Bauran Kebijakan Diperlukan untuk Redam Lonjakan Inflasi
Kebijakan pengendalian harga-harga dari sisi moneter perlu dukungan kebijakan pengelolaan anggaran serta diplomasi ekonomi.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Menteri Keuangan Sri Mulyani seusai rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (8/6/2022). Rapat ini membahas pengambilan keputusan mengenai asumsi dasar dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN 2023. Rapat ini juga dihadiri Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Nasional Suharso Monoarfa, Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo, Kepala BPS Margo Yuwono, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso. Sri Mulyani dalam rapat ini menyatakan bahwa ekonomi pada 2023 optimistis tumbuh meski dibayang-bayangi inflasi.
JAKARTA, KOMPAS — Bauran kebijakan dalam mengendalikan inflasi diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Kebijakan pengendalian harga dari sisi moneter memerlukan dukungan kebijakan pengelolaan keuangan negara yang tepat sasaran.
Di sisi lain, upaya menahan lonjakan inflasi sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi perlu dukungan ongkos pembiayaan murah sehingga produktivitas ekonomi bisa meningkat. Tujuan ini bisa diraih melalui diplomasi ekonomi dalam kerja sama global.
Hal tersebut menjadi benang merah dalam seminar yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) bertajuk ”Mengelola Inflasi untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi” yang dipantau secara daring dari Jakarta, Rabu (15/6/2022).
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat menyampaikan pidato kunci memaparkan, dari sisi kebijakan moneter, upaya menyerap likuiditas berlebih untuk mengendalikan inflasi dilakukan melalui percepatan tahapan kenaikan giro wajib minimum (GWM).
Terhitung sejak 1 Juni 2022 BI meningkatkan kewajiban minimum GWM rupiah untuk Bank Umum Konvensional (BUK) dari sebelumnya 5 persen menjadi 6 persen. Selanjutnya, BI akan kembali meningkatkan GWM mulai 1 Juli 2022 menjadi 7,5 persen dan mulai 1 September 2022 menjadi 9 persen.
”Dengan inflasi yang masih terkendali, BI tidak harus menaikkan suku bunga,” ujarnya. Suku bunga acuan Bank Indonesia yang saat ini ada di level rendah, yakni 3,5 persen, dinilai masih diperlukan untuk menopang pemulihan ekonomi di sektor riil.
Perry menambahkan, inflasi dapat terkendali karena dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), salah satunya dalam bentuk subsidi dan kompensasi energi. Penambahan anggaran ini sebesar Rp 349,9 triliun membuat harga bahan bakar minyak jenis Pertalite dan gas elpiji tiga kilogram tidak naik.
”Karena harga energi tidak naik, inflasi domestik juga masih terjaga,” ujarnya.
Perry mengatakan, inflasi diperkirakan bakal melandai pada tahun depan, sekalipun Indeks Harga Konsumen (IHK) pada akhir tahun ini diperkirakan 4,2 persen, melampaui target maksimal sebesar 4 persen.
Meskipun meleset dari perkiraan, Perry menegaskan inflasi inti dan ekspektasi inflasi masih bisa terkendali dalam kisaran 2-4 persen.
Pendiri sekaligus ekonom senior Indef, Didik J Rachbini, menyampaikan kerja sama global dalam mengendalikan inflasi menjadi penting karena pengelolaan beban utang perlu dilakukan, terutama setelah adanya tren peningkatan suku bunga global.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Remaja menggendong anak balita sembari mengamen mengenakan baju badut berkelana di jalan di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, di tengah arus kemacetan lalu lintas pada jam pulang kerja, Kamis (7/4/2022). Kemiskinan membawa anak-anak turun ke jalan mencari tambahan penghasilan untuk menopang hidup mereka sehari-hari.
”Kita perlu mengenali faktor-faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi, utamanya lonjakan inflasi. Pasalnya, inflasi menggerus pendapatan rakyat. Memiskinkan rakyat lapisan terbawah,” ujarnya.
Didik menambahkan, tren lonjakan harga yang melanda dunia saat ini utamanya disebabkan oleh konflik bersenjata antara Ukraina-Rusia. Ia berharap peningkatan kerja sama diplomasi ekonomi bisa dilakukan Pemerintah Indonesia karena kerja sama global dalam pengendalian inflasi menjadi hal yang penting.
”Indonesia bisa meningkatkan kerja sama global dalam diplomasi ekonomi untuk mengatasi stagflasi karena peningkatan produktivitas ekonomi memerlukan ongkos pembiayaan yang murah,” ujarnya.
Didik mengingatkan bahwa peningkatan suku bunga sama artinya dengan kenaikan biaya pembiayaan yang dapat menghambat investasi. Kenaikan suku bunga akan menyebabkan biaya investasi yang ditimbulkan menjadi besar.
”Hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan juga pemulihan ekonomi pasca-pandemi,” ucapnya.
Analis Kebijakan Keuangan dan Pembangunan Senior The Third World Network, Bhumika Muchhala, mengatakan, pemangku kebijakan negara-negara berkembang perlu memitigasi aliran dana keluar akibat tren suku bunga tinggi global melalui penguatan komitmen multilateral dan bilateral.
Salah satu komitmen multilateral penting yang akan menyokong kebutuhan likuiditas negara-negara dengan pendapatan menengah ke bawah adalah komitmen hak penarikan khusus (special drawing rights/SDR) yang menjadi pembahasan dalam forum G20 tahun ini. SDR berperan sebagai suntikan bantuan dana cadangan untuk negara miskin yang membutuhkan.