Peringkat Utang Stabil, Risiko Global Tetap Perlu Diwaspadai
Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan positif tahun ini, perkembangan situasi global yang menimbulkan risiko terjadinya resesi di Amerika Serikat mengganggu proses pemulihan ekonomi jangka panjang.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kemampuan membayar utang jangka panjang Indonesia masih dinilai baik. Meski demikian, pasar keuangan domestik tetap perlu memitigasi risiko potensi resesi Amerika Serikat. Demi menjaga sentimen positif keuangan negara saat ini, dibutuhkan komitmen pemerintah untuk merealisasikan pertumbuhan penerimaan negara secara berkelanjutan.
Lembaga pemeringkat yang berkantor pusat di London dan New York, Fitch Ratings, mempertahankan peringkat kemampuan membayar utang jangka panjang Indonesia, baik dalam denominasi rupiah maupun valuta asing. Peringkat BBB disematkan dengan outlook stabil. Peringkat BBB menunjukkan tingkat kelayakan investasi di pasar Indonesia masih tinggi.
Peringkat ini salah satunya disematkan berdasarkan proyeksi Fitch Ratings atas inflasi Indonesia yang cukup rendah di level 3,3 persen untuk tahun 2022. Tingkat inflasi itu terjaga meskipun dibayangi peningkatan tekanan fiskal akibat kenaikan belanja subsidi serta risiko pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dari perkiraan semula.
Selain itu, Fitch Ratings memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan mencapai 5,6 persen pada 2022 dan 5,8 persen pada 2023. Hal ini didorong oleh aktivitas ekonomi di sektor jasa yang mulai pulih setelah sempat terdampak pandemi Covid-19.
Fitch Ratings mempertahankan peringkat kemampuan membayar utang jangka panjang Indonesia, baik dalam denominasi rupiah maupun valuta asing. Peringkat BBB disematkan dengan outlook stabil.
Namun, di sisi lain, Fitch Ratings memproyeksikan beban subsidi Indonesia akan mengalami peningkatan mencapai 2,4 persen terhadap PDB. Ini merupakan implikasi dari upaya pemerintah dalam melindungi daya beli rumah tangga di tengah kenaikan harga komoditas global.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menilai, meski masih menilai tinggi tingkat kelayakan investasi di pasar Indonesia, Fitch Ratings tetap menyoroti besarnya subsidi energi yang digelontorkan pemerintah. Belanja subsidi dapat ditutup dengan peningkatan pendapatan negara karena tingginya harga komoditas, tetapi situasi ini hanya berlangsung dalam jangka pendek.
”Untuk menjaga, bahkan meningkatkan peringkat utang, pemerintah diharapkan berkomitmen tinggi terhadap pertumbuhan dan realisasi penerimaan negara secara berkelanjutan, dengan harapan indikator-indikator ekonomi bisa mendekati titik tengah negara-negara lain dengan peringkat yang lebih baik,” ujar Josua, Kamis (30/6/2022).
Secara umum, Fitch Ratings juga memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan sebesar 0,4 persen terhadap PDB pada tahun 2022, setelah mengalami surplus 0,3 persen dari PDB pada 2021. Defisit neraca transaksi berjalan tersebut, menurut Fitch Ratings, terjadi akibat harga bahan bakar bersubsidi tidak berubah sehingga permintaan bahan bakar relatif tetap.
Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan mengalami peningkatan di tahun ini, perkembangan situasi global yang menimbulkan risiko terjadinya resesi di Amerika Serikat (AS) mengganggu proses pemulihan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yang solid serta realisasi penerimaan negara yang lebih tinggi diperlukan untuk meredam risiko ini
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memaparkan, potensi resesi yang terjadi di AS akan berimbas pada keluarnya modal asing di pasar surat utang. Bank sentral AS, The Fed, berupaya menahan laju inflasi dengan menaikkan suku bunga. Hal ini berimbas pada selisih antara imbal hasil surat berharga negara (SBN) dan US Treasury di tenor yang sama semakin menyempit.
”Investor asing cenderung mengalihkan dana ke aset yang aman, memicu keluarnya aliran modal dari pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia,” ujarnya.
Di pasar valuta asing, nilai sejumlah mata uang Asia melemah terhadap dollar AS. Nilai tukar mata uang peso Filipina per 30 Juni 2022 anjlok ke level 55 peso Filipina per dollar AS, atau terendah sejak November 2005. Adapun nilai mata uang won Korea Selatan merosot ke level 1.301 won Korea per dollar AS, terendah sejak Juli 2009.
Sementara di pasar spot, nilai tukar rupiah per dollar AS secara konsisten menurun hingga ke kisaran Rp 15.000 per dollar AS. Padahal, pada pertengahan Oktober 2021 rupiah tercatat ada di posisi Rp 14.000 per dollar AS.
Pemangku kebijakan diharapkan telah melakukan uji stres terhadap perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan lain terkait dengan keluarnya modal asing, kenaikan suku bunga, hingga potensi dampak resesi di AS.
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, lanjut Bhima, dapat berimplikasi juga pada pembengkakan biaya bahan baku produksi terutama bagi industri yang bergantung pada bahan baku impor. ”Beban biaya produksi terutama bagi perusahaan yang bahan bakunya bergantung pada impor dapat berisiko melemahkan PMI manufaktur,” ujarnya.
Bhima berharap Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dapat segera mengantisipasi risiko gejolak pasar keuangan dalam jangka pendek. Pemangku kebijakan diharapkan telah melakukan uji stres terhadap perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan lain terkait dengan keluarnya modal asing, kenaikan suku bunga, hingga potensi dampak resesi di AS.
Sebelumnya dalam konferensi pers APBN Kita edisi Juni 2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, KSSK akan mewaspadai kebijakan The Fed mengingat pengetatan moneter pada bulan Juni di AS menjadi indikasi tren ini akan berlanjut di sepanjang tahun. ”Ini akan menjadi salah satu tren yang harus kita waspadai karena kebijakan moneter AS akan cenderung ketat,” kata Sri Mulyani.