Paradoks Bisnis Teknologi Digital
Usaha rintisan apa pun semestinya punya model bisnis berkelanjutan agar bertahan dan berkembang. Tak sekadar mengejar pasar atau ”membakar uang”, tapi terus berinovasi menawarkan solusi kebaruan dan menguasai hulu hilir.
Setengah tahun pertama 2022, kita merasa di tengah keyakinan bahwa teknologi digital kian tak terbendung, tetapi bercampur keraguan akan prospek bisnisnya. Perang Rusia-Ukraina, inflasi, dan ancaman resesi berdampak terhadap industri teknologi digital.
Perang Rusia-Ukraina berdampak banyak, termasuk terhadap pengembangan pasar dan investasi perusahaan teknologi, termasuk rintisan bidang teknologi (start up). Dari data Crunchbase, dalam tujuh tahun terakhir, investor strategis dan ventura di Rusia berpartisipasi dalam lebih dari 300 putaran pendanaan perusahaan rintisan berbasis di Amerika Serikat (AS).
Saat bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), menaikkan suku bunga, investor bakal rasional. Likuiditas jadi ketat. Akhir April 2022, mengutip The New York Times, enam perusahaan raksasa teknologi — Apple, Microsoft, Google, Amazon, Facebook, dan Netflix — secara kolektif kehilangan nilai pasar sekitar 2,2 triliun dollar AS.
Managing Partner Strategy and Transactions Ernst & Young Indonesia David Rimbo, pertengahan Mei 2022, mengatakan, harga saham teknologi, baik di tingkat global maupun di Indonesia, anjlok. Sejumlah start up yang melantai di pasar saham 2022 harga sahamnya sempat lebih rendah dari penawaran awal.
Kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) menyeruak. Di AS, sejumlah perusahaan teknologi merumahkan sebagian karyawan, seperti Uber dan RobinHood. Entitas lokapasar asal Singapura, Shopee, cabut dari Spanyol pada 17 Juni setelah cabut dari Perancis dan India, Maret 2022, lima bulan setelah membuka bisnis di kedua negara itu. Di Indonesia beredar kabar senada.
Beberapa start up Indonesia melakukan PHK atau terjadi pengunduran diri massal. Beberapa start up itu misalnya Fabelio (sejak awal 2021), TaniHub (Februari 2022), Zenius, Pahamify, Mobile Partner League (MPL), JD.ID, dan LinkAja. Per triwulan II-2022, sesuai data di laman agregator layoff.fyi, total terdapat 200 kasus PHK di start up di seluruh dunia dengan total 30.720 pekerja.
Padahal, satu dekade terakhir bisa dikatakan sebagai ”pesta” industri teknologi digital. Teknologi digital mencoba mendigitalkan aspek kehidupan warga, hampir tanpa gangguan. Percakapan transformasi digital berada di mana-mana, bahkan ketika pandemi Covid-19 mulai menyeruak.
Indonesia bahkan disebut-sebut memimpin pertambahan jumlah pengguna layanan digital terbesar di Asia Tenggara, sesuai riset Southeast Asia, The Home for Digital Transformation yang disusun Bain & Company didukung penuh Facebook Inc.
Salah satu alasan PHK di perusahaan teknologi adalah restrukturisasi. Hal ini karena pasar berubah sangat cepat, sedangkan banyak sekali start up memiliki segmen bisnis sangat spesifik.
Dosen Universitas Prasetiya Mulya, Muliadi Palesangi, berpendapat, salah satu alasan PHK di perusahaan teknologi adalah restrukturisasi. Hal ini karena pasar berubah sangat cepat, sedangkan banyak sekali start up memiliki segmen bisnis sangat spesifik. Oleh karena itu, dengan alasan atas nama ”pivot”, mereka melakukan restrukturisasi.
Model bisnis yang bersifat platform, seperti terjadi pada perusahaan teknologi besar dan start up, membuat akuisisi konsumen selalu diprioritaskan, tetapi mereka tidak mampu melakukan monetisasi. Sebagian start up, kelangsungan hidupnya didorong oleh pendanaan, bukan pendapatan. Hal ini membuat kelangsungannya menjadi tidak organik. Sementara di sisi lain, pendanaan dengan sistem seri itu selayaknya multilevel financing yang berharap lekas menghasilkan dari tahap selanjutnya.
Baca juga : Mobilitas Makin Longgar, Pertumbuhan E-Dagang Melambat
“Bisnis model startup berbeda dengan perusahaan konvensional. Sebagian hanya mampu create and deliver tanpa mampu mengkonversi itu menjadi pendapatan. Padahal, bisnis yang sehat seharusnya to create, deliver, dan capture value,” kata dia.
Fundamental bisnis
Meski demikian, Rully Setya Purnama, inisiator Digifish Network, jaringan usaha rintisan kelautan dan perikanan Indonesia, optimistis bahwa secara umum investasi pada usaha rintisan, khususnya perikanan berbasis digital, akan tetap berkembang. Masih ada peluang bisnis atau kolaborasi yang bisa digarap, sementara perusahaan permodalan bisa berpartner dengan jasa logistik dan pabrik pengolahan.
