Mayoritas Pekerja Rumah Tangga Tidak Mendapat Perlindungan Sosial
Mayoritas pekerja domestik dipekerjakan secara informal tanpa kontrak tertulis, yang membuat mereka luput dari perlindungan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan atau Jamsostek. Pengesahan RUU Perlindungan PRT menjadi krusial.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat, mayoritas pekerja rumah tangga atau PRT belum mendapatkan perlindungan sosial yang komprehensif. Terlepas dari kontribusi vital mereka terhadap kehidupan masyarakat, pekerja domestik yang sebagian besarnya dipekerjakan secara informal itu masih bekerja dalam lingkungan kerja yang rentan.
Hal tersebut tercantum dalam laporan terbaru yang dirilis ILO pada Jumat (18/6/2022) bertepatan dengan Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Internasional yang diperingati setiap 16 Juni.
Laporan bertajuk ”Making the Right to Social Security a Reality for Domestic Workers” itu mencatat, hanya 6 persen PRT di seluruh dunia yang memiliki akses ke program perlindungan sosial yang komprehensif. Sebanyak 94 persen sisanya kekurangan akses ke berbagai program perlindungan, seperti tunjangan perawatan medis, sakit, pengangguran, usia tua, kecelakaan kerja, keluarga, bersalin, cacat, dan ahli waris.
Berhubung 76,2 persen PRT atau sebanyak 57,7 juta orang adalah perempuan, minimnya jaminan perlindungan sosial itu semakin menambah kerentanan yang dihadapi perempuan buruh serta mempertajam problem ketimpangan jender (gender gap) di lingkungan kerja.
PRT yang sebagian besar dipekerjakan tanpa hubungan kerja resmi atau secara informal juga membuat mereka semakin tak tersentuh program perlindungan sosial. Di Indonesia, mayoritas pekerja domestik dikecualikan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena statusnya sebagai pekerja informal.
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mencatat bahwa mayoritas pekerja domestik dipekerjakan tanpa kontrak tertulis, yang membuat majikan atau pemberi kerjanya ”terbebas” dari kewajiban mendaftarkan pekerjanya di program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek).
Survei yang dilakukan Jala PRT di enam kota terhadap 4.296 orang PRT pada tahun 2019 menunjukkan, 89 persen di antaranya tidak mendapatkan jaminan kesehatan sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI). Sementara, 99 persen PRT sama sekali tidak memiliki Jamsostek.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PPRT) pun sampai sekarang masih menjadi isu yang disoroti kelompok buruh. Sebab, sudah 18 tahun RUU tersebut bergulir di DPR dan berulang kali dimasukkan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tetapi sampai hari ini tak kunjung dibahas dan disahkan.
Survei yang dilakukan Jala PRT di enam kota terhadap 4.296 orang PRT pada tahun 2019 menunjukkan, 89 persen di antaranya tidak mendapatkan jaminan kesehatan sebagai peserta penerima bantuan iuran.
Koordinator Nasional Jala PRT Lita Anggraini, Sabtu (18/62022), mengatakan, pembahasan dan pengesahan RUU PPRT menjadi krusial sebagai landasan hukum perlindungan bagi para PRT. Salah satu akar persoalan yang membuat posisi PRT selama ini rentan adalah karena mereka tidak dianggap sebagai pekerja formal yang dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan.
”Oleh karena itu, kami terus mendesak agar RUU PPRT ini segera disahkan. UU ini harus menjamin bahwa para PRT juga termasuk sebagai pekerja yang harus di-cover oleh jaminan kesehatan dan Jamsostek, minimal jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), dan jaminan hari tua (JHT),” kata Lita.
Lita mengatakan, kehadiran UU itu penting untuk mengakui peran vital PRT sebagai penopang perekonomian negara. ”PRT ikut menopang perekonomian negara karena kehadiran mereka memperlancar dan mempermulus aktivitas ekonomi orang lain. Namun, justru mereka yang paling dikecualikan,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menilai, seharusnya PRT bisa dimasukkan dalam kategori pekerja formal. Sebab, tiga unsur dalam hubungan kerja, yaitu adanya upah, perintah, dan pekerjaan, sudah terpenuhi. Oleh karena itu, ia pun menilai, perlu ada payung hukum yang memperjelas status para PRT.
Terkait dilema seputar ketidakmampuan pemberi kerja atau majikan di sektor domestik untuk mempekerjakan PRT sesuai standar hak normatif pekerja yang saat ini berlaku, Timboel menilai, hal tersebut sebenarnya bisa disesuaikan. Misalnya, upah bagi PRT dapat disesuaikan seperti standar upah minimum yang berlaku bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
”Artinya, tetap ada aturan upah minimum yang berlaku, tetapi untuk pemberi kerja atau majikan yang tidak mampu bisa mengikuti standar UMKM. Setidaknya, hak normatif harus terjamin dulu, itu yang paling mendasar,” katanya.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mendesak agar RUU PPRT segera dibahas dan disahkan. Ia pun membandingkan status RUU PPRT dengan produk legislasi lain yang bisa cepat dibahas oleh DPR dan pemerintah, seperti UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
”Giliran RUU PPRT untuk melindungi pekerja miskin dan rentan, meski sudah lebih dari 17 tahun, tidak kunjung disahkan. Namun, giliran omnibus law UU Cipta Kerja yang untuk kepentingan pengusaha bisa dikebut seperti kejar tayang,” kata Said.