Menteri Baru, Tantangan Lama
Peningkatan ketidakpuasan publik terkait kinerja pemerintah dalam mengendalikan harga barang kebutuhan pokok menjadi tantangan yang mesti diselesaikan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan.
Dengan bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju sebagai Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan dituntut menyelesaikan persoalan, antara lain harga kebutuhan pokok sekaligus menghadapi isu perdagangan luar negeri di Organisasi Perdagangan Dunia ataupun gangguan rantai pasok.
Tantangan yang harus diselesaikan oleh Zulkifli tidak ringan. Survei Kepemimpinan Nasional oleh Litbang Kompas memperlihatkan turunnya kepuasan masyarakat atas pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Kompas, 20/6/2022), terutama karena kinerja ekonomi.
Ketidakpuasan tertinggi ada pada kinerja bidang ekonomi, yaitu 50,5 persen. Bila dibedah lebih rinci, ketidakpuasan tertinggi mengenai pengendalian harga barang dan jasa dengan skor 64,5 persen.
Salah satu persoalannya adalah minyak goreng sawit (MGS) dalam negeri. Setidaknya sembilan kebijakan silih berganti selama Januari hingga Juni 2022 dalam upaya mengendalikan harga MGS yang naik di atas 50 persen.
Saat ini harga MGS curah yang menjadi sasaran penanganan harga oleh pemerintah belum mencapai harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter. Sementara pemerintah mengenakan bea keluar dan pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO), kewajiban memenuhi pasar dalam negeri (DMO) 20 persen bagi perusahaan sawit yang mengekspor dengan harga ditentukan (DPO), dan flush out.
Flush out adalah program yang dikeluarkan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut B Panjaitan untuk mempercepat penyaluran ekspor CPO dengan cara memberi kesempatan mengekspor kepada eksportir CPO yang tidak tergabung dalam program Subsidi Minyak Goreng Curah. Untuk itu, ada tambahan biaya 200 dollar AS per ton CPO.
Baca juga: Usaha Mikro Bakal Dapat Minyak Goreng Curah 10 Liter
Niat segera menggelontorkan CPO di tangki-tangki penyimpan perusahaan sawit yang menumpuk karena ada larangan ekspor pada 28 April-23 Mei 2022 berdampak pada harga tandan buah segar (TBS) petani. ”Peraturan bea keluar, pajak ekspor, lalu DMO, DPO, dan terakhir flush out semua ditransmisi ke petani. Mana mau pengusaha sawit dan pabrik kelapa sawit menanggung biaya itu,” kata Ketua DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung. Pada pertengahan Juni 2022, petani sawit di sejumlah daerah ramai-ramai membakar TBS-nya sebagai pelampiasan kekecewaan karena harga turun jauh di bawah harga sebelum larangan ekspor.
Kelangkaan pasokan global sejak pande mi Covid-19 awal 2020 dan invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022 menaikkan harga komoditas ekspor Indonesia, yaitu barang tambang, batubara, dan MGS.
Dari tingginya harga komoditas ekspor Indonesia, MGS paling memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat. Harga MGS curah dan kemasan yang semula di kisaran Rp 14.000 per liter mulai Agustus 2021 menjadi Rp 20.000 per liter di sejumlah wilayah Indonesia. Kementerian Perdagangan memberi alasan gangguan rantai pasok bahan baku minyak nabati menyebabkan kelangkaan di pasar dunia.
Anggota DPR RI dari Komisi VI, Muslim, dalam diskusi sekaligus halalbihalal Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (Pispi) di Jakarta, Minggu (19/6/2022), menyebutkan, Kementerian Perdagangan belum mengintervensi harga pada Agustus 2021 karena stok MGS sebesar 628.000 ton cukup untuk 1,5 bulan. Dirjen Perdagangan Dalam Negeri pada akhir tahun 2021 yakin harga MGS akan turun seusai perayaan Tahun Baru 2022.
Walakin, harga MGS tidak kunjung turun bahkan hilang dari pasaran. Situasi yang ironis mengingat Indonesia adalah penghasil terbesar dunia minyak sawit. Sampai hari ini harga MGS curah tidak kunjung memenuhi target HET Rp 14.000 per liter. Menurut situs Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, harga MGS curah nasional naik menjadi Rp 16.500 per liter pada 20 Juni 2022 dari Rp 16.200 per liter pada 17 Juni 2022 meskipun sudah turun dari awal tahun 2022 di kisaran Rp 20.000 per liter.
