Kementerian Kominfo: Tak Ada Penundaan Tenggat Migrasi Siaran
Kementerian Komunikasi dan Informatika menegaskan tidak ada penundaan tenggat migrasi siaran analog ke digital terestrial. Sesuai amanat Undang-undang Cipta Kerja, batas waktu migrasi siaran adalah 2 November 2022.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bersikeras untuk tidak memundurkan tenggat migrasi siaran analog ke digital terestrial kendati berkembang usulan dari sejumlah lembaga penyiaran swasta penyelenggara multipleksing agar ada penambahan waktu. Sikap pemerintah ini diharapkan diikuti tindakan tegas berupa pengenaan sanksi apabila terjadi penundaan migrasi.
”Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, batas waktu migrasi siaran analog ke digital terestrial (analog switch off/ASO) adalah dua tahun setelah ditetapkan UU itu, yaitu 2 November 2022. Kami tunduk dan melaksanakannya. Kami mengupayakan komunikasi intensif dengan semua lembaga penyiaran, termasuk lembaga penyiaran swasta (LPS) penyelenggara multipleksing,” ujar Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Dedy Permadi di Kantor Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (27/6/2022) petang.
Terkait dengan opsi sanksi berupa pencabutan frekuensi, Dedy menyatakan, pihaknya belum membahas hal itu. Kementerian Kominfo mendorong agar tenggat ASO dijalankan sesuai dengan amanat UU.
Sementara terkait dengan isu LPS penyelenggara multipleksing meminta tambahan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) ikut membiayai subsidi alat bantu penerima siaran digital ke rumah tangga miskin, kata Dedy, sudah ada jatah 1 juta unit. Pengadaannya pun telah memakai dana APBN. ”Kami juga selalu memutakhirkan data calon rumah tangga penerima bantuan,” ujarnya.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Bobby Adhitiyo Rizaldi, saat dihubungi terpisah, Selasa, mengatakan, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Panitia Kerja Digitalisasi Penyiaran dengan penyelenggara multipleksing (teknik menggabungkan beberapa sinyal untuk dikirimkan secara bersamaan pada suatu kanal transmisi) akhir pekan lalu, LPS penyelenggara multipleksing menyampaikan dua usulan. Pertama, soal tambahan waktu penyaluran bantuan alat bantu penerima siaran digital ke rumah tangga miskin, serta kedua, soal tambahan waktu migrasi siaran.
”Kami menampung masukan -masukan LPS penyelenggara multipleksing itu. Kami menilainya, mereka bukan tidak setuju dengan ASO, tetapi minta tambahan waktu. Kami memutuskan terlebih dulu membicarakan hal ini dengan pemerintah (Kementerian Kominfo), termasuk apakah memungkinkan ada solusi lain sebab tenggat ASO merupakan amanat UU Cipta Kerja,” ujar Bobby.
Direktur PT Visi Media Asia Tbk (Viva) Neil R Tobing mengatakan, pihaknya mengusulkan perpanjangan waktu distribusi alat bantu penerima siaran digital kepada rumah tangga miskin melebihi 2 November 2022 atau tenggat ASO karena ada beberapa kendala penyaluran bantuan. Salah satunya adalah ketidakakuratan data rumah tangga miskin yang diberikan Kementerian Kominfo. Selain itu, selama pandemi Covid-19, pihaknya meyakini jumlah rumah tangga miskin yang berhak menerima bantuan meningkat.
Dari 150.000 unit alat penerima siaran digital yang jadi kesanggupan Viva, perusahaan telah melakukan pengadaan 60.000 unit. Menurut dia, 10.000 unit di antaranya telah tersalur dan terpasang di rumah penerima bantuan.
Sementara Director Corporate Secretary MNC Group Syafril Nasution mengatakan, pandemi memukul pendapatan industri televisi. Pada saat bersamaan, LPS harus membangun infrastruktur penyiaran digital dan bagi penyelenggara multipleksing harus mengadakan sampai mendistribusikan alat bantu penerima siaran digital. Pihaknya berharap ada perpanjangan waktu siaran televisi analog terestrial dan digital terestrial bersamaan atau simulcast.
”Kami masih menghitung dampak digitalisasi penyiaran terhadap kucuran investasi siaran analog yang telah kami lakukan sebelumnya wilayah-wilayah siaran yang ada. Ada kemungkinan di wilayah yang terlalui ASO, kami mesti melakukan ’lay off’ karyawan. Umumnya mereka adalah orang-orang lokal,” katanya.
Langgar undang-undang
Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, saat dihubungi terpisah berpendapat, jika terdapat penundaan tenggat ASO, ini berarti lembaga penyiaran melanggar UU Cipta Kerja. Pasal-pasal terkait migrasi penyiaran di UU itu juga menjadi tidak berlaku karena tidak terjadi perubahan sejak penetapan UU.
”Kewajiban memenuhi hak warga menerima siaran yang lebih baik. Kewajiban ini seharusnya dikedepankan oleh LPS penyelenggara multipleksing,” kata Hendri.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Darmanto berpendapat, jika pemerintah akhirnya tunduk pada tuntutan LPS penyelenggara multipleksing, hal itu akan menjadi preseden buruk. Dengan kata lain, pemerintah bisa dinilai memanjakan LPS dan kurang peduli terhadap nasib lembaga penyiaran publik (LPP) atau lembaga penyiaran komunitas (LPK).
Dia berharap pemerintah yang dalam hal ini Kementerian Kominfo bersikap tegas. Kementerian harus menegakkan Lampiran VII poin ke-17 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kominfo Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran. Dalam peraturan itu telah diatur jelas sanksi pengabaian ASO, yakni teguran tertulis, denda administrasi, penghentian sementara, dan pencabutan izin.