Pemerintah Bentuk Satgas, Penanganan PMK Diharapkan Lebih Optimal
Pemerintah membentuk Satuan Tugas Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang melibatkan sejumlah kementerian/lembaga guna mengefektifkan penanganan wabah PMK. Peternak berharap penanganan wabah lebih optimal.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, ABDULLAH FIKRI ASHRI, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tak hanya bertumpu pada Kementerian Pertanian, penanganan wabah penyakit mulut dan kuku atau PMK kini melibatkan kementerian/lembaga lain secara terintegrasi. Para peternak menyambut baik langkah itu sekaligus menunggu penjelasan lebih rinci terkait dengan mekanisme pelaksanaannya.
Penyebaran PMK dinilai cepat. Dari dua provinsi saat awal kasus ditemukan pada akhir April 2022, PMK kini telah menyebar ke 19 provinsi. Menurut data Siagapmk.id, Jumat (24/6/2022) pukul 20.00 WIB, total ada 253.722 ekor hewan yang dinyatakan sakit. Jumlah itu mencakup 1.420 mati, 2.342 dipotong bersyarat, 82.144 sembuh, dan 167.816 belum sembuh.
Dari 19 provinsi dan 216 kabupaten/kota yang telah tertular PMK, Jawa Timur dan Jawa Tengah menjadi dua provinsi dengan persentase jumlah kabupaten/kota terkonfirmasi tertinggi, yakni mencapai 100 persen. Setelah itu, ada Jawa Barat (93 persen), Kepulauan Bangka Belitung (86 persen), Sumatera Barat (84 persen), dan DI Yogyakarta (80 persen).
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto, dalam Rapat Koordinasi Penanganan Wabah PMK bersama perwakilan provinsi serta kabupaten/kota se-Indonesia, secara daring, Jumat mengatakan, PMK perlu ditangani secara khusus, serius, solid, dan terintegrasi.
”Presiden (Joko Widodo) sudah memerintahkan untuk membentuk Satuan Tugas Penanganan PMK. Ini terintegrasi baik dari unsur Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, maupun BNPB,” ujar Suharyanto.
Kepala BNPB ditunjuk sebagai Ketua Satgas Penanganan PMK. Dalam struktur yang diterima Kompas, Ketua Satgas Penanganan PMK akan dibantu lima wakil, antara lain akan diisi oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, dan Deputi III Kemenko Perekonomian.
Suharyanto meminta satgas serupa dibentuk di tingkat daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Daerah dengan jumlah kasus PMK tinggi umumnya sudah membentuk satgas. Namun, untuk daerah-daerah hijau atau belum ditemukan kasus tetap diminta untuk membentuk satgas guna meningkatkan kewaspadaan.
Penguncian wilayah
Dalam penanganan PMK, Presiden Joko Widodo meminta agar dilakukan kuncitara (lockdown) pada daerah merah. ”Jadi, lockdown tingkat kecamatan bagi provinsi yang 50 persen jumlah kecamatannya sudah terinfeksi. Saat ini ada 11 provinsi. Tidak boleh ada pergerakan hewan dari satu titik ke titik lain. Ini akan dibantu TNI dan Polri,” ujar Suharyanto.
Menurut dia, pendataan kasus PMK diarahkan untuk semakin mendekati waktu nyata (real time) sesuai dengan perkembangan di lapangan dengan mengacu pada model penanganan Covid-19. Penanganan PMK harus tegas karena berdampak perekonomian negara. Jangan sampai ekspor-impor serta mobilisasi orang dari dan ke luar negeri terganggu atau dilarang karena PMK.
Selain penguncian wilayah, upaya lain yang ditempuh pemerintah adalah memperluas jangkauan vaksinasi. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah menyebutkan, baru 800.000 dosis dari total 3 juta dosis vaksin PMK yang telah didatangkan Kementerian Pertanian dari Perancis. Adapun 2,2 juta dosis sisanya belum dapat diambil karena masih ada revisi anggaran.
Adapun jumlah sumber daya manusia (SDM) terlatih, yakni dokter hewan, paramedis veteriner, inseminator, dan petugas lainnya, berjumlah 23.000 orang di seluruh Indonesia. ”Masih perlu intervensi penambahan. Potensi yang ada saat ini ialah perguruan tinggi dengan melibatkan mahasiswa tingkat akhir fakultas kedokteran hewan atau fakultas peternakan,” kata Nasrullah.
Pembiayaan
Dalam rapat itu, perwakilan sejumlah daerah bertanya kepada pemerintah pusat, antara lain mengenai persediaan obat-obatan di daerah yang menipis, biaya operasionalisasi pelaksanaan vaksinasi pada ternak, hingga harapan kemudahan penggunaan dana darurat belanja tidak terduga (BTT) untuk penanganan PMK.
Suharyanto mengatakan, pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan sedang menyiapkan anggaran, termasuk untuk penggantian Rp 10 juta per ekor sebagai uang ganti sapi yang terpaksa dimusnahkan serta terkait dengan penyediaan vaksin. Khusus pemusnahan, ia meminta daerah betul-betul mendata dengan akurat.
Sementara terkait dengan penggunaan dana BTT, Suharyanto akan mengoordinasikannya dengan Kementerian Dalam Negeri. ”Sehingga nanti daerah tidak ragu-ragu lagi untuk menggunakan dana BTT untuk penanganan PMK,” kata Suharyanto merespons pertanyaan dari Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto.
Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kemendagri Edison Siagian menuturkan, saat ini draf instruksi Mendagri terbaru untuk penanganan PMK sudah siap. Sebelumnya telah terbit Instruksi Mendagri Nomor 31 Tahun 2022, tetapi baru untuk 18 provinsi, sedangkan saat ini sudah ada 19 provinsi yang terdapat PMK.
Namun, agar BTT bisa langsung dicairkan dengan cepat, diperlukan penetapan status kedaruratan. ”Itu sesuai Peraturan Mendagri Nomor 77 (Tahun 2020). Jadi, harus ada pernyataan itu. Kepala daerah harus mengacu ke situ agar dana darurat BTT bisa langsung digunakan,” kata Edison.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Robi Agustiar mengatakan, para peternak senang kendali penanganan PMK kini di bawah BNPB. Terlebih sudah ada perintah bagi kabupaten/kota yang membentuk satgas.
Sekretaris Koperasi Serba Usaha Karya Nugraha Jaya di Kuningan, Jawa Barat, Junen mengapresiasi langkah pemerintah menyiapkan ganti rugi senilai Rp 10 juta per sapi yang terpaksa dipotong karena terpapar PMK. Langkah itu diharapkan meringankan peternak yang terdampak.
Akan tetapi, menurut Ketua Umum Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan Aun Gunawan, nilai ganti rugi itu belum cukup untuk mengembalikan produktivitas ternak. Uang itu hanya bisa digunakan untuk membeli sapi dara atau muda yang membutuhkan waktu hingga lebih dari 1 tahun sebelum mulai produktif. Apalagi, para peternak kini juga kesulitan mencari sapi pengganti akibat PMK.