Kepatuhan Perusahaan Masih Rendah, Banyak Pekerja Belum Dilindungi Jamsostek
Untuk mendorong kepatuhan yang lebih tinggi serta mendorong hubungan industrial yang lebih adil dan kondusif, pemerintah akan mengambil langkah-langkah penguatan pengawasan ketenagakerjaan.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepatuhan perusahaan untuk mendaftarkan semua pekerjanya di program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sesuai kewajiban cenderung masih rendah. Peran pemerintah untuk mengawasi dan menegakkan aturan mesti dipertegas untuk memberikan efek jera pada perusahaan yang abai.
Pengawasan yang dilakukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) sampai Mei 2022 menunjukkan, dari total 63.257 perusahaan yang diawasi, 63 persen (40.144 perusahaan) di antaranya sudah memenuhi kewajiban pemenuhan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi para pekerjanya.
Kendati demikian, masih ada 29.133 perusahaan sisanya yang belum mematuhi kewajibannya. Bentuk ketidakpatuhan itu adalah perusahaan belum mendaftarkan pekerjanya ke program Jamsostek, perusahaan menunggak iuran, perusahaan hanya mendaftarkan sebagian tenaga kerja, perusahaan tidak melaporkan upah sebenarnya, dan perusahaan hanya mengikutkan pekerjanya di sebagian program Jamsostek saja.
Perusahaan skala besar dan menengah diwajibkan mendaftarkan pekerjanya di empat program Jamsostek, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP). Sementara untuk perusahaan skala mikro-kecil cukup mendaftarkan pekerjanya di tiga program Jamsostek di luar JP.
Direktur Utama BP Jamsostek Anggoro Eko Cahyo mengatakan, untuk mengatasi problem rendahnya cakupan kepesertaan BP Jamsostek, pihaknya melakukan pengawasan positif (pencegahan) dan penindakan terhadap perusahaan-perusahaan itu. Kerja sama lintas instansi juga dilakukan untuk menegakkan sanksi bagi perusahaan yang melanggar.
Sampai Mei 2022, ada 5.420 perusahaan yang kasus pelanggarannya diteruskan ke Kejaksaan dan tiga perusahaan yang mendapat sanksi pidana atas pelanggarannya.
”Sampai Mei 2022, kepatuhan perusahaan untuk membayar iuran sudah naik 17,15 persen, kepesertaan Jamsostek juga ikut naik,” katanya, Rabu (22/6/2022), dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Kementerian Ketenagkaerjaan, dan Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Masih lemah
Anggota Komisi IX DPR, I Ketut Kariyasa Adnyana, menilai, kondisi cakupan kepesertaan Jamsostek yang rendah dan iklim hubungan industrial yang kurang kondusif menunjukkan masih lemahnya regulasi dan sanksi yang dikeluarkan masing-masing lembaga dalam melakukan pengawasan.
Sampai Mei 2022, kepatuhan perusahaan untuk membayar iuran sudah naik 17,15 persen, kepesertaan Jamsostek juga ikut naik.
”Selama pandemi, persoalan ketenagakerjaan tidak banyak diungkap. Kesannya normal-normal saja, tetapi kami yakin dengan adanya regulasi dan penegakan sanksi yang tidak sinkron antarlembaga, masalah sebenarnya pasti jauh lebih banyak,” katanya.
Menurut dia, selama ini berbagai ketentuan sanksi bagi perusahaan pelanggar, dari sanksi administratif sampai pidana, hanya sebatas garang di atas kertas, tetapi tidak benar-benar bernyali dalam implementasinya. Pemerintah pun diharapkan memperkuat aspek pengawasan itu agar lebih memberikan efek jera.
”UU memandatkan semua pekerja wajib mengikuti BP Jamsostek. Sanksinya jika tidak dipenuhi pun berat, sampai penjara dan denda tinggi. Tetapi, selama ini tidak dilaksanakan karena kenyataannya kepesertaan masih kecil,” ujarnya.
Direktur Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, perusahaan kerap melakukan pelanggaran dari dua aspek, yaitu upah dan status kepesertaan pekerja. Dari segi cakupan kepesertaan, ia menyoroti jumlah peserta JKK dan JKM yang menyentuh 20 juta, sementara jumlah peserta JHT hanya 16,2 juta. ”Tandanya, perusahaan masih pilih-pilih program, belum memenuhi kewajiban sebagaimana seharusnya,” katanya.
Pelanggaran lain yang sering terjadi adalah terkait upah pekerja yang didaftarkan di Jamsostek. Menurut dia, perusahaan kerap menutupi besaran upah pekerja yang sebenarnya agar tidak perlu membayar iuran bulanan yang lebih mahal.
Perusahaan kerap menutupi besaran upah pekerja yang sebenarnya agar tidak perlu membayar iuran bulanan yang lebih mahal.
Belakangan, BP Jamsostek sedang gencar meminta perusahaan melakukan Wajib Lapor Ketenagakerjaan (WLKP) dan menyertakan surat pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh 21) pekerjanya. Data upah yang tercantum di SPT PPh 21 itu dibutuhkan sebagai acuan mengecek besaran upah pekerja yang sebenarnya dengan yang didaftarkan di Jamsostek.
”Langkah itu perlu diapresiasi agar terdeteksi perusahaan mana yang menutup-nutupi besaran upah yang sesungguhnya,” katanya.
Dikuatkan
Untuk mendorong kepatuhan yang lebih tinggi, pemerintah akan mengambil langkah-langkah penguatan pengawasan ketenagakerjaan. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, Kemenaker meminta pemerintah provinsi untuk membentuk unit pelaksana teknis di daerah pengawasan ketenagakerjaan dengan mempertimbangkan beban kerja pengawasan.
Khususnya dalam konteks pengawasan penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) dan pengawasan hubungan industrial. ”Penguatan pengawasan ketenagakerjaan ini akan menambah kepesertaan Jamsostek,” katanya.
Seiring dengan itu, program bimbingan teknis daring dan luring kepada seluruh pengawas ketenagakerjaan di daerah juga digencarkan. Demikian pula diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) secara rutin mengenai penerapan norma-norma ketenagakerjaan di perusahaan.
Ida menyadari saat ini ada ketimpangan antara jumlah pengawas yang terbatas dan jumlah obyek pengawasan yang banyak. ”Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama dengan kementerian/lembaga lain, serikat pekerja, asosiasi pengusaha, dan kelompok masyarakat sipil untuk meningkatkan kepatuhan terhadap norma ketenagakerjaan,” ujarnya.