Pendataan nelayan beserta hasil tangkapan dinilai masih minim sehingga membuat tata kelola perikanan skala kecil tidak transparan. Pembenahan tata kelola mendesak dilakukan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dinilai masih menghadapi masalah serius dalam tata kelola perikanan skala kecil. Pendataan hasil tangkapan ikan untuk kapal-kapal skala kecil berukuran di bawah 10 gros ton masih minim.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan mengemukakan, minimnya pendataan hasil tangkapan kapal skala kecil berdampak pada pengelolaan perikanan yang kurang transparan.
”Aktivitas perikanan skala kecil sering kali diremehkan. Padahal mempunyai kontribusi sosial dan ekonomi cukup signifikan, terutama dalam ketahanan pangan dan upaya pengentasan kemiskinan,” ujarnya, Senin (6/6/2022), di Jakarta.
Hasil kajian DFW Indonesia di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 718, meliputi wilayah Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian Timur, menunjukkan tingkat penangkapan ikan skala kecil yang tidak dilaporkan (unreported fishing) cukup signifikan. Laut Arafura merupakan salah satu perairan tersubur di dunia, dan direncanakan menjadi lokasi percontohan sistem kontrak penangkapan ikan di Indonesia.
Survei yang dilakukan pada Kabupaten Merauke (Papua) dan Kabupaten Kepulauan Aru (Maluku) selama Agustus 2021 memperlihatkan hampir seluruh kapal perikanan berukuran kurang dari 10 gros ton (GT) di Merauke tidak melaporkan hasil tangkapan. Sementara di Kepulauan Aru, separuh dari jumlah kapal ikan di bawah 10 GT yang disurvei tidak melaporkan hasil tangkapan. Pelaporan hanya dilakukan oleh perusahaan perikanan ataupun perusahaan perikanan pembeli ikan.
Hasil tangkapan nelayan umumnya tidak tercatat karena dijual pada pasar lokal, dibuang, digunakan untuk umpan, dan konsumsi pribadi. Penangkapan ikan yang tidak dilaporkan merupakan salah satu pemicu maraknya penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU fishing) di Tanah Air.
”Penangkapan ikan yang tidak dilaporkan oleh perikanan skala kecil di WPP-NRI 718 mencapai 29,39 persen,” kata Abdi.
Salah satu penyebab utama penangkapan ikan tidak dilaporkan adalah banyaknya pelabuhan tangkahan yang beroperasi di WPP-NRI 718. Terdata setidaknya 26 pelabuhan tangkahan dan titik labuh di Kabupaten Merauke dan Kepulauan Aru, dengan jumlah kapal perikanan yang bersandar berkisar 49-180 kapal di setiap pelabuhan. Sementara itu, tidak ada petugas pengawas perikanan yang bertugas rutin di pelabuhan tersebut.
”Karakteristik, ketersediaan infrastruktur, dan kelembagaan perikanan pada tingkat lokal menyebabkan terbatasnya pendataan atau pengungkapan informasi dari aktivitas perikanan skala kecil,” lanjutnya.
Kapal tak terdata
Peneliti DFW Indonesia Subhan Usman menambahkan, hasil tangkapan yang kurang dilaporkan berpotensi semakin banyak jika menghitung perdagangan gelembung ikan gulama dari Merauke yang tidak dilaporkan ke otoritas perikanan, seperti pelabuhan perikanan, serta Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) setempat. Padahal, nilai dan volume perdagangan gelembung ikan gulama cukup besar. Harga gelembung ikan gulama mencapai Rp 20 juta per gram kering dan menempati 47 persen dari total hasil tangkapan yang disurvei.
Ia juga menyoroti tingkat pendaftaran kapal kecil di WPP-NRI 718 masih rendah sehingga tidak ada data jumlah kapal yang pasti. ”Jumlah kapal atau perahu perikanan di bawah 10 GT yang terdaftar sangat rendah,” kata Subhan.
Dicontohkan, kapal berukuran di bawah 7 GT yang terdaftar di Kabupaten Merauke hanya 60 kapal dan Kepulauan Aru 165 kapal, padahal diperkirakan lebih dari 1.000 kapal atau perahu ukuran sejenis di wilayah itu yang menangkap ikan di WPP-NRI 718.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, total nelayan di Indonesia tercatat sekitar 2,2 juta orang. Dari jumlah itu, nelayan lokal di perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor terdata 260.215 orang. Pemerintah berencana membagi zona-zona penangkapan sebagai bagian dari kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Selain itu, membuka sistem kontrak penangkapan ikan dengan kuota bagi investor pada zona industri perikanan.
Kebijakan sistem kontrak penangkapan ikan menuai polemik di masyarakat karena dikhawatirkan menjadi pintu masuk terjadinya praktik penangkapan ikan ilegal yang amat merugikan nelayan kecil. Namun, pemerintah berjanji akan mengedepankan transparansi dan membenahi pengawasan kapal. Saat ini, pemerintah masih menyusunan rancangan peraturan pemerintah tentang penangkapan ikan terukur, serta proses harmonisasi rancangan peraturan menteri terkait sistem kontrak penangkapan ikan.
”Penangkapan ikan terukur belum berjalan karena peraturan sedang dalam proses,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, pekan lalu, dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR-RI.