manufaktur yang bergantung pada komponen impor,” ujarnya.
Industri manufaktur yang pertumbuhannya melambat akan berdampak signifikan pada laju pertumbuhan ekonomi nasional dan daya tahan masyarakat dalam menghadapi inflasi mengingat sektor tersebut masih menjadi penyerap tenaga kerja terbanyak.
Saat ini, pelemahan sektor manufaktur mulai terlihat lewat upah pekerja di sektor pengolahan yang turun 0,94 persen dan berada di bawah rata-rata upah buruh nasional pada Februari 2022. ”Pelemahan sektor manufaktur dan penurunan upah riil di sektor tersebut akan semakin menggerus daya beli masyarakat, yang saat ini pun sudah mulai termakan oleh kenaikan inflasi,” ujar Tauhid.