Di tengah meningkatnya ketidakpastian global, Bank Indonesia meyakini fundamental ekonomi Indonesia tetap baik. Hal ini yang mendorong BI tetap percaya diri mempertahankan tingkat suku bunga acuan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Bank Indonesia
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah ketidakpastian global yang dipicu perang Rusia dengan Ukraina, disrupsi rantai pasok global, hiper inflasi global, kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, serta normalisasi kebijakan moneter di berbagai negara, Bank Indonesia tetap percaya diri dengan mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 3,5 persen. Bank Indonesia melihat tidak ada urgensi yang mendesak untuk ikut menaikkan suku bunga acuan.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 22-23 Juni memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25 persen.
”Keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar, serta tetap mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah naiknya tekanan eksternal terkait dengan meningkatnya risiko stagflasi di beberapa negara,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam jumpa pers paparan hasil RDG Juni, Kamis (23/6/2022).
Kepercayaan diri BI juga ditegaskan oleh Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti. ”Ketidakpastian ekonomi global memang sedang meningkat. Namun, pertumbuhan ekonomi dalam negeri masih on the track,” ujar Destry.
Keputusan BI itu didasarkan pada beberapa indikator positif yang dicapai perekonomian Indonesia. Inflasi umum sebesar 0,4 persen pada Mei 2022, sebesar 3,55 persen secara tahunan, dan 2,56 persen secara kalender berjalan.
Meski terus mendaki, BI melihat inflasi umum itu lebih banyak didorong oleh penawaran (cost push inflation) ketimbang permintaan (demand pull inflation). Inflasi umum cenderung dipicu oleh harga barang bergejolak, harga diatur pemerintah, serta lonjakan harga komoditas dunia.
Hal itu juga terkonfirmasi dari angka inflasi inti yang justru turun menjadi 0,23 persen pada Mei 2022 dari sebelumnya 0,36 persen pada April 2022. Artinya, mesin ekonomi belum terlalu panas sehingga tidak perlu ditahan dengan kenaikan suku bunga acuan. Inflasi inti merupakan barometer yang mencerminkan tingkat permintaan dan daya beli masyarakat.
Perry menjelaskan, upaya pengendalian inflasi akan terus dilakukan dengan memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID). Sampai dengan akhir tahun, Perry mengatakan, inflasi diperkirakan 4,2 persen. Capaian ini sedikit di atas batas atas target inflasi pemerintah dan BI, yakni 4 persen.
Nilai tukar rupiah juga masih relatif stabil. Meski terdepresiasi dari kisaran Rp 14.300 per dollar AS pada awal tahun menjadi sekitar Rp 14.800 per dollar AS, itu tidak semerosot nilai tukar mata uang negara lainnya.
BI juga memiliki cadangan devisa yang cukup untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan. Sampai dengan Mei 2022, cadangan devisa mencapai 135,55 miliar dollar AS.
Arus modal keluar (capital outflow) dari Indonesia juga berhasil ditekan sehingga tak menimbulkan guncangan. Apalagi, porsi kepemilikan asing pada pasar Surat Berharga Negara (SBN) tak lagi signifikan. Mengutip data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, kepemilikan asing pada SBN per 22 Juni 2022 sebesar 16,32 persen dari total SBN.
Ketahanan dari gejolak eksternal juga diperkuat oleh surplus neraca perdagangan seiring dengan meningkatnya ekspor berkat tingginya harga komoditas dunia.
Di sisi lain, rezim bunga murah yang sudah berlangsung sejak Februari 2021 berhasil menggairahkan penyaluran kredit bank. Sampai dengan Mei 2022, pertumbuhan kredit perbankan mencapai 9,03 persen secara tahunan.
Pertumbuhan kredit tetap bergairah walaupun BI sudah mulai menormalisasi likuiditas dengan menaikkan giro wajib minimum (GWM) secara bertahap sejak 1 Maret 2022. Meski likuiditas di pasar telah terserap sebesar Rp 119 triliun oleh BI, tingkat penyaluran kredit oleh perbankan tetap terjaga.
Dengan berbagai indikator itu, Perry meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia 2022 akan berada pada kisaran 4,5 persen-5,3 persen.
Memanfaatkan ruang
Dihubungi terpisah, ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman, mengatakan, meski bank sentral AS telah menaikkan suku bunga dan diikuti oleh sejumlah bank sentral di berbagai negara, BI tidak perlu terburu-buru untuk ikut menaikkan suku bunga.
”BI tidak perlu terburu-buru ikut menaikkan suku bunga,” ujar Faisal.
Ia menilai, BI masih memiliki ruang untuk mempertahankan tingkat suku bunganya. Ini tecermin dari berbagai indikator, seperti inflasi yang terjaga, cadangan devisa yang tebal, nilai tukar yang relatif stabil, serta surplus neraca perdagangan.
Menurut dia, BI kemungkinan baru akan menaikkan suku bunga pada semester kedua dengan melihat perkembangan inflasi ke depan. Pihaknya memperkirakan inflasi sampai akhir tahun pada kisaran 4,6 persen. Adapun tingkat suku bunga acuan sampai akhir tahun diprediksi akan naik sebesar 75 basis poin menjadi 4,25 persen.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Uang rupiah
Senada dengan Faisal, analis makroekonomi Bank Danamon, Irman Faiz, berpendapat, BI tidak perlu terburu menaikkan tingkat suku bunga acuan lantaran berbagai indikator masih menunjukkan ada ruang untuk bertahan.
Sampai dengan akhir tahun, Irman memperkirakan inflasi akan mencapai 4,2 persen. Adapun tingkat suku bunga acuan BI diperkirakan mencapai 4,5 persen sampai akhir tahun seiring dengan kenaikan suku bunga bank sentral AS yang kian agresif.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teuku Riefky mengatakan, langkah BI mempertahankan suku bunga sudah tepat.
”Untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan harga sambil melanjutkan langkah-langkah makroprudensial yang akomodatif untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,” ujar Riefky.