Implementasi Wajib Lapor Ketenagakerjaan Masih Jauh dari Ideal
Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan (WLKP) sebenarnya bisa menjadi pintu masuk untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan. Tetapi, realisasinya masih jauh dari ideal.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pelaksanaan Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan atau WLKP masih jauh dari ideal meskipun sistem pelaporan sudah tersedia secara daring. Banyak kendala yang dihadapi, dari segi kepatuhan perusahaan, komitmen pemerintah pusat dan daerah, serta problem teknis menyangkut sistem platform digital yang tersedia.
Peneliti Bidang Ketenagakerjaan di Badan Riset dan Inovasi Nasional, Khairul Ismed, mengatakan, WLKP sebenarnya memainkan peran penting sebagai sumber data dan informasi resmi bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan strategis di bidang ketenagakerjaan. WLKP juga berfungsi mendukung sistem pengawasan ketenagakerjaan agar lebih efektif dan intensif.
Jika dijalankan dengan konsisten, WLKP dapat menyimpan berbagai data dan informasi strategis seputar kondisi hubungan industrial di perusahaan, antara lain status hubungan ketenagakerjaan, jumlah tenaga kerja, perlindungan pekerja, keadaan pekerja seperti status upah dan jaminan sosial, serta kesempatan kerja di perusahaan bersangkutan.
Hak dan kewajiban petugas pengawas dan perusahaan sebenarnya sudah diatur dalam berbagai produk regulasi. ”Pengawas berhak memperoleh keterangan dan wajib merahasiakan keterangan yang sifatnya rahasia dan perusahaan wajib memberi keterangan sejelas-jelasnya sesuai informasi yang diminta oleh pengawas,” kata Khairul saat dihubungi, Senin (6/6/2022).
Namun, berdasarkan data WLKP Online yang diakses pada 30 Mei 2022 pukul 17.10 WIB, jumlah perusahaan yang terdaftar masih jauh dari ideal. Per akhir Mei, ada 497.195 perusahaan yang menjalankan WLKP, dengan total jumlah tenaga kerja sebanyak 12,1 juta orang.
Sebanyak 372.402 perusahaan berstatus usaha mikro, 55.275 perusahaan berskala kecil, 48.626 perusahaan menengah, dan 20.892 perusahaan besar. Jumlah perusahaan yang melapor WKLP itu hanya mencakup 1,9 persen dari total 26,7 juta perusahaan di Indonesia yang tercatat dalam Sensus Ekonomi 2017.
”WLKP sebenarnya bisa menjadi pintu masuk untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan. Tetapi, masih banyak yang belum memenuhi kewajiban itu, padahal sekarang sudah bisa dilakukan secara daring,” ujarnya.
Pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Susanto Haryono mengatakan, data WLKP tidak bersifat akurat dan tidak diperbarui secara berkala. Tidak semua perusahaan melaporkan data sesuai kenyataan di lapangan. Terlebih pelaporan WLKP hanya dilakuakn sekali dalam setahun.
WLKP sebenarnya bisa menjadi pintu masuk untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan. Tetapi, masih banyak yang belum memenuhi kewajiban itu.
Data-data dalam WLKP Online juga belum terintegrasi dengan data ketenagakerjaan lainnya yang tersebar di berbagai kementerian/lembaga, yang lebih mutakhir dan mendekati kenyataan, seperti data milik BP Jamsostek dan BPJS Kesehatan.
”Data yang dibutuhkan untuk mengambil kebijakan ketenagakerjaan yang tepat itu seharusnya bersifat real time. Kami tidak mengusulkan laporan harus dilakukan setiap bulan, tetapi setidaknya ada integrasi data antara Kementerian Ketenagakerjaan dengan institusi lain yang memiliki data serupa,” ujar Susanto.
Hambatan teknis
Realisasi WLKP yang rendah bukan semata-mata akibat minimnya tingkat kepatuhan (compliance) pengusaha, melainkan juga hambatan teknis dan nonteknis yang harus dihadapi pengusaha untuk melaksanakan kewajiban itu. Sebagai contoh, sistem platform digital WLKP Online dinilai belum mampu memproses pengunggahan data yang masif.
Keluhan ini banyak disampaikan perusahaan berskala besar yang memiliki tenaga kerja hingga ratusan ribu orang. ”Ketika mengunggah data, dari 100.000 data yang dimasukkan, yang tercatat masuk hanya 10.000 data. Ketika mau diperbaiki, ternyata harus mengecek lagi satu per satu puluhan ribu data yang gagal itu. Itu tidak efektif dan memakan waktu,” tuturnya.
Ia juga menyoroti masih minimnya sosialisasi dan informasi layanan bantuan cepat tanggap ketika perusahaan kesulitan melakukan pelaporan. ”Perusahaan perlu ada solusi cepat, karena dinamika dunia usaha sangat tinggi, jangan sampai untuk mengurus satu hal ini butuh waktu sampai berbulan-bulan,” kata Susanto.
Realisasi WLKP yang rendah bukan semata-mata akibat minimnya tingkat kepatuhan pengusaha, melainkan juga hambatan teknis dan nonteknis yang harus dihadapi pengusaha untuk melaksanakan kewajiban itu.
Dunia usaha juga mengkhawatirkan aspek perlindungan data pribadi. Apalagi, Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Susanto mencontohkan, dokumen pengesahan peraturan perusahaan (PP) dan perjanjian kerja bersama (PKB) yang wajib dilaporkan ternyata dapat diakses oleh siapa pun dengan memindai kode batang (barcode).
”Semua dokumen perusahaan selama proses pengesahan PP dan PKB dapat diakses, termasuk surat-surat kuasa, yang di dalamnya tercantum alamat pribadi direktur perusahaan dan lain-lain. Bukan berarti perusahaan tidak mau terbuka, tetapi kami khawatir bisa ada penyalahgunaan data,” katanya.
Adapun pemerintah berupaya mengoptimalkan inovasi digital untuk membenahi sistem pengawasan ketenagakerjaan pada platform Sistem Informasi Ketenagakerjaan (Sisnaker).
Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kemenaker Haiyani Rumondang mengatakan, ke depan, Sisnaker akan menjadi ekosistem digital terpadu bagi semua jenis layanan publik dan aktivitas di bidang ketenagakerjaan, dari pusat sampai daerah.
Integrasi satu data ketenagakerjaan itu akan menjadi fondasi untuk pengambilan kebijakan di bidang ketenagakerjaan. Perusahaan pun didorong untuk patuh melaporkan perkembangan keadaan ketenagakerjaan di perusahaannya masing-masing melalui WLKP daring. ”Kalau perusahaan lalai menjalankan kewajiban ini, akan ada sanksi sesuai ketentuan yang berlaku,” ujarnya dalam keterangan pers.