Skema Jamsostek Belum Selaras dengan Kebutuhan Pekerja Migran
Skema Jamsostek yang tersedia tidak mampu melindungi PMI di negara penempatan, termasuk ketika PMI mengalami kecelakaan kerja, pelecehan seksual, atau kekerasan fisik. Mereka harus kembali ke Indonesia untuk berobat.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Skema perlindungan sosial bagi pekerja migran Indonesia atau PMI dinilai tidak relevan dengan kebutuhan. Manfaat Jaminan Sosial Ketenagakerjaan masih sulit diakses serta tidak mencakup layanan yang penting bagi PMI di negara penempatan, seperti perlindungan ketika jatuh sakit, mengalami kecelakaan kerja, atau kekerasan fisik.
Penelitian yang dilakukan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) selama November-Desember 2021 menunjukkan, dari total 9 juta PMI yang berpotensi menjadi peserta Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek), sebanyak 67,7 persen belum terlindungi BP Jamsostek dan 28,2 persen dinilai tidak memenuhi syarat (eligible) untuk menjadi peserta. Sampai sekarang tercatat hanya 4,1 persen atau 365.842 PMI yang terdaftar di BP Jamsostek.
Selain menyoroti derajat dan cakupan kepesertaan Jamsostek, kajian tersebut juga mendalami manfaat jaminan sosial yang diterima oleh para PMI di negara-negara penempatan, seperti Singapura, Hong Kong, Taiwan, Malaysia, Korea Selatan, Arab Saudi, dan Kanada.
Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Sugeng Bahagijo, selaku perwakilan peneliti kajian, Selasa (28/6/2022), mengatakan, kinerja cakupan kepesertaan Jamsostek bagi PMI memang cenderung berjalan di tempat dalam lima tahun terakhir.
Ada sejumlah faktor yang mendasari minimnya kepesertaan PMI di BP Jamsostek itu. Salah satu yang mengemuka adalah skema Jamsostek yang tidak relevan dan kurang bermanfaat bagi PMI di negara penempatan.
”Ada kecenderungan PMI tidak mau ikut Jamsostek kalaupun bisa, karena menunya kurang tepat. Dalam bahasa Jawa, sing tuku ora teko-teko, sing teko ora tuku-tuku. Yang diinginkan tidak ada, yang tidak diinginkan justru ditawarkan. Tidak kompatibel dengan kebutuhan,” kata Sugeng dalam paparan daring ”Hasil Kajian Efektivitas Penyelenggaraan Jaminan Sosial Terhadap PMI di Masa Pandemi Covid-19”.
Infrastruktur Jamsostek yang saat ini tersedia tidak mencakup manfaat dasar yang dapat diakses PMI di negara penempatan, termasuk layanan perawatan ketika terjadi kecelakaan kerja, pelecehan, atau kekerasan fisik. Hal itu kontras dengan lingkungan kerja PMI yang umumnya rawan eksploitasi serta tingginya kasus kekerasan dan pelecehan yang dialami PMI di negara penempatan.
Ia membandingkan skema manfaat Jamsostek untuk PMI yang saat ini tersedia di BP Jamsostek dengan skema konsorsium asuransi yang sebelumnya berlaku. ”Sistem yang dulu berlaku justru lebih responsif untuk melindungi PMI, ’menu’ manfaatnya lebih cocok. Sekarang ini banyak hal penting yang tidak di-cover,” kata Sugeng.
Skema Jamsostek yang saat ini tersedia tidak mencakup manfaat dasar yang dapat diakses PMI di negara penempatan, termasuk layanan perawatan ketika terjadi kecelakaan kerja, pelecehan, atau kekerasan fisik.
Perbandingan
Sebelumnya, konsorsium asuransi menanggung semua biaya pengobatan jika PMI jatuh sakit, baik karena kecelakaan kerja maupun tidak. Pengobatan bisa didapat ketika yang bersangkutan sakit di dalam negeri atau di luar negeri. Sementara dengan BP Jamsostek, biaya pengobatan hanya ditanggung jika PMI sakit karena kecelakaan kerja. Pengobatan pun harus dilakukan di dalam negeri.
Demikian pula jika PMI mengalami pelecehan seksual atau kekerasan fisik di negara penempatan. Konsorsium asuransi dulu menyediakan uang tunai Rp 50 juta bagi PMI serta jaminan berobat di dalam dan luar negeri. Namun, BP Jamsostek hanya menyediakan tanggungan biaya untuk berobat di dalam negeri, tanpa bantuan uang tunai.
BP Jamsostek juga tidak menanggung biaya pengganti dalam kondisi mendesak lainnya, seperti jika gaji tidak dibayar, PMI terlibat masalah hukum, atau PMI dipindahkan di luar perjanjian penempatan. Dalam skema Konsorsium Asuransi sebelumnya, biaya pengganti untuk kondisi-kondisi tersebut disediakan bagi PMI dalam besaran dan batasan tertentu.
”Regulasi harus diubah agar lebih responsif, demikian juga aplikasi, layanan akses manfaat, juga harus dibuat lebih terbuka untuk memudahkan PMI dalam mengajukan klaim perlindungan,” kata Sugeng.
Sedang direvisi
Direktur Kepesertaan BP Jamsostek Zainudin membenarkan, ada kendala regulasi dan problem institusi yang harus segera diatasi. Demikian juga dari sisi operasional, BP Jamsostek belum memiliki kantor layanan untuk menyelenggarakan Jamsostek di negara penempatan PMI.
Pemerintah saat ini sedang merevisi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia. Prosesnya kini sudah dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Menurut dia, beberapa isu mengenai cakupan manfaat bagi PMI sudah ditampung melalui revisi permenaker terbaru itu. Salah satunya memasukkan program Jaminan Hari Tua (JHT) menjadi komponen manfaat wajib bagi PMI, bukan hanya program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) seperti yang sekarang berlaku.
”BP Jamsostek hanya badan yang menjalankan produk sesuai regulasi. Kami sendiri siap untuk mendiskusikan ulang layanan manfaat yang dibutuhkan PMI. Ini mengapa regulasi harus cepat dibenahi,” kata Zainudin.
Terkait manfaat yang tidak bisa diakses PMI di luar negeri, hal itu masih terkendala batasan teritorial dan yurisdiksi yang berlaku dalam kesepakatan internasional. ”Sudah sejak lama BP Jamsostek ingin hadir di setiap kedutaan, tetapi ternyata ada konvensi yang tidak memungkinkan. Butuh terobosan untuk melompati sekat-sekat itu,” ujar Zainudin.
Subkoordinator Bidang Kepesertaan Jaminan Sosial Penerima Upah Kemenaker Nindya Putri menambahkan, beberapa poin perubahan dalam revisi Permenaker No 18/2018 adalah peningkatan besaran manfaat bagi PMI serta penambahan menu manfaat dari yang sebelumnya ada di konsorsium asuransi.
”Tetapi, kembali lagi, ini harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sebab, ada beberapa manfaat lama di konsorsium yang memang bukan termasuk dalam ranah jaminan sosial. Otomatis itu tidak bisa terakomodir,” katanya.