Pengembangan Kawasan Industri Didorong Lebih Merata
Perlu upaya yang lebih besar agar persebaran industri melalui pembangunan kawasan industri bisa lebih merata. Selama ini, pengembangan kawasan masih terpusat di Jawa sebagai pusat pasar dan pusat produksi.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran kawasan industri yang tersebar lebih merata di Jawa dan luar Jawa diharapkan bisa menarik lebih banyak investasi di sektor pengolahan nonmigas. Persebaran kawasan industri itu juga diharapkan bisa memperdalam struktur industri dalam negeri dan memperkuat rantai pasok.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), sampai Januari 2022, terdapat 135 kawasan industri dengan total luas lahan 65.532 hektar yang tersebar di Pulau Jawa, Kalimantan, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Sumatera. Dari 135 kawasan industri tersebut, 46 persen atau 30.464 hektar di antaranya sudah terisi oleh tenant industri.
Meski demikian, kawasan industri di Indonesia selama ini lebih banyak bertumbuh di kawasan Jawa. Per 2021, kawasan industri di Jawa masih mendominasi sebanyak 74 kawasan, Kalimantan (7 kawasan industri), Sulawesi (3 kawasan industri), Sumatera (36 kawasan industri), serta Maluku dan Papua (1 kawasan industri).
Saat ini, sejumlah proyek investasi besar yang terkait dengan hilirisasi produk tambang masih banyak terpusat di Jawa. Program pengembangan ekosistem industri baterai listrik, misalnya, terpusat di Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang di Jawa Tengah. Kawasan itu akan menjadi ”rumah” bagi sejumlah investor besar, seperti LG Energy Solution dan Hon Hai Precision Industri Co Ltd (Foxconn).
Direktur Perwilayahan Industri Kemenperin Adie Rochmanto Pandiangan, Kamis (23/6/2022), mengakui, perlu upaya yang lebih besar oleh pemerintah agar persebaran industri melalui pembangunan kawasan industri bisa lebih merata. Selama ini, pengembangan memang masih terpusat di Jawa sebagai pusat pasar dan pusat produksi dari hulu ke hilir.
”Dalam keadaan sekarang ini, perlu dibuat kebijakan, khususnya bagaimana agar pusat produksi tadi bisa dipecah,” ujarnya.
Untuk itu, diperlukan pembagian peran antara pengembangan industri di Jawa dan luar Jawa. Menurut Adie, kawasan industri luar Jawa sebagai pemasok sumber bahan baku bisa dikembangkan menjadi pusat produksi hulu hingga antara (intermediate). Sementara kawasan industri di Jawa berperan menerima bahan baku intermediate tersebut untuk diolah menjadi produk hilir.
”Artinya, akan ada pembagian peran antara Jawa dan luar Jawa. Dengan terjadinya hilirisasi di luar Jawa, itu bisa memberi nilai tambah dan menciptakan suatu ekosistem industri di luar Jawa,” kata Adie.
Akan ada pembagian peran antara Jawa dan luar Jawa. Dengan terjadinya hilirisasi di luar Jawa, itu bisa memberikan nilai tambah dan menciptakan suatu ekosistem industri di luar Jawa.
Pemerintah, ujarnya, perlu menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dengan menghadirkan kawasan industri terintegrasi hulu-hilir dan berkelanjutan. Berbagai nilai tambah, seperti insentif fiskal dan nonfiskal, juga bisa diberikan untuk menarik investasi yang lebih beragam dan memperdalam struktur industri secara komprehensif.
”Termasuk di dalamnya infrastruktur dan kedaulatan terhadap sumber bahan baku dibandingkan kawasan industri di Jawa,” ujarnya.
Ia mencontohkan Kawasan Industri Morowali yang telah menciptakan rantai nilai industri panjang dengan ekosistem yang lebih terintegrasi dan simbiosis antarindustri. ”Dampak investasi terhadap pajak nasional dan daerah, ribuan industri kecil menengah (IKM) di daerah, penciptaan lapangan kerja, dan produk domestik bruto (PDB) setempat bisa meningkat berkali-kali,” kata Adie.
Investasi meningkat
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), investasi industri pengolahan nonmigas terus bertumbuh dalam beberapa tahun terakhir, termasuk ketika pandemi Covid-19 melanda. Sebagai perbandingan, pada 2018, total investasi industri pengolahan nonmigas mencapai Rp 222,3 triliun, menurun pada 2019 menjadi Rp 215,9 triliun, tetapi meningkat pada 2020 menjadi Rp 272,9 triliun.
Tren itu terus berlanjut. Pada 2021, total investasi industri nonmigas mencapai Rp 325,4 triliun. Sementara pada triwulan I tahun 2022, terjadi peningkatan investasi manufaktur lagi sebesar 17,21 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pada triwulan I-2021, investasi di sektor pengolahan adalah Rp 88,3 triliun, meningkat menjadi Rp 103,5 triliun pada triwulan I-2022.
Pelaksana Tugas Direktur Ketahanan dan Iklim Usaha Industri Kemenperin Iken Retnowulan menambahkan, pendalaman struktur industri di beberapa sektor terus dikembangkan sehingga menjadi daya tarik bagi investasi di sektor pengolahan nonmigas. ”Struktur industri yang dalam itu bisa memastikan rantai pasok berjalan baik, apalagi jika terintegrasi dalam kawasan industri,” ujarnya.
Seiring dengan upaya mengintegrasikan struktur industri di dalam negeri itu, berbagai kebijakan dilakukan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif serta mendorong industri yang lebih bernilai tambah.
Di antaranya, pemberian insentif Pajak Penjualan Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) kendaraan bermotor bagi industri otomotif, insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk sektor properti.
Ada pula kebijakan izin operasional dan mobilitas kegiatan industri (IOMKI) yang memungkinkan industri tetap efektif beraktivitas dengan batasan tertentu meski di tengah pandemi, kebijakan hilirisasi industri, substitusi impor, dan peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN). ”Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk menjaga iklim investasi,” ucap Iken.