Penempatan Dibuka Kembali, Perlindungan Pekerja Migran Masih Bermasalah
Pengiriman kembali PMI tahun ini dilakukan tanpa dasar hukum perlindungan pekerja yang kuat. Masih ada sejumlah nota kesepahaman dengan negara penempatan yang sudah habis masa berlaku dan belum diperbarui.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah kembali membuka penempatan pekerja migran setelah dua tahun sebelumnya ditutup karena pandemi. Walakin, para calon pekerja masih diberangkatkan tanpa dasar hukum perlindungan yang kuat. Ada beberapa negara yang belum memiliki kesepakatan perlindungan pekerja dengan Indonesia, ada pula yang dasar hukumnya habis masa berlaku dan belum diperbarui.
Berdasarkan data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), pada periode 1 Januari-13 Juni 2022, Indonesia sudah mengirim sebanyak 52.025 orang pekerja migran Indonesia (PMI) ke 66 negara. Pengaturan penempatan kembali PMI tersebut diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Nomor 3/111/PK.02.01/IV/2022.
Pengiriman terbanyak adalah ke Hongkong (21.633 orang), Taiwan (14.716 orang), Singapura (2.608 orang), Korea Selatan (2.512 orang), Jepang (2.461 orang), Saudi Arabia (1.712 orang), Italia (1.353 orang), Turki (1.009 orang), Polandia (765 orang), dan Malaysia (643 orang).
Adapun pekerjaan yang paling banyak ditempati adalah asisten rumah tangga (21.842 orang), pekerja formal (8.760 orang), pengasuh atau caregiver (4.281 orang), operator (2.751 orang), pekerja domestik (2.429 orang), dan terapis pijat/spa (1.189 orang). Mereka diberangkatkan dengan skema antarpemerintah (government to government/G to G)) maupun antarswasta (private to private/P to P).
Kepala BP2MI Benny K Ramdhani mengatakan, tahun ini menjadi “tahun penempatan” bagi para calon PMI, khususnya bagi mereka yang sebelumnya tidak bisa berangkat bekerja ke luar negeri karena pandemi. “Meski Covid-19 memang belum resmi dinyatakan endemi, kita punya harapan di tengah situasi Covid-19 yang semakin melandai,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (14/6/2022).
Peluang penempatan kembali calon PMI ke luar negeri sekaligus diharapkan menjadi solusi atas angka pengangguran nasional yang masih tinggi, jumlah angkatan kerja yang terus bertambah, dan lowongan kerja yang masih terbatas di dalam negeri. Terlebih, di tengah permintaan akan pekerja migran asal Indonesia yang sedang meningkat karena krisis kelangkaan tenaga kerja di sejumlah negara saat ini.
Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2021, kendati mulai menurun, tingkat pengangguran terbuka (TPT) belum kembali ke kondisi sebelum pandemi. Jumlah pengangguran tercatat sebanyak 9,1 juta orang, masih di atas kondisi pengangguran pada tahun 2019 yaitu 7,1 juta orang.
Meski demikian, pengiriman kembali PMI tahun ini dilakukan tanpa dasar hukum perlindungan pekerja yang kuat. Menurut Benny, sampai sekarang, masih ada sejumlah nota kesepahaman (memorandum of understanding/MOU) dengan negara penempatan yang sudah habis masa berlaku dan belum diperbarui.
Sampai sekarang, masih ada sejumlah nota kesepahaman ( memorandum of understanding/MOU) dengan negara penempatan yang sudah habis masa berlaku dan belum diperbarui.
Selain itu, ada pula MOU yang pada praktiknya tidak bisa berlaku dan tidak lagi mengikat karena payung hukum undang-undangnya masih mengacu ke Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri. Seperti diketahui, UU tersebut sudah direvisi menjadi UU No 18/2017 tentang Perlindungan PMI.
Bahkan, ada beberapa negara yang sama sekali belum memiliki MOU perlindungan pekerja dengan Indonesia, tetapi selama ini pengiriman PMI terus berjalan. “Seharusnya, ini menjadi tahun evaluasi, karena ada banyak MOU yang sudah tidak relevan lagi sesuai kebutuhan zaman, dinamika di lapangan, termasuk kebijakan dan aturan ketenagakerjaan. Hal-hal itu harus direvisi,” ujar Benny.
Ia mencontohkan, pengiriman pekerja sektor perkebunan ke Malaysia, yang mayoritas terserap di industri pengolahan sawit, yang masih mengacu pada MOU tahun 2004 antara Indonesia dan Malaysia. UU tersebut, ujarnya, masih mengacu pada UU lama dan kurang kuat untuk mendorong perlindungan bagi buruh sawit migran yang selama ini kerap mengalami eksploitasi.
“Contoh lain adanya penempatan ke Singapura. Selama ini, kita tidak pernah punya MOU perlindungan pekerja sama sekali dengan Singapura, tetapi penempatan PMI jalan terus,” katanya.
Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyoroti minimnya kepesertaan pekerja migran di program jaminan sosial ketenagakerjaan (Jamsostek). Kepesertaan yang minim itu membuat mereka bekerja tanpa jaminan sosial dan perlindungan. Menurut data BP Jamsostek, PMI yang menjadi peserta aktif Jamsostek per 31 Desember 2021 adalah 235.834 orang, tetapi menurun menjadi 210.041 orang pada 31 Maret 2022.
Meskipun beberapa PMI menyudahi kepesertaan karena sudah dipulangkan, tetapi melihat jumlah PMI selama lima bulan terakhir ini yang bertambah, Timboel menilai, seharusnya jumlah kepesertaan PMI pun bertambah. “Kepesertaan Jamsostek turun, padahal tahun ini terjadi peningkatan jumlah PMI yang dikirim. Mereka itu harus dipastikan sudah menjadi peserta Jamsostek,” ujar Timboel.
Menurut dia, upaya penguatan perlindungan terhadap PMI, baik dari segi pembaruan MOU, peningkatan kepesertaan jamsostek, dan perangkat kebijakan lainnya, seharusnya sudah dibereskan selama dua tahun terakhir, mumpung Indonesia tidak membuka pintu penempatan.
“Seharusnya hal-hal ini sudah dibereskan dari kemarin, supaya sekarang ketika penempatan PMI kembali dibuka, perlindungannya sudah lebih kuat,” katanya.
Penandatanganan MOU antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia terkait perlindungan pekerja migran di sektor domestik patut diapresiasi. Namun, ia mengingatkan, masih banyak MOU perlindungan lainnya yang menjadi pekerjaan rumah dan harus segera dibereskan seiring dengan kembali dibukanya penempatan PMI tersebut.
“Penempatan PMI memang jangan ditunda lagi, karena lapangan kerja saat ini dibutuhkan, tetapi dengan adanya demand yang tinggi terhadap pekerja migran kita sekarang, pemerintah seharusnya punya bargaining yang tinggi untuk segera mendorong penuntasan MOU-MOU tersebut,” tutur dia.