Impor Pangan Kala Pandemi Sebabkan Petani Kian Tertekan
Dengan potensi pangan yang tersebar, saat ini sebenarnya menjadi kesempatan untuk mengurangi impor. Bersama seluruh pemangku kepentingan, Badan Pangan Nasional pun mendesain ulang diversifikasi pangan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketergantungan impor pada sejumlah komoditas pangan dinilai menekan kesejahteraan para petani di Indonesia, terlebih di kala pandemi Covid-19 serta ancaman krisisi pangan. Selain masih adanya celah biaya transaksi, tingginya impor juga menunjukkan program diversifikasi pangan belum optimal. Perlu ada perubahan radikal dalam kebijakan pangan.
Hal itu mengemuka dalam bincang ”Bongkar Atas Bangun Bawah” dalam Festival Pangan Jujur di Galeri Salihara, Jakarta, Selasa (28/6/2022). Acara yang digelar Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) bersama Pannafoto Institute dan didukung Kurawal Foundation itu juga menyajikan pameran foto masalah pangan, dengan linimasa, sejak awal pandemi.
Koordinator KRKP Said Abdullah mengatakan, dari hasil kajian, masih ada celah biaya transaksi dalam impor pangan yang berpotensi merugikan berbagai pihak. Pada masyarakat umum, misalnya, pada impor daging sapi. Harga jual ke masyarakat yang diberlakukan akan mengikuti biaya produksi ditambah persen keuntungan yang diinginkan.
Sementara bagi peternak sapi ialah harga tertekan jika volume impor daging sapi tak memperhatikan masa panen sapi di peternak. Impor sapi yang terus naik juga menunjukkan indikasi program swasembada daging dalam negeri tak serius dijalankan. Program itu harusnya menyasar pada subyek daging sapi, yaitu peternak.
Bagi negara sendiri, belum baiknya tata kelola importasi membuat kerugian keuangan negara, yakni penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tidak tersetorkan. Marwah negara juga turun. Sementara bagi pelaku bisnis, adanya biaya transaksi berdampak pada pengurusan pemasukan daging yang tak lancar.
Selain daging, importasi juga, antara lain, terjadi pada komoditas kedelai dan bawang putih. Sementara di tengah situasi sulit, seperti pandemi Covid-19, serta dampak situasi global pada pangan membuat keran impor justru meningkat demi menekan gejolak harga. Sementara produsen dalam negeri, seperti petani dan peternak, justru kian tidak berdaya.
”Kondisi saat ini mesti jadi perhatian karena situasi sulit seperti ini bisa berulang ke depan. Maka, tidak bisa main-main lagi. Harus ada perubahan cukup radikal dalam paradigma pembangunannya (termasuk tata kelola pangan),” ujar Said.
Dalam kajian itu, antara lain, disebutkan, jika biaya transaksi dikalikan dengan volume impor daging yang masuk ke dalam negeri, total biaya transaksi dari tahun ke tahun mencapai ratusan miliar rupiah. Pada periode 2014-2020, estimasi biaya transaksi tertinggi pada 2019, yakni Rp 524,5 miliar, sedangkan terendah pada 2015 yang Rp 101,4 miliar.
Padahal, sejatinya Indonesia memiliki potensi besar lewat keanekaragaman pangan yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun, tak bisa lagi dengan pendekatan penyeragaman. Keragaman pangan di setiap daerah justru harus dihargai. Sayangnya, diversifikasi pangan yang sudah digaungkan lama belum berjalan optimal.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menuturkan, politik pangan saat ini cenderung prokonsumen, salah satunya untuk menjaga inflasi, yakni dengan tingginya importasi. Di sisi lain, kesejahteraan petani menjadi terabaikan. Hal itu, misalnya, pada impor daging sapi atau pengembangan gula rafinasi. Bahkan, terkait minyak sawit mentah (CPO), harga tandan buah segar petani justru anjlok.
Sinergi
Koordinator Kelompok Keamanan Pangan Badan Pangan Nasional Apriyanto mengemukakan, pihaknya tak menutup mata bahwa sejumlah komoditas memang masih bergantung pada impor, seperti kedelai dan bawang putih. Karena itu, Badan Pangan Nasional terus mengupayakan adanya sinergi rantai pangan dari hulu hingga hilir pada komoditas-komoditas utama.
”Badan Pangan Nasional juga tak hanya urus distribusi, tetapi kerawanan pangan. Setiap tahun kami merilis peta kerawanan pangan. Memang ada penurunan dari 88 kabupaten pada 2019 menjadi 74 pada 2020. Namun, pandemi Covid-19 serta konflik di tingkat global menjadi kewaspadaan kita bersama,” katanya.
Dengan potensi pangan yang tersebar, saat ini sebenarnya menjadi kesempatan untuk mengurangi impor. Bersama seluruh pemangku kepentingan, Badan Pangan Nasional pun mendesain ulang diversifikasi pangan. ”Namun, strateginya memang harus holistik, jangan sampai hanya di hulu, tetapi hiir tidak dapat (tempat). Off-taker (pembeli) mesti disiapkan,” ucapnya.