Indonesia Tegaskan Sistem Penempatan Satu Kanal Tak Bisa Dikompromikan
Masih banyak persiapan yang harus dilakukan pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk memastikan MOU perlindungan pekerja domestik benar-benar dijalankan, khususnya dalam hal penerapan sistem penempatan satu kanal.
Oleh
AGNES THEDOORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi nota kesepahaman perlindungan pekerja migran domestik antara Indonesia dan Malaysia akan diuji tahun ini seiring dibukanya kembali penempatan pekerja migran Indonesia ke negeri jiran itu. Untuk menjamin perlindungan pekerja migran, Pemerintah Indonesia menegaskan, implementasi sistem penempatan satu kanal (one channel system) tak bisa dikompromikan.
Mengutip data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), sepanjang 1 Januari-13 Juni 2022, Indonesia telah menempatkan 643 calon pekerja migran Indonesia ke Malaysia melalui skema penempatan antarpemerintah (government to government/G to G), sektor swasta (private to private/P to P), maupun jalur perserorangan.
Jumlah penempatan itu secara khusus meningkat setelah Pemerintah Indonesia dan Malaysia meneken nota kesepahaman (MOU) tentang penempatan dan perlindungan pekerja migran sektor domestik pada 1 April 2022.
Sejak MOU itu ditandatangani, jumlah pengiriman calon pekerja migran ke Malaysia meningkat dari 46 orang pada April 2022, menjadi 257 orang pada Mei 2022 dan 255 orang per 13 Juni 2022. Secara umum, penempatan paling banyak adalah untuk mengisi posisi pekerjaan domestik seperti pembantu rumah tangga (PRT) dan pengasuh. Meski demikian, jumlah tersebut masih terhitung sedikit jika dibandingkan dengan pengiriman calon pekerja ke negara lain pada kurun waktu yang sama.
Menurut Duta Besar RI untuk Malaysia Hermono, Kamis (16/6/2022), masih banyak persiapan yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk memastikan MOU perlindungan pekerja domestik tersebut benar-benar dijalankan, khususnya dalam hal penerapan sistem penempatan satu kanal.
Menurut rencana, sistem itu akan mengintegrasikan aplikasi daring SIAPKerja milik Indonesia dan aplikasi daring Foreign Workers Centralized Management System (FWCMS) milik Malaysia. Untuk menjamin penempatan prosedural dan perlindungan PMI, sistem itu akan menjadi satu-satunya kanal resmi untuk merekrut dan mempekerjakan PMI domestik.
”Kami sudah menyampaikan bahwa one channel system tak bisa lagi dikompromikan. Persoalannya tidak hanya bisa atau tidak bisa, tetapi mau atau tidak. Ini sangat tergantung komitmen dan kesediaan dari kedua negara,” kata Hermono dalam webinar Dialog Kebijakan Sosial Menuju Tata Kelola Penempatan Pekerja Migran yang Berkelanjutan.
Kami sudah menyampaikan bahwa one channel system tak bisa lagi dikompromikan. Persoalannya tidak hanya bisa atau tidak bisa, tetapi mau atau tidak.
Pasalnya, dua bulan setelah MOU disepakati dan penempatan dibuka, celah pemberangkatan PMI secara nonprosedural dan tak berdokumen (undocumented migrant workers) masih ditemukan. Dua pekan lalu, misalnya, pengiriman 143 calon pekerja dari Lombok ke Malaysia terpaksa dibatalkan karena dokumen visa yang dikantongi bukan visa kerja, melainkan pelancong.
Maid Online
Hermono menilai, Indonesia dan Malaysia sama-sama belum memiliki komitmen kuat untuk menjalankan penempatan secara prosedural. Di Indonesia, masih banyak pihak yang melakukan pengiriman dan membiarkan terjadinya pengiriman pekerja secara nonprosedural. Di Malaysia, masih banyak majikan dan pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja tak berdokumen.
Hermono juga menyoroti sistem agensi Maid Online, sistem perekrutan PRT daring milik badan imigrasi Malaysia, yang memiliki rekam jejak bermasalah karena memperlakukan calon PRT dengan buruk selama perekrutan dan melakukan penempatan secara nonprosedural atau tanpa dokumen resmi. Sampai sekarang, sistem tersebut masih berlaku. Padahal, sesuai kesepakatan di MOU, sistem tersebut seharusnya ditiadakan.
Ia menyayangkan masih berjalannya kebijakan yang tidak selaras dengan isi komitmen yang sudah disepakati pada April lalu. ”Itu sistem yang menempatkan pekerja migran domestik dalam posisi sangat riskan, karena kita tidak tahu kondisi mereka, kita tidak tahu siapa majikan mereka begitu sampai di sana, bagaimana kontraknya, dan lain-lain,” ujar Hermono.
Senada, mantan Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia YB Kulasegaran menyoroti masih minimnya komitmen dari Pemerintah Malaysia untuk memperbaiki tata kelola penempatan dan perlindungan pekerja migran. Menurut dia, sudah banyak kajian dan kebijakan spesifik yang menyoroti perlunya reformasi tata kelola penempatan pekerja migran, tetapi sampai sekarang tak kunjung diimplementasikan.
Ia mencontohkan, pemerintah sebenarnya telah mengembangkan teknologi dalam sistem manajemen pekerja migran untuk mengetahui status seorang pekerja migran. Sistem tersebut dapat mempermudah proses identifikasi dan penegakan hukum terhadap majikan atau pemberi kerja yang mempekerjakan seseorang secara ilegal, tanpa dokumen kontrak kerja dan jaminan hak-hak ketenagakerjaan yang layak.
”Warga bisa pergi ke kafe atau rumah makan, mengeluarkan handphone, mengambil foto orang yang bekerja di sana, dan dalam waktu 10-15 menit, bisa diketahui apakah orang tersebut bekerja secara legal atau ilegal. Sampai sekarang, fitur itu belum diimplementasikan, padahal teknologinya sudah dikembangkan sejak 5-10 tahun yang lalu,” katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Suhartono mengatakan, pemerintah Indonesia dan Malaysia saat ini masih memproses persiapan penempatan pekerja migran Indonesia melalui sistem penempatan satu kanal.
Proses pengintegrasian sistem kedua negara tersebut membutuhkan waktu yang tidak sebentar. ”Integrasi sistem sedang dilakukan, setiap negara juga masih melakukan perbaikan dan pengembangan sistem agar proses penempatan nanti bisa lebih efisien,” ujarnya.