Sementara itu, salah satu yang dianggap menghambat adalah regulasi yang menyebutkan penetapan daerah wabah mesti didahului surat bupati, lalu gubernur. Sementara sejumlah daerah enggan menyatakan sebagai daerah wabah.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebut penanganan wabah penyakit mulut dan kuku atau PMK akan dipantau hingga level mikro, seperti layaknya pandemi Covid-19. Hal itu dirasa perlu karena penyakit menular hewan akut itu telah terdeteksi di 163 kabupaten/kota di 18 provinsi dan berdampak pada perekonomian rakyat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan hal itu saat memimpin rapat koordinasi terbatas terkait penanganan dan pengendalian PMK yang digelar secara daring, Rabu (8/6/2022). Selain telah berdampak pada para peternak rakyat, upaya itu juga untuk menjamin ketersediaan hewan kurban pada Idul Adha 1443 Hijriah, Juli 2022.
”Kami akan terus monitor secara mingguan dan secara teknis juga akan kami ikuti. Ini sesuai dengan permintaan Presiden, penanganannya dibuat sampai ke level mikro. Kita tangani seperti penanganan pandemi Covid-19, karena ini sangat memengaruhi perekonomian rakyat,” ujar Airlangga dalam keterangannya, Rabu malam.
PMK merupakan penyakit menular hewan yang akut dan ditakuti dunia. Lantaran bukan penyakit zoonosis, PMK tidak menular atau tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Namun, sifat penyebarannya sangat cepat dengan tingkat morbiditas (angka kesakitan) hingga 100 persen. Kendati tak berbahaya bagi manusia, virus dapat menempel seperti pada sepatu dan pakaian manusia sehingga dapat menularkannya pada hewan sehat.
Penyakit tersebut menyerang hewan berkuku belah, seperti sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi. PMK sangat merugikan para peternak serta dapat berdampak luas pada perekonomian nasional.
Menurut data Pusat Krisis Penanganan dan Pengendalian PMK Kementerian Pertanian, per 2 Juni 2022, dinyatakan ada 57.732 hewan yang sakit, baik terkonfirmasi maupun suspek. Per 6 Juni 2022, terdapat 81.880 hewan yang dinyatakan sakit di 163 kabupaten/kota di 18 provinsi. Artinya, ada penambahan 24.148 hewan sakit dalam 4 hari.
Dalam rapat koordinasi terbatas yang dihadiri Menteri Pertanian, Kepala Badan Pangan Nasional, Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Kakorbinmas Baharkam Polri, dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta Gubernur Jawa Barat dan Jawa Timur, Airlangga menekankan pentingnya memperbanyak pengujian pada sapi. Dengan demikian, akan lebih banyak data terkonfirmasi hasil tes bukan hanya berbasis penglihatan semata.
Vaksinasi pun diharapkan disegerakan dan diperbanyak agar penularan tak meluas. Izin edar, pendistribusian, dan surat keterangan kesehatan hewan pun agar prosesnya dipermudah. ”Penanganan secara mikro, sertifikat kesehatan hewan, dan pengawasan penting. Untuk itu, perlu kita buat Instruksi Mendagri untuk 18 provinsi dan 163 kabupaten/ kota,” ujarnya.
Wabah PMK juga berdampak langsung pada perekonomian rakyat, terutama bagi para peternak. ”Pak Mentan (Menteri Pertanian), tolong juga diidentifikasi para peternak yang terdampak dari adanya penyakit ini. Kami akan mintakan restrukturisasi awal, terutama di daerah-daerah di 163 kabupaten/kota,” ucap Airlangga dalam rapat itu.
Realokasi anggaran
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan eselon I Kementerian Pertanian, Rabu (8/6/2022), sejumlah anggota Komisi IV DPR RI mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menangani PMK. Pasalnya, laporan terkait hewan ternak, terutama sapi, yang sakit hingga mati terus bertambah. Sementara hewan ternak itu sumber penghidupan mereka.
Berdasarkan laporan rapat yang ditutup Rabu malam tersebut, Komisi IV DPR menerima usulan realokasi anggaran Kementan Tahun 2022 sebesar Rp 180,8 miliar dalam rangka penanganan PMK pada Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH). Rinciannya, realokasi internal Ditjen PKH sebesar Rp 80,8 miliar, sedangkan realokasi eksternal sebesar Rp 100 miliar.
Komisi IV DPR juga mendesak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, melalui Kementan, agar mengalokasikan anggaran automatic adjustment tahap I sebesar Rp 680,5 miliar dan tahap II Rp 490,9 miliar untuk penanganan PMK.
Kementan saat ini tengah menyiapkan vaksin PMK dari sejumlah sumber, salah satunya impor dari Perancis sebanyak 3 juta dosis yang menggunakan dana APBN. Ada juga vaksin dari mitra, seperti Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), serta kerja sama dengan Australia, Brasil, dan Selandia Baru. Sementara pembuatan vaksin dalam negeri di Pusat Veteriner Farma diperkirakan selesai dan dapat diberikan pada Agustus-September 2022.
Terhambat regulasi
Sejauh ini, baru ada dua surat keputusan (SK) Menteri Pertanian terkait penetapan wabah, yakni untuk Jawa Timur dan Aceh (bulan lalu). Penetapan tersebut perlu didahului surat gubernur. Namun, menurut Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono, kenyataan saat ini belum banyak daerah yang mau menyatakan diri sebagai daerah wabah.
Akan tetapi, Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi PDI-P Sudin menilai seharusnya segala sesuatu dikomunikasikan dengan para kepala daerah. Menurut dia, Kementan seharusnya mengumpulkan atau membuat pertemuan dengan para bupati/wali kota serta gubernur untuk membicarakan penanganan PMK dengan serius.
Ketua II Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Tri Satya Putri Naipospos, saat dihubungi, Kamis (9/6/2022), menuturkan, mengacu pada undang-undang tentang peternakan dan kesehatan hewan, mekanisme deklarasi wabah memang harus didahului dari bupati, gubernur, barulah Mentan mengeluarkan SK.
Hal tersebut hingga kini masih banyak didiskusikan. ”Banyak kepala daerah tidak mau menetapkan wabah, salah satunya alasan otonomi daerah. Kita harusnya ikut mekanisme Kementerian Kesehatan yang bisa nyatakan kejadian luar biasa tanpa perlu dari bupati, gubernur. Seperti itu kan sebenarnya mempermudah penanganan. Kalau tidak ada status, dana sulit cair,” katanya.
Tri Satya pun setuju dengan usul sejumlah anggota Komisi IV DPR RI bahwa seharusnya PMK yang penyebarannya semakin meluas ini dinyatakan wabah atau bencana nasional sehingga ada ekstra anggaran dari APBN, tanpa perlu refocusing anggaran terlebih dulu. Sementara aturan saat ini justru memperlama penanganan. Padahal, penanganan PMK harus cepat.
”Ini jadi pelajaran juga. Kementerian Pertanian harus melihat ke depan, bagaimana agar kasus PMK seperti ini cepat tertangani. Yang memungkinkan, ya merevisi undang-undang karena seharusnya kan tak boleh jadi kendala. Sementara sekarang daerah-daerah tak mau daerahnya ditetapkan sebagai daerah wabah,” ucap Tri Satya.