Kenaikan Tarif Listrik Dinilai Tidak Berdampak Signifikan terhadap Inflasi dan Daya Beli
Keputusan hanya menaikkan tarif listrik pelanggan nonsubsidi rumah tangga dengan daya 3.500 VA ke atas dan segmen pemerintah diklaim Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tidak akan berdampak signifikan ke inflasi.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memutuskan kenaikan tarif listrik hanya berlaku bagi pelanggan golongan nonsubsidi rumah tangga dengan daya mulai 3.500 Volt-ampere (VA) ke atas dan golongan pemerintah. Keputusan ini berlaku mulai 1 Juli 2022.
Golongan pelanggan nonsubsidi rumah tangga dengan daya 3.500–5.500 VA (R2) dan rumah tangga dengan daya 6.600 VA ke atas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan bahwa tarifnya dinaikkan 17,64 persen atau dari Rp 1.444,70/kiloWatt jam (kWh) menjadi Rp 1.699,53/kWh. Keputusan ini menyebabkan pelanggan R2 harus membayar kenaikan rekening rata-rata Rp 111.000 per bulan dan pelanggan R3 sebesar Rp 346.000 per bulan.
Untuk golongan pelanggan nonsubsidi pemerintah P1 dengan daya 6.600 VA — 200 kVA dan P3, Kementerian ESDM menetapkan bahwa tarifnya naik 17,64 persen atau dari Rp 1.444,70/kWh menjadi Rp 1.699,53/kWh. Maka, golongan pelanggan P1 harus membayar kenaikan rata-rata Rp 978.000 per bulan dan P3 sebesar Rp 271.000 per bulan.
“Kami telah berkoordinasi lintas kementerian/lembaga sebelumnya. Keputusan menaikkan tarif kelima golongan pelanggan nonsubsidi itu hanya akan berdampak kepada inflasi triwulan III-2022 sebesar 0,019 persen. (Inflasi) Hampir tidak terasa dan daya beli masyarakat masih bisa terjaga,” ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana saat konferensi pers secara híbrida, Senin (13/6/2022), di Jakarta.
Pelanggan layanan listrik nonsubsidi sebenarnya terdiri dari 13 golongan. Total pelanggannya per April 2022 mencapai 44.762.643 juta atau 53,8 persen dari keseluruhan pelanggan PLN yang sebanyak 82.641.474 pelanggan.
Nilai besaran kompensasi pemerintah kepada pelanggan layanan listrik nonsubsidi tersebut per April 2022 mencapai sekitar Rp 62,82 triliun. Distribusi kompensasi terbesar adalah untuk pelanggan sektor industri (sekitar Rp 31,95 triliun), diikuti rumah tangga (Rp 18,95 triliun), bisnis (Rp 10,84 triliun), serta pemerintah dan layanan khusus (Rp 1,08 triliun).
Rida menyampaikan, dengan adanya penyesuaian tarif listrik golongan pelanggan nonsubsidi R2, R3, P1, P2, dan P3, negara menghemat kompensasi Rp 3,09 triliun. Jumlah ini 4,9 persen dari keseluruhan kompensasi yang harus dikeluarkan pemerintah tahun 2022.
Menurut dia, ada faktor yang melatarbelakangi diambilnya keputusan tersebut. Faktor yang dia maksud adalah perubahan indikator asumsi makro selama Februari — April 2022. Pertama, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menjadi Rp 14.356, padahal asumsi awal Rp 14.350. Kedua, harga minyak mentah Indonesia (ICP) telah naik menjadi 104 dollar AS per barel, sementara asumsi di APBN 2022 sebesar 63 dollar AS per barel.
Ketiga, besaran inflasi berubah menjadi 0,53 persen. Asumsi awal pemerintah menunjukkan inflasi 0,25 persen. Keempat, harga patokan batubara sekarang Rp 837 per kilogram yang masih sama dengan asumsi awal pemerintah tahun 2022, tetapi realisasi rata-rata harga batubara acuan melebihi 70 dollar AS per ton.
“Sebagai bagian dari masyarakat global, Indonesia turut mendapat tekanan dari lonjakan harga energi. Apalagi, Indonesia masih tergantung dengan migas yang harganya di pasar internasional tidak bisa kami kontrol. Kami memutuskan ada penyesuaian agar ada berbagi beban,” kata Rida.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan, biaya produksi listrik berfluktuasi yang dipengaruhi oleh faktor eksternal. Salah satunya adalah ICP. Setiap satu dollar kenaikan ICP menaikkan biaya produksi listrik Rp 0,5 triliun.
Dia memandang, bantuan pemerintah, termasuk kompensasi tarif layanan listrik sudah seharusnya tepat sasaran. PLN mendukung keputusan pemerintah menaikkan tarif kepada pelanggan nonsubsidi rumah tangga dengan daya 3.500 VA ke atas.
“Total kompensasi yang selama ini tidak tepat sasaran mencapai sekitar Rp 4 triliun,” ujar Darmawan.
Darmawan percaya, kebijakan Kementerian ESDM itu tidak akan membuat golongan pelanggan rumah tangga dengan daya 3.500 VA ke atas berpindah layanan. Konsumsi listrik mereka selalu menyesuaikan taraf ataupun gaya hidup.
Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik kepada pelanggan rumah tangga dengan daya 900 sampai 2.200 VA adalah demi menjaga daya beli mereka. Sementara bagi pelanggan rumah tangga dengan daya 3.500 VA ke atas, Rida menilai mereka merupakan kelompok ekonomi mampu.
Rida menegaskan, keputusan Kementerian ESDM untuk tidak ikut menaikkan tarif kepada pelanggan listrik nonsubsidi untuk golongan industri dan bisnis karena mempertimbangkan kondisi mereka. Pemerintah melihat, golongan itu belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19.
“Mengapa golongan pemerintah (P1 sampai P3) juga terkena penyesuaian? Kami ingin memberi contoh bahwa segmen institusi pemerintah harus menyesuaikan diri dengan kondisi makro ekonomi,” imbuh Rida.
Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radi, saat dihubungi terpisah, berpendapat, tarif listrik yang sejak tahun 2017 tidak ada kenaikan membebani keuangan negara melalui terus dikeluarkannya dana kompensasi. Keputusan Kementerian ESDM menaikkan tarif listrik kepada rumah tangga dengan daya 3.500 VA ke atas dan golongan pemerintah sudah tepat, walaupun kelompok tersebut bukan termasuk penyerap dana kompensasi yang besar. Golongan rumah tangga kelas menengah ke atas pun memiliki sensitivitas harga layanan listrik yang rendah.
“Pemerintah tampak berhati-hati. Saya menilai pemerintah amat ingin menjaga inflasi. Sebab, jika menaikkan tarif listrik golongan industri dan bisnis yang juga penyerap terbesar dana kompensasi, harga pokok produksi meningkat sehingga harga jual ke masyarakat akan meningkat,” katanya.
Dia menambahkan, pada saat segmen industri dan bisnis sudah pulih, pemerintah sebaiknya melakukan kenaikan tarif listrik. Tujuannya agar tercipta keadilan.
Adapun Direktur Center of Reform on Economics (Core Indonesia) Mohammad Faisal berpendapat, apabila industri dan bisnis telah pulih dari pandemi Covid-19, pemerintah bisa melakukan kajian mendalam sebelum memutuskan menaikkan tarif. Pemerintah juga harus cermat melihat skala sampai latar belakang sektor yang mereka geluti.
“Kebijakan yang sekarang cukup beralasan. Komponen biaya produksi listrik meningkat mulai dari harga minyak mentah hingga batubara,” tambahnya.