Serap Likuiditas, BI Akan Naikkan Giro Wajib Minimum hingga 9 Persen
Mulai 1 Juni 2022, Bank Indonesia menaikkan nilai giro wajib minimum rupiah perbankan menjadi 6 persen setelah sebelumnya 5 persen sejak Maret 2022. Ini upaya normalisasi likuiditas dan upaya meredam inflasi.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan Bank Indonesia menaikkan giro wajib minimum atau GWM perbankan dinilai sebagai upaya BI memaksimalkan sejumlah instrumen moneternya untuk meredam laju inflasi tanpa perlu melakukan menaikkan tingkat suku bunga acuan. Sebab, BI masih memiliki ruang untuk tidak menaikkan tingkat suku bunga acuan.
Mulai 1 Juni 2022, BI menaikkan GWM rupiah untuk bank umum konvensional menjadi 6 persen setelah sebelumnya 5 persen sejak Maret 2022. GWM akan terus dinaikkan menjadi 7,5 persen mulai 1 Juli 2022 dan 9,0 persen mulai 1 September 2022.
Kewajiban minimum GWM rupiah juga diberlakukan untuk bank umum syariah dan unit usaha syariah menjadi 4,5 persen mulai 1 Juni 2022. Ke depan, GWM juga akan naik menjadi 6,0 persen mulai 1 Juli 2022 dan 7,5 persen pada September 2022.
Dihubungi pada hari Senin (6/6/2022), Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan, kebijakan menaikkan GWM itu adalah langkah BI untuk meredam kenaikan inflasi tanpa menaikkan tingkat suku bunga acuan.
”GWM ini strategi BI untuk merespons inflasi yang mulai naik, tetapi tanpa menaikkan tingkat suku bunga acuan,” ujar Faisal.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat inflasi umum Mei 2022 mencapai 0,4 persen secara bulanan dan 3,55 persen secara tahunan. Adapun inflasi umum kalender berjalan atau periode Januari-Mei 2022 mencapai 2,56 persen. Tingkat inflasi itu berada di kisaran target inflasi tahunan oleh pemerintah dan BI yang 2-4 persen.
Menurut Faisal, BI memang masih memiliki ruang untuk tidak menaikkan tingkat suku bunga acuan. Sebab, nilai tukar rupiah dalam posisi relatif stabil. Adapun cadangan devisa Indonesia dalam posisi cukup untuk membantu mempertahankan kestabilan nilai tukar. Dengan demikian, instrumen GWM ini diarahkan untuk membantu meredam agar inflasi tidak terus meningkat.
Ia menjelaskan, dengan menaikkan GWM, jumlah uang rupiah yang beredar dari perbankan akan wajib disimpan masuk ke dalam BI. Dengan jumlah uang beredar perlahan dikurangi, likuiditas perbankan juga berkurang, maka laju inflasi bisa perlahan ditahan.
Tak hanya meredam inflasi, kebijakan ini juga merupakan bentuk normalisasi likuiditas setelah sebelumnya BI menggelontorkan dan melonggarkan likuiditas selama pandemi. Likuiditas uang di pasar akan dikurangi secara bertahap seiring dengan perekonomian yang telah kembali pulih buah dari jumlah kasus Covid-19 yang makin terkendali.
Kredit perbankan
Ia menjelaskan, dengan adanya kenaikan GWM, memang akan berdampak pada berkurangnya likuiditas perbankan. Faisal memperkirakan penyaluran kredit perbanan tetap akan bertumbuh, tetapi persentase pertumbuhannya tidak akan meningkat.
”Di sisi lain, tingkat suku bunga acuan juga masih rendah sehingga bunga kredit juga masih murah,” ujar Faisal.
Corporate Secretary Bank Mandiri Rudi As Aturridha menjelaskan, dalam pengelolaan likuiditas, Bank Mandiri terus menjaga kecukupan pemenuhan indikator risiko likuiditas dan optimalisasi pendanaan yang dimiliki.
”Walaupun kondisi likuiditas akan semakin mengetat dengan adanya kenaikan GWM, untuk pemenuhan likuiditas untuk pemenuhan GWM tersebut, Bank Mandiri masih optimistis bahwa dengan kondisi DPK Bank Mandiri yang diproyeksikan masih terus tumbuh sampai dengan akhir tahun 2022,” ujar Rudi, Senin.
Pihaknya juga selalu menjaga keseimbangan antara kecukupan likuiditas dan ekspansi kredit yang sehat, maka Bank Mandiri akan dapat melakukan pemenuhan GWM Rupiah sesuai dengan ketentuan BI.
Sampai dengan April 2022, penyaluran kredit Bank Mandiri sendiri secara perbankan bukan grup mencatat pertumbuhan 12,2 persen secara tahunan.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo dalam paparan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada akhir Mei lalu menjelaskan, langkah itu merupakan bentuk normalisasi kebijakan likuiditas secara bertahap, dilakukan tanpa mengganggu kondisi likuiditas perbankan.
”Penyesuaian secara bertahap GWM sejak 1 Maret 2022 tidak mengurangi kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit atau pembiayaan kepada dunia usaha dan partisipasinya dalam pembelian Surat Berharga Negara untuk pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,” ujar Perry.
Pada April 2022, rasio alat likuid (AL) terhadap dana pihak ketiga (DPK) masih tinggi, yakni mencapai 29,38 persen dan tetap mendukung kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit yang tumbuh sebesar 9,10 persen secara tahunan. Likuiditas yang terjaga didukung DPK yang tumbuh sebesar 10,11 persen secara tahunan.