Pembiayaan Campuran Jawaban untuk Pembangunan Berkelanjutan
Jika diimplementasikan dengan tepat, skema keuangan campuran dapat mengatasi persoalan ketimpangan penyaluran pembiayaan berkelanjutan di tingkat global.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Persoalan keterbatasan anggaran yang dimiliki negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan diyakini dapat terurai melalui skema pembiayaan campuran. Namun, di sisi lain, masih terdapat permasalahan ketimpangan penyaluran pembiayaan di tingkat global.
Peningkatan peran lembaga internasional dan lembaga filantropi yang dipadu dengan komitmen pemerintah diperlukan guna mengatasi ketimpangan pembiayaan ini. Untuk itu, Presidensi G20 Indonesia punya pekerjaan rumah untuk mengorkestrasi para pemangku kepentingan dan kebijakan sehingga mobilisasi pendanaan untuk pembangunan berkelanjutan dapat merata.
Guru Besar Universitas Indonesia sekaligus co-chair dari salah satu kelompok keterlibatan (engagement group) G20, yakni Think 20 (T20), Bambang Brodjonegoro, menegaskan, jika diimplementasikan dengan tepat, skema keuangan campuran dapat mengatasi persoalan ketimpangan penyaluran pembiayaan berkelanjutan di tingkat global.
Pembiayaan campuran adalah skema pembiayaan yang mengombinasikan dana pemerintah, dana lembaga pembangunan internasional, serta dana lembaga filantropi untuk menarik dan memobilisasi keikutsertaan swasta dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.
Menurut defisini Kementerian Keuangan, blended financing atau pembiayaan campuran adalah skema pembiayaan yang mengombinasikan dana pemerintah, dana lembaga pembangunan internasional, serta dana lembaga filantropi untuk menarik dan memobilisasi keikutsertaan swasta dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.
”Skema ini bertujuan memobilisasi arus modal swasta kepada proyek-proyek pembangunan berkelanjutan, dengan tetap memberikan pengembalian finansial,” ujarnya saat menjadi pembicara dalam forum bertajuk ”G20 Impact Day: Partner Consultation” di Nusa Dua, Badung, Bali, Senin (20/6/2022).
Turut hadir dalam forum ini perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) serta lembaga-lembaga investasi dengan pendekatan untuk mencari dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan secara berkelanjutan, seperti Asian Venture Philantrophy Network (AVPN), The Global Steering Group for Impact Investment (GSG), International Renewable Energy Agency (IRENA), Impact Investing Institute, dan Ford Foundation.
Mengutip Sustainable Development Report 2021 yang diterbitkan pada Juni 2021, indeks pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) Indonesia tercatat merangkak naik ke peringkat ke-97 di antara 165 negara anggota PBB. Ini merupakan peringkat tertinggi Indonesia sejak turut serta dalam penyusunan laporan nasional SDGs pada tahun 2017.
Perbaikan peringkat Indonesia berpotensi diperoleh dari kemunduran progres SDGs negara lain yang memang menjadi tren selama masa pandemi Covid-19. Oleh karena itu, lanjut Bambang, penyempurnaan implementasi pembiayaan campuran yang tepat secara global dapat membantu negara-negara berkembang mengatasi ketertinggalan capaian pembangunan berkelanjutan.
Bambang menekankan, untuk mendukung penyempurnaan pembiayaan campuran terdapat peran penting dari dua lembaga multilateral, yakni Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sayangnya, program-program pembangunan berkelanjutan dari kedua lembaga ini belum tersinkronisasi dengan optimal.
Berdasarkan pengalaman Bambang sebagai Kepala Bappenas, PBB punya rumusan pembiayaan untuk berbagai sektor dengan tujuan utama untuk kebutuhan pembangunan yang tidak mengharapkan pengembalian modal. Sayangnya, PBB kerap kesulitan untuk mempromosikan program mereka sehingga dampaknya minim terhadap pemerataan pembiayaan global.
Di sisi lain, lanjutnya, Bank Dunia sangat memahami kondisi sektor keuangan di setiap negara di dunia sehingga pembiayaan yang mereka salurkan ke negara berkembang kerap diiringi juga oleh investasi dari sektor swasta. Namun, menurut Bambang, Bank Dunia kurang memperhatikan sektor usaha mikro yang sebenarnya menjadi tulang punggung ekonomi negara berkembang.
”Di sinilah G20 berperan untuk mengeluarkan komunike kesepakatan yang bisa membuat Bank Dunia dan PBB dapat bekerja sama menjadi orkestrator untuk penyempurnaan implementasi skema keuangan campuran,” ujarnya.
Investasi berdampak
Skema pembiayaan campuran sangat erat kaitannya dengan model investasi berdampak (impact investment). Salah satu sumber dana dalam pembiayaan campuran berasal dari investor atau lembaga investasi dengan model investasi berdampak yang penekanannya tidak sekadar mencari keuntungan, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan secara berkelanjutan.
Chief Market Development Officer GSG Krisztina Tora memaparkan terdapat tiga pilar utama untuk membangun ekosistem investasi berdampak yang akan turut menumbuhkan implementasi pembiayaan campuran. Ketiga pilar tersebut adalah permintaan, intermediasi, dan pasokan investasi berdampak.
Permintaan akan instrumen ini bergantung pada ketersediaan daftar proyek berkelanjutan yang siap untuk dibiayai sesuai kerangka hukum yang berlaku. Sementara intermediasi atau penghubung merupakan lembaga publik ataupun swasta yang dibentuk untuk mengumpulkan dana investasi berdampak dari berbagai sumber. Adapun pasokan investasi bergantung pada pertumbuhan investor berdampak, baik institusi maupun konsesioner, yang mempunyai modal dan bersifat jangka panjang.
”Dari ketiga pilar tersebut, pemangku kebijakan di negara berkembang perlu fokus untuk memperkuat pilar permintaan dan intermediasi, dengan membentuk lembaga yang mempunyai akses ke berbagai sumber pembiayaan serta menyiapkan proyek yang tidak hanya berdampak bagi masyarakat dan lingkungan, tetapi juga bankable,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Vivi Yulaswati mengimbau kepada para pihak swasta yang mau terlibat dalam skema pembiayaan campuran untuk tidak berorientasi pada insentif yang akan didapat dari pemerintah jika turut berkolaborasi dalam skema pembiayaan campuran.
”Semua pihak pasti menginginkan insentif serta keuntungan investasi. Namun, sebelum bicara soal insentif, semua pemangku kepentingan perlu memperjelas kontribusi kita terhadap pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.