Indeks harga pangan global mendaki kurva hingga ke level tertinggi akibat pandemi, perang, dan perubahan iklim. Namun, situasi di pasar global kerap tidak linier dengan situasi di ladang dan kebun petani.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
AFP/ SAJJAD HUSSAIN
Pekerja memanggul karung berisi gandum menuju truk di pabrik di Khanna, di Negara Bagian Punjab, India, Rabu (18/5/2022).
Indeks harga pangan global tiga bulan terakhir menggapai level tertinggi sejak 1990. Gangguan pasokan akibat perang, hambatan dagang, dan faktor iklim menjadi pemicunya. Namun, bagi para petani padi di Tanah Air, tiga bulan terakhir tak ubahnya puncak panen raya tahun-tahun sebelumnya. Situasinya diwarnai oleh turunnya harga jual hasil panen di tingkat petani.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Sabtu (4/6/2022), merilis indeks harga pangan FAO (FFPI) Mei 2022 yang mencapai 157,4 poin. Angka itu turun dua bulan berturut-turut setelah mencapai puncaknya pada Maret 2022 dengan rata-rata indeks 159,3 poin. Namun, angka itu masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata indeks bulanan tiga tahun sebelumnya, yakni berkisar 98-125 poin.
Selain itu, ketika indeks harga beberapa komoditas lain turun pada Mei 2022, indeks harga komoditas serealia justru naik 3,7 poin menjadi 173,4 poin pada Mei 2022. Situasi itu termasuk harga beras di pasar internasional yang naik lima bulan berturut-turut, terutama didorong oleh proyeksi produksi yang turun pada 2022/2023, sementara penggunaannya diperkirakan naik.
Sayangnya, harga tinggi di pasar global tidak tecermin di pasar domestik, khususnya di tingkat petani. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah kasus harga gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) yakni Rp 4.200 per kilogram (kg) gabah kering panen (GKP), mencapai 29,21 persen dari 1.082 lokasi transaksi jual beli gabah yang disurvei di tingkat petani bulan lalu. Sementara di tingkat penggilingan, jumlah kasus mencapai 27,36 persen.
Tak hanya bulan lalu, kasus harga gabah di bawah HPP selalu terjadi sejak April 2020. Puncak kasus terjadi pada puncak panen raya atau selama kurun Maret-Mei. Situasi itu berarti sebagian petani menjual hasil jerih payahnya di bawah standar harga yang layak.
Ironi juga terjadi di kebun kelapa sawit petani. Kendati harga minyak nabati global melonjak hingga menggapai level tertinggi, situasinya tak tertransmisi dengan baik ke kebun petani, tecermin pada harga jual tandan buah segar (TBS) sawit petani. Pada 28 Mei 2022, menurut data Serikat Petani Kelapa Sawit, harga TBS di tingkat petani berada di kisaran Rp 1.700 per kg hingga Rp 2.450 per kg atau berada di bawah harga acuan TBS yang ditetapkan pemerintah provinsi yang berkisar Rp 2.500 per kg hingga Rp 3.500 per kg.
Demonstrasi petani sawit di Jakarta dan sejumlah wilayah pada 17 Mei 2022 membuktikan bahwa situasi harga di pasar global tidak linier di kebun petani. Situasi itu juga tergambar pada data nilai tukar petani (NTP) Mei 2022. Salah satu indikator untuk melihat kesejahteraan petani ini menunjukkan, NTP subsektor tanaman pangan dan perkebunan rakyat turun dibandingkan bulan sebelumnya, berarti kesejahteraan petani di subsektor itu turun.
NTP subsektor tanaman pangan bahkan berada di bawah 100, tepatnya 97,58 pada Mei 2022. Itu berarti indeks harga yang mereka terima lebih kecil dibandingkan indeks harga yang harus mereka bayar. Artinya, mereka rugi karena hasil usahanya tak cukup untuk membayar ongkos kebutuhannya. Kenyataan ironis di tengah ancaman kerawanan pangan.
Buruh harian membongkar gula rafinasi yang didatangkan dari India dengan menggunakan Kapal Margaret SW di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (6/4/2021). Pemerintah telah mengeluarkan izin impor sekitar 680.000 ton gula mentah dan gula konsumsi sejak akhir tahun lalu. Pemerintah mengandalkan gula impor untuk mengatasi lonjakan harga seiring naiknya permintaan konsumen pada periode Ramadhan dan Lebaran 2021.
Program Pangan Dunia dalam ”Laporan Global tentang Krisis Pangan 2022” mencatat, hampir 193 juta orang mengalami kerawanan pangan akut. Sementara Bank Dunia mencatat, per 19 Mei 2022, Indeks Harga Pertanian naik 42 persen dibandingkan Januari 2022 dan memicu inflasi tinggi di banyak negara. Kombinasi perang, pandemi, dan perubahan iklim menghasilkan dampak yang signifikan dan membuat negara produsen menyetop dan membatasi ekspor komoditas pangan guna memenuhi kepentingannya.
Di tengah guncangan itu, pilihan terbaik untuk memitigasi bencana adalah dengan mengokohkan kemandirian dan kedaulatan pangan. Cita-cita ini tentu akan sulit dicapai jika usaha pertanian tidak menguntungkan dan para pelaku utamanya tidak sejahtera. Tantangannya kini adalah memupus ironi di kebun petani.