Akan tetapi, usaha rintisan apapun seharusnya punya model bisnis yang berkelanjutan agar bisa bertahan dan berkembang. “Fundamental bisnis harus diperkuat, tidak sekadar mengejar pasar bahkan sekadar “membakar “ uang untuk menggaet pembeli namun tidak berkelanjutan,” ujar dia.
Jika pada tahun 2020, jumlah usaha rintisan yang bergabung di Digifish Network mencapai 32 perusahaan, saat ini jumlah perusahaan yang masih eksis sekitar 20 perusahaan. Dari 20 perusahaan yang masih eksis itu, perusahaan yang aktif kurang dari 10 perusahaan. “Seleksi alam terjadi, sudah lewat 3 tahun, masa coba-coba sudah lewat. Bisnis model yang bagus akan didukung investor dan konsumen,” kata Rully.
Suasana lain yang sedang terjadi adalah rumor konsumen yang tetap menggunakan layanan digital akan berkurang setelah pelonggaran pembatasan sosial. Rumor ini menyebar secara global. Sepanjang triwulan I-2022, Amazon membukukan pelambatan pertumbuhan penjualan. Amazon juga mengatakan akan menarik kembali perluasan gudangnya, di mana beberapa bisnis sangat lambat sehingga perusahaan mengirim pekerja pulang lebih awal. Netflix pada triwulan pertama tahun ini kehilangan pelanggan untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad dalam diskusi daring Mengulik Aspek Ekonomi pada Tiga Isu Prioritas Kelompok Kerja Ekonomi Digital G20 di Jakarta, Jumat (10/6/2022), menyatakan, sektor informasi dan komunikasi yang di dalamnya termasuk telekomunikasi akan kembali tumbuh 6–7 persen tahun 2022, seperti sebelum pandemi Covid-19. Selama dua tahun pembatasan sosial (2020–2021), sektor itu tumbuh hingga sembilan persen.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) 2018–2020, Ignatius Untung, Senin (21/6/2022) menyampaikan, ada tiga kelompok konsumen layanan digital. Kelompok pertama yaitu warga yang sudah aktif menggunakan perangkat teknologi. Kelompok kedua adalah warga sudah mengadopsi digital, tetapi tetap nyaman dengan layanan luring. Terakhir, warga yang nyaman terbiasa luring.
Untuk kelompok kedua, perusahaan e-dagang biasanya suka memberikan diskon dan promo. Ketika insentif itu tinggi, konsumen di kelompok kedua aktif menggunakan layanan daring. Pada saat pembatasan sosial karena Covid-19 terjadi, kelompok kedua dan pertama cepat memanfaatkan layanan digital.
“Sementara kelompok warga ketiga adalah mereka yang akhirnya terpaksa menggunakan layanan digital karena pembatasan sosial ketat. Ketika pelonggaran pembatasan sosial terjadi, layanan luring kembali melimpah, maka mereka jadi punya opsi kembali menggunakan layanan luring,” kata Untung.
Agar semakin relevan dengan kebutuhan pelanggan, start up e-dagang dapat terus meningkatkan pengalaman berbelanja daring lewat pengembangan yang sarat akan solusi dan inovasi.
Bagi start up e-dagang, fenomena tersebut bisa berdampak dua hal. Mereka harus tetap ‘bakar uang’ demi menarik dan mempertahankan konsumen, terutama kelompok kedua dan ketiga. Jika opsi yang diambil, artinya mereka harus meminta uang investor lagi. Padahal, saat bersamaan, karena pengaruh makro ekonomi, investor memperketat kucuran investasi. Atau, opsi kedua adalah mengembangkan strategi bisnis yang berkelanjutan sehingga bisa menjaga loyalitas konsumen.
Pemerhati bisnis dan kewirausahaan, M Setiawan Kusmulyono berpendapat, agar semakin relevan dengan kebutuhan pelanggan, start up e-dagang dapat terus meningkatkan pengalaman berbelanja daring lewat pengembangan yang sarat akan solusi dan inovasi. Salah satunya melalui strategi omnichannel atau buka saluran penjualan luring dan daring sekaligus.
“Merespon tren e-groceries, quick commerce, dan proyeksi masa depan layanan perdagangan adalah omnichannel, strategi Blibli bisa dijadikan contoh. Blibli dengan BlibliMart hadir sebagai solusi yang integratif pasca akuisisi Ranch Market,” kata dia.
Dalam konteks bisnis platform teknologi, perusahaan yang paling mampu menawarkan solusi kebaruan dan menguasai hulu-hilir akan jadi pemenangnya. Dan tentunya, meski berwujud ‘platform teknologi’, mekanisme mengelola bisnis yang berkelanjutan akan tetap satu-satunya cara bertahan dari gempuran persaingan ataupun kondisi makro ekonomi.
Baca juga : GoTo Melantai Saat Kondisi Tidak Baik-baik Saja