Kepatuhan Penyelesaian Pembayaran Utang Koperasi Rendah
Solusi penyelesaian utang koperasi bermasalah terganjal kepatuhan para pengurus. Ranah hukum ketidakpatuhan ini perlu ditegakkan negara.
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Solusi penyelesaian utang koperasi bermasalah terganjal kepatuhan para pengurus. Dari delapan koperasi bermasalah yang sudah menempuh perdamaian dalam putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU, ternyata dalam praktiknya, realisasi putusan pembayaran utang itu rendah untuk dipatuhi oleh pengurus koperasi.
Hal itu mendorong Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki perlu kembali mendatangi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Polhukam, Jakarta, Rabu (8/6/2022), untuk meminta bantuan. Sebelumnya, pada pertengahan Maret lalu, keduanya juga telah melakukan koordinasi untuk penyelesaian koperasi bermasalah ini.
Selain rendah dalam kepatuhan untuk pembayaran, ada kecenderungan menghambat penyelesaian putusan PKPU. Dalam pelaksanaan putusan PKPU, penegakan hukum kasus ini sebenarnya berada di luar kewenangan Kementerian Koperasi dan UKM.
”Solusi jangka pendek yang dapat dilakukan adalah mendorong pelaksanaan rapat anggota tahunan (RAT) koperasi,” kata Teten didampingi Ketua Satuan Tugas Penanganan Koperasi Bermasalah (Satgas PKB) Agus Santoso dan Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi.
Lewat RAT, lanjut Teten, koperasi ini memerlukan pengambilan alih kepengurusan, dari pengurus lama ke pengurus baru. Kemudian, seluruh aset koperasi sekaligus diambil alih. Untuk penyelesaian PKPU ini, harus dilakukan settlement assets untuk memenuhi seluruh pelunasan kewajiban utang terhadap anggota koperasi.
Teten menegaskan, ”Bagi manajemen koperasi yang tidak menjalankan putusan homologasi PKPU, bahkan terindikasi pengalihan aset yang tidak sesuai, harus dilakukan penegakan hukum.”
Untuk jangka panjang, Teten mengatakan perlunya perubahan undang-undang supaya ada pengaturan lebih jelas, termasuk penjaminan dana anggota koperasi. Jika mengacu pada kasus perbankan gagal bayar, pemerintah sudah memiliki regulasi penjaminan secara utuh. Sementara, koperasi belum memiliki mekanisme penjaminan ini.
Sejak awal tahun 2022, Kementerian Koperasi dan UKM begitu intens ingin membantu penyelesaian utang koperasi bermasalah. Setidaknya, ada delapan koperasi bermasalah yang harus menjalankan putusan PKPU, yakni KSP Sejahtera Bersama, KSP Indosurya, KSP Pracico Inti Sejahtera, KSPPS Pracico Inti Utama, Koperasi Jasa Berkah Wahana Sentosa, KSP Lima Garuda, KSP Timur Pratama Indonesia, dan KSP Intidana. Sesuai putusan homologasi, rata-rata penyelesaian utang selama 5-10 tahun.
Akibat rendahnya penyelesaian utang, banyak anggota koperasi yang mengadukan kepada Kementerian Koperasi dan UKM, bahkan ke kepolisian daerah setempat. Satgas PKB telah dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan putusan PKPU.
Ternyata, kata Teten, prosesnya tidak sesuai harapan seluruh pihak. Kondisi ini sudah berada di wilayah penegakan hukum. Karena itulah, mekanisme yang didorong adalah mengambil alih manajemen lama yang tidak menjalankan putusan PKPU lewat RAT. Seluruh aset harus dialihkan kepada manajemen baru.
Menteri Koordinator Bidang Polhukam akan berkoordinasi dengan Bareskrim Polri, Kejaksaan Agung Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK), serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Apabila penyelesaian pembayaran utang melalui manajemen ini kembali gagal, tentunya para anggota bisa menempuh kepailitan.
”Ini pun bisa juga jatuhnya pada bentuk rekayasa atau sengaja mendorong terjadinya kepailitan sebagai cara menghindari kewajiban pembayaran utang kepada anggota. Ini perlu diantisipasi. Sebab, berkaca pada korporasi yang menempuh kepailitan, kelak justru menguntungkan korporasinya. Jangan sampai ini terjadi pada anggota koperasi,” ujar Teten.
Zabadi menambahkan, melihat begitu banyaknya permasalahan yang muncul, maka perlu penguatan dan pembaruan dalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Perkoperasian. Ada banyak hal yang akan diatur, salah satu yang ingin diperkuat adalah badan hukum koperasi, menguatkan pengaturan pengelolaan koperasi berdasarkan prinsip syariah, penguatan pengawasan internal, disertai sanksinya.
Selain itu, perlu pengaturan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengurus atau pengelola koperasi maupun pihak lain yang mengatasnamakan koperasi. Hal ini menjadi perhatian serius agar pengurus/pengelola koperasi bertanggung jawab dan taat asas terhadap semua aturan. Adapun pembubaran, penyelesaian, dan kepailitan koperasi akan turut diatur.
Hal krusial lainnya adalah mempertegas regenerasi dan suksesi di koperasi dan mengatur pembatasan masa periode kepengurusan. Juga, menguatkan pengaturan pengelolaan koperasi berdasarkan prinsip syariah dan mendorong penjaminan simpanan anggota koperasi.
”Rancangan UU Perkoperasian yang akan disusun bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anggota, menghadirkan tata kelola koperasi yang baik dan akuntabel, serta memberikan efek jera terhadap pelanggaran ketentuan peraturan,” ucap Zabadi.
Kementerian Koperasi dan UKM telah membentuk kelompok kerja pembahasan naskah akademik RUU tentang Perkoperasian yang berasal dari akademisi (ahli ekonomi, ahli hukum), praktisi koperasi, pemerhati koperasi, notaris, ahli hukum, kementerian/lembaga terkait, serta internal Kementerian Koperasi dan UKM. Tim juga sudah mulai bekerja melakukan inventarisasi terkait permasalahan dan perkembangan dinamika perkoperasian. Selanjutnya, akan dilakukan pembahasan secara intensif per kluster RUU Perkoperasian.