Cenderung Tabrak Lari, Kebijakan Industri Perlu Redefinisi
Arah kebijakan pengembangan industri di Tanah Air masih bersifat sporadis dan tabrak lari. Sudah saatnya Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) dievaluasi sesuai perubahan lanskap ekonomi pasca-Covid-19.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Strategi industrialisasi yang terencana dan relevan dibutuhkan untuk mendongkrak nilai tambah perekonomian nasional. Arah kebijakan pengembangan industri dalam negeri perlu didefinisikan ulang selaras dengan perubahan yang dibawa oleh dampak pandemi Covid-19 dan krisis rantai pasok dunia.
Sekilas, sejumlah indikator, seperti kinerja investasi dan ekspor terkini di sektor pengolahan dalam negeri, menunjukkan kondisi yang relatif baik. Pada triwulan I-2022, terjadi peningkatan investasi manufaktur sebesar 17,21 persen dari Rp 88,3 triliun pada triwulan I-2021 menjadi Rp 103,5 triliun.
Demikian juga ekspor industri pengolahan tumbuh 25 persen pada Januari-Mei 2022 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, dari Rp 995,2 triliun menjadi Rp 1.243,9 triliun.
Secara umum, pada awal tahun ini, ekspor industri manufaktur masih memberikan sumbangsih tertinggi hingga 72,83 persen pada struktur ekspor nasional. Sementara komposisi investasi di sektor manufaktur mencapai 36,7 persen dari total realisasi investasi. Dari segi besaran nilai, secara tahunan, investasi manufaktur di periode ini naik meski komposisinya menurun.
Namun, Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengingatkan, pemerintah tidak bisa hanya berpatok pada angka-angka statistik pertumbuhan industri, tanpa arah kebijakan pembangunan industri yang jelas.
Sayangnya, sampai sekarang belum tampak ada ancang-ancang untuk mengevaluasi Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 yang sebenarnya sudah usang karena ditetapkan tujuh tahun lalu lewat Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015, jauh sebelum era pandemi.
”Kita perlu meredefinisikan lagi arah pengembangan industri kita. Jangan melulu berpatok pada capaian target pertumbuhan industri sekian persen, tetapi kita tidak membicarakan ke depan ini Indonesia mau dipenuhi industri apa saja? Harus bertransformasi seperti apa? Bisa dikatakan, kebijakan pengembangan industri kita masih blur (kabur),” katanya, Jumat (24/6/2022).
Sampai sekarang, belum tampak ada ancang-ancang mengevaluasi Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 yang sebenarnya sudah usang karena ditetapkan tujuh tahun lalu, jauh sebelum era pandemi.
Apalagi, dua tahun terakhir, struktur rantai pasok dunia bergeser signifikan akibat imbas pandemi Covid-19 dan ketegangan geopolitik yang semakin tajam pascaperang Rusia-Ukraina. Menyusul gejolak itu, seharusnya ada evaluasi terhadap arah kebijakan pengembangan industri.
”Patut dipertanyakan, kenapa sampai sekarang belum ada tanda-tanda untuk mengevaluasi RIPIN sebagai benchmark pengembangan industri kita setelah pandemi,” ujar Andry.
Sporadis
Gencarnya pemerintah mendorong proyek hilirisasi industri di sektor pertambangan dan pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik cenderung masih bersifat sporadis, tidak terencana dengan sistematis.
Hilirisasi tambang, misalnya, bermula dari kesadaran Presiden bahwa Indonesia masih terlalu banyak mengekspor komoditas mentah sehingga perlu penambahan nilai tambah lewat hilirisasi.
”Pendekatannya lebih bersifat sporadis ketimbang terencana. (Hilirisasi) nikel, misalnya, karena investor melihat peluang untuk mengolah nikel menjadi produk akhir, seperti baterai litium NMC, maka pemerintah mendorong agar kegiatan industri ini berjalan baik,” ujarnya.
Idealnya, jika mau menjadikan industri sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, seharusnya sektor yang diprioritaskan adalah yang berkontribusi besar pada produk domestik bruto (PDB) nasional dan menciptakan banyak lapangan kerja, seperti industri makanan dan minuman serta tekstil.
Gencarnya pemerintah mendorong proyek hilirisasi industri di sektor pertambangan dan pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik cenderung masih bersifat sporadis.
”Atau, jika mau membuat industri pionir, riset dan pendanaan yang harus didorong. Jika mau mendorong alih teknologi dari sektor yang didominasi industri asing, kebijakannya disesuaikan. Nah, ini semua bergantung pada visi industri kita. Tetapi, visinya sendiri kita tidak ada,” ujar Andry.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Ketahanan dan Iklim Usaha Industri Kementerian Perindustrian Iken Retnowulan mengatakan, akselerasi pembangunan industri manufaktur untuk tahun ini masih akan menyesuaikan dengan jalur pemulihan pascapandemi. Upaya mendorong peningkatan nilai tambah perekonomian pascapandemi pun dilakukan lewat kebijakan pemanfaatan sumber daya alam, seperti hilirisasi industri dan program substitusi impor.
”Dengan berbekal pengalaman dan pelajaran yang diperoleh selama menghadapi pandemi, kami masih optimistis dengan pemulihan industri manufaktur,” ujarnya.
Sektor pengolahan yang menarik paling banyak investasi pascapandemi ini adalah industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya (Rp 39,67 triliun), industri makanan (Rp 19,56 triliun), industri kimia dan farmasi (Rp 16,91 triliun), industri kendaraan bermotor dan peralatan (Rp 8,16 triliun), serta industri kertas dan printing (Rp 3,83 triliun).
”Pemerintah terus proaktif menarik minat investor nasional dan global untuk menanamkan modal di Indonesia lewat menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi pelaku usaha,” kata Iken.