Program Pengungkapan Sukarela menjadi salah satu instrumen untuk mendorong kepatuhan pajak dengan biaya efisien, tetapi memberikan kepastian stabilitas penerimaan negara secara berkelanjutan.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program Pengungkapan Sukarela yang berlangung enam bulan terakhir, mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2022, dijadikan pemerintah sebagai struktur tambahan untuk memperkuat fondasi perpajakan nasional. Data yang terkumpul dari program ini akan ditindaklanjuti oleh pemburuan aset para wajib pajak yang belum terlacak oleh otoritas.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, otoritas pajak saat ini tengah membangun sebuah mekanisme pajak dengan distorsi minimal dan manfaat maksimal. Program Pengungkapan Sukarela (PPS) menjadi salah satu instrumen untuk mendorong kepatuhan pajak dengan biaya efisien, tetapi memberikan kepastian stabilitas penerimaan negara secara berkelanjutan.
”Dalam tiga tahun terakhir perekonomian Indonesia diguncang oleh berbagai hal yang ada di luar kendali, tetapi memberikan pengaruh yang besar, di antaranya pandemi dan konflik geopolitik yang menciptakan inflasi karena kenaikan harga komoditas. Cara mengelola guncangan ini salah satunya melalui sistem perpajakan yang fleksibel,” ujarnya di Jakarta, Jumat (1/7/2022).
Pandemi dan konflik geopolitik menciptakan inflasi karena kenaikan harga komoditas. Cara mengelola guncangan ini salah satunya melalui sistem perpajakan yang fleksibel.
Terdapat dua skema pengungkapan sukarela. Pertama, pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program pengampunan pajak (tax amnesty) pada 2016. Sementara skema kedua berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh orang pribadi tahun pajak 2020.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat hingga hari terakhir pelaksanaan PPS, jumlah harta bersih yang dilaporkan dalam program ini mencapai Rp 594,82 triliun dengan pembayaran kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 61,07 triliun.
Nilai total deklarasi harta dalam program PPS jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan realisasi total deklarasi harta pada hari terakhir program pengampunan pajak 2016 sebesar Rp 4.855 triliun. Akan tetapi, data yang didapat sepanjang pelaksanaan PPS akan ditindaklanjuti untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak serta menggali potensi penerimaan negara.
”Tidak akan ada lagi program pengampunan pajak setelah PPS. Basis data yang kami himpun sepanjang PPS, dipadu dengan data dari lembaga keuangan domestik, dan otoritas pajak negara lain, akan digunakan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan menegakkan hukum secara konsisten,” kata Sri Mulyani.
Dari total harta yang sudah dilaporkan, lanjut Sri Mulyani, mayoritas merupakan deklarasi dalam negeri dan hasil repatriasi sebesar Rp 512,57 triliun. Sementara harta yang hanya dideklarasikan di luar negeri sebesar Rp 59,91 triliun dan harta yang diinvestasikan sebesar Rp 22,34 triliun.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, basis data pajak dan yang dimiliki pemerintah saat ini sudah jauh lebih lengkap dibandingkan sebelum pelaksanaan program pengampunan pajak. Sistem informasi yang dikelola otoritas pajak saat ini juga sudah jauh lebih matang sehingga pemburuan aset wajib pajak yang disembunyikan menjadi lebih mudah.
Suryo mengatakan, upaya pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan pajak tidak hanya menyasar para wajib pajak orang pribadi yang tergolong sebagai pelaku usaha. Tanggung jawab untuk memenuhi segala kewajiban perpajakan, baik dalam pembayaran maupun pelaporan secara akurat dan tepat waktu, perlu dimiliki semua wajib pajak demi terciptanya stabilitas penerimaan negara secara berkelanjutan.
”Seluruh data perpajakan yang kami miliki akan ditindaklanjuti untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus menggali potensi penerimaan negara,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, data yang dihimpun dari pelaksanaan PPS memang dapat digunakan oleh otoritas pajak dalam sistem inti administrasi perpajakan (core tax administration system) yang akan berlangsung pada tahun depan.
Sistem inti administrasi perpajakan adalah sistem teknologi informasi yang disediakan pemerintah sebagai dukungan terpadu bagi pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Pajak. Lewat sistem ini, berbagai proses bisnis, mulai dari pendaftaran wajib pajak, pemrosesan surat pemberitahuan dan dokumen perpajakan, hingga penagihan dan pembayaran pajak, akan diotomatisasi.
Meski begitu, Fajry mengingatkan bahwa terdapat masalah utama yang perlu diurai dalam upaya pemerintah meningkatkan kepatuhan perpajakan, yakni tingginya sektor informal yang menyebabkan perekonomian nasional terdistorsi ke bawah potensi riil.
”Masih banyak aktivitas ekonomi yang secara riil berperan pada jalannya roda perekonomian, tetapi tidak tercatat sehingga tidak berkontribusi pada penerimaan pajak,” ujarnya.