Di Tengah Ketidakpastian Global, Ekonomi Indonesia Diprediksi Tumbuh Lebih dari 5 Persen
Ketidakpastian global meningkat seiring ketegangan geopolitik Rusia dengan Ukraina, disrupsi rantai pasok global, dan hiperinflasi di berbagai negara. Namun, ekonomi Indonesia diprediksi tumbuh di atas 5 persen.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketegangan geopolitik Rusia dengan Ukraina yang memicu disrupsi rantai pasok global menyebabkan inflasi di berbagai negara. Hal itu kian meningkatkan ketidakpastian global di sektor perekonomian. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi masih bisa tumbuh lebih dari 5 persen tahun ini.
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menjelaskan, di tengah berbagai ketidakpastian global yang meningkat, sejatinya fundamental perekonomian Indonesia dalam kondisi baik. Hal ini salah satunya ditunjukkan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2022 yang mencapai 5,01 persen.
Selain itu, lanjut Asmoro, pihaknya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir tahun ini bisa mencapai 5,17 persen. Pertumbuhan ini ditopang oleh aktivitas dan konsumsi masyarakat yang makin menggeliat seiring makin terkendalinya kasus Covid-19. Pulihnya berbagai sektor ekonomi juga akan menciptakan ekspansi usaha sehingga memicu kebutuhan modal kerja dan menaikkan penyaluran kredit yang membuat dunia usaha bergairah.
”Fundamental Indonesia masih dalam kondisi baik sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai lebih dari 5 persen tahun ini,” ujar Asmoro pada acara ”Road to Economic Recovery and New Investment Trend” yang diselenggarakan secara hibrida, Selasa (21/6/2022).
Kendati demikian, Asmoro menjelaskan, untuk mencapai hal itu, ada persyaratan yang harus diambil oleh pemangku kepentingan ekonomi di Indonesia, yakni pengendalian inflasi. Ia menjelaskan, kenaikan inflasi bisa menggerus daya beli masyarakat sebab inflasi didorong bukan dari permintaan, melainkan oleh pasokan.
Asmoro berharap pemerintah mengantisipasi kenaikan inflasi yang berasal dari importasi barang dan jasa (imported inflation). Membaiknya konsumsi masyarakat juga berarti meningkatkan kebutuhan impor, padahal harga barang dari luar negeri sudah naik. Inflasi yang berasal dari impor bisa bertransformasi menjadi inflasi di dalam negeri.
Selain itu, Asmoro juga meminta pemerintah tidak lagi menambah kenaikan inflasi lewat pengaturan harga barang (administred price), seperti mengatur kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik.
”Kuncinya adalah menjaga inflasi dari imported inflation dan menahan kembalinya administred price. Ditambah pandemi yang menurun statusnya menjadi endemi, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas 5 persen tahun ini,” kata Asmoro.
Staf Khusus Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Kementerian Keuangan Masyita Crystallin menambahkan, pihaknya optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melanjutkan kinerja positifnya di tahun ini. Menurut dia, kondisi inflasi saat ini masih sesuai dengan target inflasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 yang berada di kisaran 2-4 persen.
”Kita lihat bersama saat pandemi, perekonomian Indonesia tidak terpuruk cukup dalam, tetapi pemulihan juga tidak langsung melonjak sekali. Kita ini moderat saja, tetapi memberi kestabilan,” ucap Masyita.
Komoditas energi
Masyita dan Asmoro sama-sama berpendapat, kondisi perekonomian Indonesia hari ini terbantu dengan adanya lonjakan harga komoditas energi di pasar dunia. Hal ini meningkatkan kinerja ekspor sehingga mampu menciptakan surplus neraca perdagangan Indonesia.
Masyita menjelaskan, surplus neraca perdagangan memberikan tambahan devisa sehingga memperkuat cadangan devisa dan membantu mempercepat mengecilnya defisit APBN yang diharapkan bisa kembali di bawah 3 persen pada 2023.
Selain itu, hasil ekspor komoditas energi juga memberikan tambahan ruang fiskal sehingga pemerintah bisa memberikan subsidi ke sektor energi untuk mencegah inflasi dan menjaga stabilitas harga.
Asmoro memperkirakan tingginya harga komoditas masih akan berlangsung hingga 1-2 tahun ke depan. Sebab, pasokan komoditas belum akan memenuhi permintaan dalam waktu dekat yang berujung pada harga komoditas masih akan tetap tinggi. Hal ini bisa dimanfaatkan Indonesia untuk memberikan ruang kebijakan ekonomi yang lebih lega, baik dari sisi fiskal maupun moneter.
Sementara itu, menurut Supervisory Board Member of Chartered Financial Analyst (CFA) Society Indonesia Demitrius Ari Pitojo, kondisi ketegangan geopolitik dunia yang membuat disrupsi rantai pasok global justru malah sedikit banyak memberi berkah tak disangka bagi Indonesia. Saat ini, dunia sedang membutuhkan komoditas energi dan pangan. Di sisi lain, Indonesia bisa memenuhi kebutuhan itu.
”Saya memilih untuk berpikir positif karena, di balik semua kejadian di dunia, Indonesia dalam posisi paling diuntungkan. Komoditas menjadi sangat penting dan kita bisa memasoknya (untuk kebutuhan pasar dunia),” ujar Ari.