Keterbatasan Anggaran Dikhawatirkan Berdampak pada Upaya Pemulihan
Anggaran yang minim untuk menjalankan program kerja strategis tersebut dikhawatirkan bisa berdampak pada prospek pemulihan di sektor ketenagakerjaan pascapandemi.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pagu indikatif anggaran untuk Kementerian Ketenagakerjaan atau Kemenaker pada tahun 2023 yang turun menjadi Rp 4,65 triliun dinilai jauh dari alokasi ideal untuk menjalankan program-program strategis di sektor ketenagakerjaan. Keterbatasan anggaran itu dikhawatirkan bisa berdampak pada kelancaran pemulihan di sektor ketenagakerjaan.
Dari tahun ke tahun, disparitas antara kebutuhan anggaran yang diperlukan Kemenaker untuk menjalankan program kerja berjarak semakin jauh dengan alokasi anggaran yang ditetapkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Mengacu pada dokumen Perencanaan Strategis (Renstra) Kemenaker, tren kebutuhan anggaran Kemenaker sejatinya terus meningkat, dari kisaran Rp 4 triliun pada 2017 menjadi Rp 11,01 triliun pada 2023. Kendati demikian, pagu anggaran untuk Kemenaker pada daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) tidak meningkat signifikan.
Pada tahun 2023, Kemenaker mendapat alokasi pagu anggaran senilai Rp 4,65 triliun, turun dari pagu sebelumnya pada tahun 2022 sebesar Rp 5,57 triliun. Pagu anggaran untuk tahun depan itu merupakan yang terendah dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, pada 2018, Kemenaker sempat mendapat pagu anggaran Rp 3,99 triliun.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, kebutuhan anggaran Kemenaker untuk tahun 2023 adalah Rp 11,01 triliun. Secara moderat, anggaran itu masih bisa dipangkas hingga Rp 6,27 triliun. Kendati demikian, angka moderat itu pun masih di bawah pagu anggaran yang sudah dialokasikan oleh Kemenkeu.
“Anggaran pagu indikatif memang berkurang. Saya kira ini tidak hanya di Kemenaker saja, tetapi juga di kementerian/lembaga lain. Artinya, kami harus menyesuaikan lagi program kerja dalam Renstra. Kami pilih beberapa program yang sesuai dengan prioritas nasional,” kata Ida di sela rapat kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (7/6/2022).
Dengan anggaran yang terbatas itu, Kemenaker mengalokasikan anggaran terbesar yaitu Rp 2,67 triliun untuk menjalankan program pembinaan pelatihan vokasi dan produktivitas (57,4 persen dari total anggaran), disusul Rp 757 miliar untuk program pembinaan penempatan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja (16,26 persen).
Dengan anggaran yang terbatas itu, Kemenaker mengalokasikan anggaran terbesar yaitu Rp 2,67 triliun untuk menjalankan program pembinaan pelatihan vokasi dan produktivitas.
Kebutuhan lainnya adalah Rp 286 miliar untuk program pembinaan pengawasan ketenagakerjaan dan keselamatan kesehatan kerja (6,16 persen), Rp 239 miliar untuk perencanaan dan pengembangan ketenagakerjaan (5,14 persen), dan Rp 220 miliar untuk program pembinaan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan (4,72 persen).
Bukan prioritas
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menilai, pengurangan anggaran tersebut menunjukkan bahwa sektor ketenagakerjaan tidak menjadi program unggulan pemerintah. Ia juga menyayangkan alokasi anggaran untuk program pembinaan hubungan industrial dan jamsostek yang mendapat porsi paling sedikit, padahal sejatinya memiliki banyak pekerjaan rumah.
Beberapa di antaranya pelaksanaan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk pekerja yang mengalami putus kerja, kondisi pengupahan yang sampai kini masih berpolemik pasca-lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, upaya meningkatkan cakupan dan inklusivitas kepesertaan Jamsostek sebagaimana mandat Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021, serta proses penyusunan regulasi untuk melindungi pekerja digital yang kini bekerja dengan status kemitraan.
Anggaran yang minim untuk menjalankan program kerja strategis itu juga dikhawatirkan bisa berdampak pada prospek pemulihan di sektor ketenagakerjaan pascapandemi. ”Hubungan industrial yang baik seharusnya bisa mendukung iklim investasi untuk mendukung pembukaan lapangan kerja, mendorong kesejahteraan dan produktivitas pekerja, yang pada akhirnya membantu pemulihan ekonomi,” katanya.
Hubungan industrial yang kondusif juga perlu disokong oleh peran petugas pengawas ketenagakerjaan untuk mendorong sistem pengawasan dan penegakan hukum yang tegas. Namun, seperti diketahui, saat ini jumlah pengawas dan mediator ketenagakerjaan masih jauh dari ideal.
Anggaran yang hanya dialokasikan sebanyak 4,72 persen untuk program pembinaan hubungan industrial pun dinilai tidak cukup untuk menjawab pelbagai tantangan itu. ”Untuk memastikan hubungan industrial berlangsung dengan baik, itu menjadi tanggung jawab Kemenaker, dan untuk itu diperlukan dukungan anggaran yang cukup,” kata Timboel.