Selain pengendalian harga di tingkat konsumen, hal juga harus menjadi perhatian adalah harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani sawit, terutama petani swadaya yang mengusahakan 93 persen dari total 6,72 juta hektar luas kebun sawit rakyat/pekebun. Luas perkebunan sawit Indonesia, menurut Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), mencapai 16,38 juta hektar.
Harga TBS saat ini turun. Petani plasma mendapat jaminan harga mengikuti harga dari dinas perkebunan. Data Apkasindo memperlihatkan, terjadi selisih harga antara harga rerata TBS penetapan dinas perkebunan di 22 provinsi sebesar Rp 2.371 per kilogram (kg) dan harga di tingkat petani. Petani swadaya mendapat harga rerata Rp 1.593 per kg pada 16 Juni 2022 dan menjadi Rp 1.589 per kg dua hari sesudahnya. Harga TBS petani plasma berturut-turut Rp 2.086 per kg dan Rp 2.089 per kg.
Baca juga: Zulkifli Hasan Akui Tak Mudah Jaga Stabilitas Stok dan Harga Pangan
Sebelum ada larangan ekspor CPO dan produk turunannya, harga rerata TBS petani, menurut Gulat, adalah Rp 4.250 per kg. ”Pungutan setelah ekspor dibolehkan kembali dalam praktiknya bertambah, terlihat dari harga yang terbentuk dalam lelang di KPBN (PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara) seolah-olah semua pungutan itu wajib. Berbagai pungutan itu ditransfer ke harga TBS petani,” kata Gulat.
Akibat persepsi di atas, dalam perhitungan Apkasindo, pungutan biaya yang dibebankan kepada CPO ekspor menjadi 768 dollar AS per ton, terdiri dari bea ekspor 200 dollar AS, bea keluar 288 dollar AS, flush out 200 dollar AS, beban DMO dan DPO, serta biaya pengapalan 65 dollar AS. Apabila harga CPO di Rotterdam pada 17 Juni 2022 adalah 1.500 dollar AS per ton, lebih separuh untuk biaya pungutan dan pengapalan. ”Bagaimanapun upaya pemerintah mengangkat harga TBS petani sulit berhasil bila semua bea tidak mengikuti fluktuasi harga internasional dan masih ada persepsi tidak tepat mengenai komponen pungutan sawit,” kata Gulat.
Bagaimanapun upaya pemerintah mengangkat harga TBS petani sulit berhasil bila semua bea tidak mengikuti fluktuasi harga internasional.
Ombudsman RI menilai Kementerian Perdagangan lambat mengantisipasi dampak kenaikan harga tajam CPO global yang terjadi mulai September 2020. Harga CPO rata-rata naik dari 560 dollar AS per ton pada 2019 menjadi 1.063 dollar AS per ton pada 2021. Kementerian Perdagangan juga lambat membangun sistem distribusi MGS yang melibatkan semua pelaku pasar dari hulu hingga hilir di tingkat konsumen. Hal ini menyebabkan harga eceran tertinggi tidak pernah tercapai.
Komisioner Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dalam diskusi Pispi menggugat model bisnis perusahaan sawit. Ada banyak produk turunan sawit yang dapat diolah, dari buah, biji, sampai limbah yang dapat menjadi pengurang biaya produksi CPO. Kurangnya data dan sistem pemantauan yang andal menyebabkan kebijakan yang diambil tidak matang, salah satunya larangan ekspor.
Selain itu, ketika perusahaan sawit swasta semakin kuat, peran perkebunan milik negara (BUMN) terus menurun sehingga tidak terasa perannya dalam menjaga harga MGS. Ombudsman RI akan menerbitkan hasil investigasi mengenai industri sawit dan MGS pada 7 Juli 2022.
Bagi jutaan petani dan pekerja perkebunan sawit, harapan mereka adalah harga TBS dapat setara dengan harga CPO di pasar internasional di tengah mahalnya biaya sarana produksi, seperti pupuk dan tenaga kerja, kebutuhan meremajakan tanaman sawit, dan kebutuhan sehari-hari. Jangan sampai anak-anak petani sawit putus sekolah dan kuliah karena harga TBS tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga petani. Penyelesaian masalah MGS pasti harus lintas lembaga, tetapi perlu dukungan data dan audit seluruh sistem industri sawit secara independen.
Baca juga: Perdagangan Minyak Goreng